Alur perencanaan pembangunan dan perencanaan tata ruang sebenarnya berada dalam satu siklus yang sama. Tetapi dalam prakteknya tata ruang dan perencanaan pembangunan seringkali menjadi dua inisiatif yang berbeda. Meskipun aturan yang ada sudah menyebutkan keterkaitan antara dokumen RPJM dengan dokumen TATA RUANG tetapi dalam prakteknya bisa menjadi dua dokumen yang berbeda dan tidak terkait.
Ada beberapa alasan mengapa keterkaitan ini tidak terjadi dalam perencanaan pembangunan di Propinsi dan di Kabupaten yang ada di Indonesia.
Tata Ruang: Pelaksanaan dan Kapasitas
Tata ruang yang ada di Indonesia bisa dikatakan merupakan konsep penataan ruang model ‘kuno’ yang pada dasarnya tidak mampu mengakomodir semua aspek yang ada dalam kondisi nyata.
Ada banyak aspek yang tidak dimasukkan dalam tata ruang kita:
- Aspek perlindungan biodiversity dan kekayaan lain seperti ekosistem unik dan langka
- Aspek kebencanaan
- Aspek lingkungan lain seperti terkait dengan perubahan iklim
Aspek itu kemudian di ‘mainstreaming’ tetapi pertanyaannya adalah apakah mainstreaming itu bisa idilakukan dengan kapasitas yang ada pada perencana di tingkat Kabupaten atau propinsi.
Minimnya Kapasitas Perencana
Ini menjadi PR besar bagi penyelengara perencanaan di daerah, beberapa pendampingfakta di temukan:
- Posisi Kepala Bappeda pada banyak Kabupaten di Indonesia diisi oleh jabatan politis, pada banyak kasus ini diisi oleh ‘ orang kepercayaan’ bupati yang kebanyakan bukan berlatar belakang ahli tata ruang atau bekerja di bidang perencanaan sebelumnya. ada juga bahkan pernah di temukan malah isinya orang bappeda berbasis sarjana Guru.
- Minimnya tenaga planner di Bappeda; ada beberapa kabupaten yang hanya memiliki 1 atau 2 orang dengan latar belakang ilmu perencanaan. Mungkin ada kabupaten pemekaran di wilayah yang jauh dari pusat propinsi atau nasional yang tidak memiliki perencana
- Minimnya tenaga teknis teknis pendukung perencanaan seperti tenaga GIS, tenaga ahli ekonomi pembangunan, tenaga ahli sipil.
- Posisi staf pada bappeda banyak di isi pamong yang bukan berbasis keilmuan, padahal pamong itu bekerja secara adminsitrasi dalam kepemrintahan.
Selama ini kapasitas itu diisi oleh tenaga pihak ketiga melalui kontrak, masalahnya adalah ketika kita tidak mengerti perencanaan, bagaimana kita bisa mempercayakan perencanaan ke oranglain. Pada banyak kasus pihak ketiga ini TIDAK memiliki kemampuan pemahaman KONTEKS LOKAL. Output nya adalah dokumen perencanaan COPY PASTE.
RTRW dan RPJM: Jangan Terpisahkan
Minimnya kapasitas berdampak dengan dokumen RPJM dan RTRW dilakukan oleh 2 konsultan yang berbeda. Tanpa adanya diskusi dan penyatuan maka yang terjadi adalah menjadi 2 dokumen yang tidak memiliki kaitan sama sekali. Peran Bappeda seharusnya memastikan 2 dokumen ini menjadi dokumen yang tidak terpisahkan.
Meskipun regulasi menetapkan bahwa RTRW merupakan acuan bagi bagi penyusunan RPJM dan sebaliknya, tetapi dalam pelaksanaan ini tidak dilakukan dengan benar.
Konsep konsep WP alias wilayah pelayanan merupakan konsep-konsep mikro yang sudah usang dan boleh dikatakan tidak applicable pada perencanaan wilayah. Konsep-konsep ini seharusnya digantikan dengan konsep-konsep baru yang mampu menterjemahkan kebijakan, rencana dan program dalam konteks ruang.
Apa yang terjadi ketika RPJM menetapkan program “Peningkatan 20% ketahanan pangan dengan membangun pusat-pusat agriculture/food estate?” kenyataan di lapangan akhirnya lokasi tidak ditentukan dan kemudian dilakukan tanpa analisis dari tata ruang dan akhirnya program dilakukan di lokasi yang salah atau ternyata tidak dapat dilakukan karena tidak ada ruang tersedia.
RTRW dan Rencana Sektoral
Rencana sektoral harusnya merupakan wujud implementasi dari Tata Ruang dalam konteks spatial.Wilayah-wilayah dalam rencana sektoral harusnya bisa digali dan diambil dari dokumen tata ruang.
Misalnya rencana Sektor Pendidikan, seharusnya bisa digali dari dokumen tata ruang dan dokumen RPJM yang sudah menyebutkan mana kecamatan/kabupaten yang memiliki angka MELEK HURUF terendah. Wilayah ini yang kemudian menjadi target Perencanaan Sektor Pendidikan.
Secara lebih detail rencana sektoral seperti Perkebunan kemudian tidak dilakukan dengan melihat dokumen tata ruang yang baik. Akibatnya adalah (1) Lokasi yang dikembangkan merupakan lokasi yang salah, tengok saja dengan GOOGLE EARTH bagaimana perkebunan sawit di Indonesia ditanam di pingir sungai. Padahal dalam aturan Tata Ruang harus diberi buffer.
Ini bukti bahwa arahan Tata Ruang tidak pernah menjadi arahan dalam pelaksanaan pembangunan SEKTORAL. Jelas dalam dokumen Tata Ruang
Padahal menurut Permen no 15 tahun 2009 (permen15-2009) kawasan lindung terdiri atas:
a. kawasan hutan lindung;
b) kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, meliputi: kawasan bergambut dan kawasan resapan air;
c) kawasan perlindungan setempat, meliputi: sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau atau waduk, kawasan sekitar mata air, serta kawasan lindung spiritual dan kearifan lokal;
Rekomendasi
- Perlu Kebijakan pengelolaan aparatur pemerintahan yang lebih dalam menyusun lembaga perencana di Kabupaten atau Provinsi dengan memastikan adalnya kapasita Perencana dalam struktur lembaga Perencanaan Pembangunan seperti Bappeda.
- Adanya kegiatan pengembangan kapasitas Perencana di Tingkat Kabupaten.
- Adanya monitoring yang ketat atas kualitas Dokumen Perencanaan.
- Adanya TRANSPARASI dan PENYERTAAN PERAN MASYARAKAT dalam Perencanaan Pembangunan. Pada banyak prakteknya MASYARAKAT/PUBLIK suatu wilayah akan jauh lebih expert menilai wilayahnya dibanding ahli dari mananpun.
Mari kita nikmati bencana ekologi, salah perencanaan, tambah sulam RTRW, taruhannya cuama tuhan yang bisa memberikan azab.
Sumber Jaringan program GIS