Jokowi yang hadir di
tengah-tengah arus kekuasaan tertinggi di Indonesia sempat menjadi tranding
topik dunia, bahkan program poros maritim dan revolusi mentalnya menjadi
fenomena besar di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang hidup lama dalam pola
pandang daratan. Apakah ini perkerjaan berat sang presiden, atau keberatan
kita menerima sang presiden?
Kemunculan sosok pemimpin baru
merupakan kemunculan akan suatu pembaharuan, bahkan pada level yang lebih ekstrim
maka pengharapan akan perubahan dan revolusi tidak akan terelakkan lagi. Catatan
sejarah Indonesia telah menerangkan bahwa perubahan pemimpin juga berarti
perubahan orde, rezim dan totalitas arah kebijakan nasional. Munculnya
‘reformasi’ pada akhir kepemimpinan sang jendral ‘petrus’ mengantarkan pada
pola kekuasaan per lima tahun hingga sampai pada lahirnya sosok seorang
pemimpin ‘idaman’ bagi sebagian besar masyarakat. Bagaimana sepak terjang sang
pemimpin pada era edan ini dengan suatu strategi ‘revolusi mental’ dan ‘poros
maritim’-nya, berikut ulasannya.
Perubahan pola kepemimpinan yang
secara cepat, memaksa setiap aktor dan manusia Indonesia untuk melakukan
perombakan besar-besaran, baik dari cara berpikir berupa impian dan idaman
ataupun tindakan berupa pola kerja dan interaksi antar masyarakat lainnya. Namun
demikian dengan begitu luasnya wilayah Indonesia terutama laut, maka perombakan
tersebut tidak dapat menyentuh secara luas setiap pundi-pundi kehidupan di
Indonesia.
Jika dianalisa dengan teori
perubahan sosial oleh Tan Malaka (1964)[1] yang
menitik beratkan pada pola pandang berupa idaman dan impian masyarakat
berpautan secara dua arah dengan empat faktor yang bergerak secara dialektika
dari kelas berpolitik, keadaan ekonomi, perkembangan teknologi, dan keadaan
geografis, maka setidaknya terdapat empat kelas masyarakat. Mulai dari masyarakat
berpola pandang kolonial sebagai sisa-sisa masyarakat tua, masyarakat revolusi
yang haus akan perubahan, masyarakat borjuis dengan pola pandang kapitalisme,
serta masyarakat informasi yang dinamis. Setiap orang dengan pola pandang tersebut
berinteraksi satu sama lain dan memiliki pengaruh dan otoritas tersendiri dalam
tatanan masyarakat ‘kekinian’ Indonesia.
Masyarakat Internasional
Sementara itu di lingkungan setragis
dunia telah mengalami berbagai perubahan mendasar yang juga menuntut setiap
orang berlaku sama dalam suatu internasionalisasi. Analisa Fukuyama[2]
menjelaskan bahwa perubahan masyarakat pasca perang dingin adalah terhentinya
semua ideologi dan berkembangnya ideologi demokrasi-liberal ala Amerika,
Sehingga setiap negara berupaya mencapai titik pemikiran politik ala
demokrasi-liberal dengan berbagai penyesuaian budaya yang mengatur masyarakat
untuk menjadi objek sekaligus subjek negara. Hal tersebut berlanjut kepada
munculnya kekuatan individu dan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat
untuk menjalani keinginan politisnya hingga menciptakan ketidak-jelasan akan
suatu perkembangan politik di negara tersebut.
Strategi Jokowi
Melihat perubahan dunia yang
menuju arah ketidakjelasan dan ketidakpastian (Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity World) sangatlah
jelas bahwa dibutuhkan suatu pemimpin yang berpikir strategik untuk dapat membawa
seluruh masyarakatnya ke arah pemikiran pasti.
Pola strategi Jokowi dengan
program Trisakti dan Nawacita dalam visi “terwujudnya Indonesia yang berdaulat,
mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong,” memunculkan pertanyaan
serius apa yang menjadi grand strategy
berupa ‘victory’ Jokowi ke depan.
Menyimak pemikiran diplomatis dunia saat ini dimana negara dengan kekuatan
militer dapat memegang kendali akan kebijakan dan kepentingan nasionalnya
kepada negara lain (sebagai contoh Amerika, Russia, dan Tiongkok), maka apakah
akan sama targetan Jokowi untuk mencapai kedaulatan negara dengan kekuatan
militer melalui tangga peningkatan ekonomi dan perbaikan politik?
Pemanfaatan domain maritim
melalui program poros maritim memang merupakan prioritas pembangunan saat ini,
namun strategi tersebut bukanlah hal baru di dunia. Negara-negara sekaliber
Amerika, Inggris, Tiongkok, Jepang dll telah banyak melihat sektor ini sebagai
kunci peningkatan ekonomi mereka. Melalui program-program seperti America ocean economy, blue economy, sea
power, serta One belt one rote bisa menjadi acuan strategi poros maritim
Jokowi.
Pemikir-pemikir bidang maritim
seperti Mahan[3] menjelaskan
bahwa dibutuhkan karakter bangsa dan karakter pemerintah berorientasi pada
domain maritim. Maka sangatlah wajar bila muncul istilah revolusi mental
sebagai upaya membentuk karakter bangsa. Namun makna revolusi mental dalam
poros maritim ini apakah benar dapat di tuangkan dalam strategy implementation-nya ditengah masyarakat?
Kritik Bangsa
Dalam hati terbuka, dan pikiran
yang matang mari bersama-sama kita mengamati keadaan nyata saat ini, baik itu
untuk tatanan pemerintah ataupun seluruh komponen masyarakat secara luas.
Pemerintah baik itu pemerintahan
daerah merupakan perpanjangan tangan rakyat hendaknya sadar akan kehadirannya
di negara tercintah ini, di tengah kisruh KKN yang tak kunjung usai jelas
menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki mental kolonial (atasan harus
dijilat bawahan harus diperas). Ditambah pemikiran borjuis dengan kekayaan sebagai
kuncinya menjadikan pemerintahan sebagai lumbung uang. Dengan berkembangnya
teknologi informasi maka sikut-sikutan untuk mencari kekuasaan akan semakin
menjadi, jebak-menjebak atasan dan teman sejawat akan lazim digunakan. Jika
memang Pemerintah bertindak untuk rakyat, ayo bergotong royong, berkerjasama
dalam suatu integritas yang memang sangat dibutuhkan selama ini.
Lebih jauh program pemanfaatan domain
maritim membutuhkan integrasi dan integritas dari semua lembaga pemerintahan.
Domain maritim membutuhkan banyak informasi dari berbagai lembaga yang dapat
disatukan dan dijadikan acuan bersama dalam menetapkan kebijakan. Bukan hendak
memihak kepada lembaga Badan Geospasial Indonesia (BIG), namun lembaga ini
haruslah menjadi juru kunci informasi dari berbagai lembaga lainnya. Analisa
data dengan melibatkan berbagai lembaga harus dapat dikoordinasikan oleh
lembaga intelijen Indonesia yang selanjutkan dieksekusi oleh berbagai lembaga
terkait maritim dan perekonomian Indonesia. Namun walamualam pemerintahan saat ini belum memperlihatkan secara pasti
kinerjanya bahkan lembaga legislatif sibuk memotong berbagai kebijakan penting,
dan menetapkan secara sepihak kebijakan tanpa arah menunjukkan sikap ‘manusia
batu’ dengan mental Kolonial, Borjuis kolot,
Revolusiner bodong, dan Informatif bengal-nya sekaligus.
Seluruh masyarakat yang tergabung
dalam persatuan baik LSM atau kelompok dengan kekuatan pengaruh lainnya
hendaknya sadar apa yang telah dicapai oleh negara ini. Setidaknya HAM telah terjamin,
dimana setiap orang berhak untuk melakukan apa saja selama tidak melanggar
hukum baik itu untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya. Setiap orang
bebas untuk bekerja sama dengan siapapun yang juga untuk memenuhi hasrat individualnya,
bukan untuk negara, bukan untuk orang yang tidak dikenal di belahan Indonesia
lainnya apa lagi untuk generasi yang akan datang. Selain itu pers dan media
juga berhak melakukan apapun, informasi apapun dapat disebarkan asalkan
menghasilkan uang, kenapa tidak dijalankan?
Namun ingatlah uang bukan
segala-galanya, kekayaan tidak menjamin seutuhnya akan kebahagiaan. Tentang
kebahagiaan saya rasa adalah dengan melihat generasi ke depan Indonesia hidup
dalam kepastian dan kedamaian. Bila itu menjadi kuncinya maka jelas tugas kewajiban
masyarakat adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Apakah kita telah menyelesaikan
kewajiban kita?
Tentulah kritik ini
di generalisir, dengan tidak adanya ancaman masyarakat internasional yang
mengacaukan pola pandang nasional dan mengganggu Integritas bangsa, namun
perbaikan mental bangsa jelas harus menjadi prioritas terlebih dahulu. Selain
itu konsistensi dan pola pandang Jokowi dan think
tank-nya juga harus mencapai kestabilan pada arah yang tepat jika tidak mau
era ini kembali digulingkan oleh generasi muda!
[1]
Tan Malaka (1964) Materialisme-dialektika-logika MADILOG. Narasi. Jogjakarta
[2]
Dikembangkan berdasarkan sudut pandang Francis Fukuyama dalam buku the End of
History.
[3] Dalam
Marsetio (2014). Sea power Indonesia. Universitas Pertahanan. Sentul
No comments:
Post a Comment