Pada
awalnya saya hendak meletakkan tulisan ini di saku jas yang saya kenakan
lengkap dengan dasi merah dan peci sambil tergantung di kamar kos kecil di
pinggiran Jakarta. Ya, rasanya hidup ini
telah penuh dengan tekanan, di mana setiap malam konsep-konsep bernegara dan
membangun peradaban melintas dalam pikiran, mungkin pikiran itu akan cepat
diterima ketika telah menjadi perhatian media. Keadilan sosial merupakan
misteri terbesar dalam pikiran muda. Apakah tentang keseimbangan semata? Atau
tentang hak dan kewajiban berbangsa?
Rasanya
tidak salah bila kita kembali pada pendekatan sederhana dengan mempertanyakan
pada diri pribadi apa yang hendak kita capai sebagai insan merdeka?
Apakah
menjadi penguasa? Apakah menjadi kaya raya? Apakah menjadi terkenal? Atau hanya
sekedar terhindar dari neraka?
Mungkin
kita telah merdeka, kita bebas untuk menetapkan pilihan apa yang hendak kita
capai dalam hidup, paling tidak sebagian besar masih berpikir pilihan terbaik
adalah abdi negara, sementara bila tak ada kriteria karena tidak melekat di
dalamnya warna bendera maka jadi penguasa adalah alternatifnya, tentu kita bisa
memulai dari jalan yang sederhana dan cukup mudah dengan menjadi petualang
sosial media. Tapi itu semua tidak menjanjikan hidup pada kemurnian surga!
Pertanyaan
kedua tentu tentang bersatu. Hitler mungkin berteriak bahwa “bersatulah agar
maju.” Bersatu adalah kata paling ampuh untuk menghadapi pikiran kaku.
Menyamakan diri pada hal yang nyata atau tak nyata adalah suatu yang baku.
Warna dan bentuk mungkin bukan jadi alasan penuh untuk berpadu, namun jangan
lupa ideologi dan angan-angan adalah candu. Ingat kawanku, bersatu itu bukan
tentang mengisi saku. Walaupun bisa dilihat mereka menjual semua kebutuhanmu
dengan label ‘jadilah pribadi yang baru!’
Berikutnya
tentang daulat. Mungkin masih sangat hangat kita dengar kata-kata keramat,
“merdeka atau mati” sebagai bentuk masyarakat yang terhormat! Ya menjadi
terhormat adalah beban berat, tapi bukan berarti berhak untuk berteriak dengan
cepat hingga sampai kata sesat bahkan b*ngsat! Tapi hendaknya kita bertobat,
mungkin pemimpin jemaat sudah merupakan orang yang tepat, namun yang salah
memang kita yang selalu hendak mengubah kodrat. Kita telah sampai pada titik
merdeka terhormat didasari pada bentuk ideal sebagai konglomerat. Saya rasa
kita telah menjadi rakyat yang suka pada maksiat, karena tidak memiliki uang
adalah cacat, dengan alasan kebutuhan hidup semakin ketat! Ya kita berdaulat
pada harta yang melekat!
Pekerjaan
rumah kita ada pada upaya menghadirkan keadilan dan kemakmuran.
Pikiran ini
bukanlah suatu angan-angan namun mempertegas definisi kata ini bukan hanya
dalam bahasa koran memang harus segera digagas. Kita memiliki kewajiban membela
negara tetapi baru-baru ini kita memahami mendefinisikan bela negara sebagai
bentuk ‘sukarela’ menjadi cadangan menghadapi ancaman tentu tetap
mendapatkan intensif, seragam dan pangkat. Setidaknya tujuan mencapai keadilan
dan kemakmuran juga demikian, harus dijelaskan sebagai suatu target pencapaian
yang masuk akal, agar rakyat benar tahu apa yang menjadi hak khusus ketika
menjadi warga negara yang baik. Prakteknya bisa saja harta atau takhta.
Jepang
dengan tegas menyampaikan adanya masyarakat 5.0, karena memang masyarakatnya
adalah masyarakat yang taat pada kekuasaan kaisar, meski legitimasi kaisar
selanjutnya dikembangkan oleh perdana menteri yang dengan leluasa melakukan
perubahan pada aspek-aspek sosial. Mereka juga sama dengan negara empat musim
lainnya, pun sangat takut dengan kekurangan bahan pangan sehingga bekerja
dengan keras juga adalah kewajiban.
Indonesia?
Kita tidak lagi dipimpin pejabat yang memiliki atribut-atribut hingga
masyarakat manut dan tunduk, meski masih ada yang yakin bahwa pemimpin berdarah
raja kuno atau yang menikahi lelembut adalah pemimpin seutuhnya. Janganlah lupa
bila terus konsep demikian digunakan maka gelombang kuat akan memecahkan
simbolisasi rasial tersebut, awal-awal reformasi telah membuka dengan lantang
hal tersebut. Rakyat butuh hal yang nyata, butuh bhineka yang seutuhnya!
Indonesia
adalah bangsa 2 musim yang selalu dibuai dengan tanah surganya, Idealnya
kehidupan akan berlangsung sepanjang tahun, dan jelas menjadi pemikat negara
yang terus kekurangan. Sudah selayaknya bangsa Indonesia mengubah pikiran
menjadi bangsa pekerja dengan tujuan pencapaian yang jelas dan nyata, bukan
hanya dibuai kata ‘semangat’ dan ‘surga’!
Memperkenalkan
rewards and punishments yang berlaku bagi seluruh bangsa
Indonesia harus menjadi pemikiran penguasa. Karena kedaulatan tetap di tangan rakyat
sebagaimana konstitusi menyebutkan. Mengubah orientasi cita-cita rakyat dengan
program yang nyata adalah keniscayaan. Ingat makna persatuan akan sangat dekat
dengan perpecahan, selama rakyat merasa tak terwakili, maka pilihan untuk
kembali merdeka adalah hal yang hakiki.
Semoga
pikiran ini tak hanya bersemayam di atas gunung, atau terhunus dari jiwa-jiwa
pemimpi!