Tak lelo, lelo, lelo ledung,
Cep menenga aja pijer nangis, anakku sing bagus rupane,
Yen nangis ndak ilang baguse, dak gadhang bisa urip mulya,
Dadiya priya kang utama, ngluhurke asmane wong tuwa,
Dadiya pendekaring bangsa.
Wis cep menenga anakku, kae mbulane ndadari,
Kaya buta nggegilani, lagi nggolekki cah nangis,
Tak lelo, lelo, lelo ledung,
Wis cep meneng anakku cah bagus,
Dak emban slendang bathik kawung,
Yen nangis mundhak Ibu bingung
Sekilas Masa Lalu
Sebagai putera jawa, aku cukup familiar dengan lagu di atas. Lagu berjudul “Tak Lelo Ledung”, yang entah siapa pengarangnya, konon merupakan lagu yang sering di-tembang-kan di tanah jawa oleh orang tua kepada anaknya saat menangis terutama sebelum tidur.
Keluargaku adalah keluarga jawa, walau bukan keturunan keraton, namun keluarga ku merupakan keturunan pejuang, baik dari perjuangan-perjuangan kerajaan dahulu sampai dengan perjuangan saat merebut kemerdekaan, maka wajar jika mestinya orang tuaku dulunya sering mendendangkan tembang ini. sekilas jelas lagu itu meminta si anak untuk tidak menangis, dan si mbah eyang sutilah kerap kali menyanyikan lagu ini, baik di saat menjalang tidur ataupun di saat merayuku untuk tidak ngambek.
Ketika Paradigma Berubah
Familiar, tapi tak pernah aku tahu lirik sebenarnya dari lagu “Tak Lelo Ledung” . Mungkin dengan sejarah masa lalu itu, membuat aku enggan ketika mendengarnya sehingga tak peduli apa yang tertulis di dalamnya sampai suatu ketika aku justru tergelitik untuk lebih mengerti lagu ini.
Dalam pementasan konser string oleh kelompok Sa’Unine. Aku tidak secara khusus tertarik pada musik klasik, tapi memang cukup gemar mendengarkan musik. Pemusik langsung memainkan lagu “Tak Lelo Ledung” sebagai pembuka.yang di nyanyikan oleh Sruti Respati, Aku kaget, lagu ini jadi pembuka. Dengan sentuhan berbeda Sa’Unine menyajikan lagu yang mungkin sebelumnya hampir ku benci. Aku hampir menangis kali ini, hanya hampir. Tapi kali ini beda, entah apa, tapi ada rasa yang menyeruak dalam dada. Kepalaku terangkat dan aku sadar senyuman tersungging di bibirku. Aku benar-benar menikmatinya, bahkan sambil mata terpejam.
Hari ini, bertahun-tahun menikmati lagu ini. Entah berapa orang yang aku beri tahu tentang lagu ini dan dengan senang hati aku berbagi salinannya kepada mereka. Berulang kali pula aku jadikan lagu ini penenang saat bimbang, tersakiti, atau sekedar pengantar tidur. Sesekali ketika saatku terpuruk, air mata tak segan keluar. Mungkin pantang bagi laki-laki menitikkan air mata, tapi kenapa tidak, toh untuk itulah air mata tercipta.
Di luar itu semua, masih ada pertanyaan mengganjal, apa yang membuat kala itu aku menangis sampai enggan mendengar, namun justru saat ini mampu jadi pemulih untuk hati yang butuh ketenangan. Aku putar kembali lagu itu, kebetulan ada yang tidak enak di hatiku, sekalian aku menenangkan diri, sekalian pula aku coba ungkap makna di balik lagu ini.
Kata-kata Sederhana Penuh Makna
Lagu ini memiliki dua versi lirik, yakni untuk anak laki-laki dan perempuan. Pembedanya pada kata “bagus” yang berarti tampan menjadi “ayu” yang berarti cantik, serta kata “priya kang” pada bait pertama menjadi “wanita”. Namun disamping lirik, cukup sulit untuk menentukan pemenggalan bait pada lagu ini. Hal ini karena banyak versi pelantunan lagu. Menggunakan versi lagu gubahan Sa’Unine, aku membaginya menjadi tiga bait.
Bait pertama berbunyi :
Tak lelo, lelo, lelo ledung,
Cep menenga aja pijer nangis, anakku sing bagus rupane,
Yen nangis ndak ilang baguse, dak gadhang bisa urip mulya,
Dadiya priya kang utama, ngluhurke asmane wong tuwa,
Dadiya pendekaring bangsa.
Aku mengulang bagian ini berkali-kali untuk mencoba menginterpretasikan maknanya, bukan sekedar menerjemahkan bahasanya. Hasilnya, aku mulai mengerti kenapa aku sewaktu kanak menangis. Kata-kata dalam bait ini sepintas terlihat sederhana, tapi sarat makna. Selain mencoba menenangkan si anak, sang orang tua menuturkan pengharapan bahwa si anak kelak ketika dewasa akan bersahaja, menjadi manusia yang sejati, mengharumkan nama keluarga dan berguna bagi nusa bangsa.
Disini aku agak berbeda panafsiran bila dibandingkan dengan penulis lain yang pernah memaknai lagu ini. Dalam tulisan lain dikatakan hal keutamaan diatas adalah doa sang orang tua untuk anak, tapi menurutku ini tak sekedar doa, tapi pengharapan. Kata “dak gadhang” bisa berarti sebuah pengharapan yang sangat besar. Hal ini diperkuat dengan latar belakang lagu yang kemungkinan diciptakan sebelum kemerdekaan yang berarti sang orang tua berharap si anak mampu menjadi orang yang mengeluarkan keluarga bahkan bangsanya dari keterpurukan.
Bagi anak lain, lagu ini bisa berarti biasa saja, tapi mungkin bagiku tidak. Entah dengan cara apa, aku tahu beratnya makna lagu ini. Menjadi tumpuan keluarga tidaklah mudah, apalagi menjadi manusia sejati. Itulah kenapa aku menangis waktu itu. Aku merasa tugasku berat dan aku teringat, hanya sampai sinilah orang tuaku menyanyikan lagu karena takut tangisku akan semakin kencang.
Bait kedua berbunyi :
Wis cep menenga anakku, kae mbulane ndadari,
Kaya buta nggegilani, lagi nggolekki cah nangis,
Aku sendiri bingung dengan bait ini. Bait kedua ini sangat singkat, tapi bila ingin digabungkan dengan bait lain juga rasanya tidak pas. Dari bait yang singkat tersebut seolah tergambar bahwa sang orang tua mulai putus asa karena si anak tak kunjung reda tangisnya. Si anak coba ditakut-takuti dengan bulan purnama yang diibaratkan dengan sesosok raksasa siap menerkam tiap anak yang menangis. Aneh memang bila dilogika. Bukankah justru beresiko ketika membuat anak takut akan sebuah bentuk, salah-salah si anak malah tambah menangis. Tepi ternyata tak sedangkal itu. Lagu ini mesti dilantunkan dengan utuh untuk mengetahui makna seluruhnya.
Bait ketiga berbunyi :
Tak lelo, lelo, lelo ledung,
Wis cep menenga anakku cah bagus,
Dak emban slendang bathik kawung,
Yen nangis mundhak Ibu bingung
Pada bait terakhir ini pilihan kata-katanya juga sederhana, tapi lagi-lagi sarat makna. Kata “dak emban” memiliki makna bahwa si anak didekap erat oleh sang orang tua. Dekapan sudah semestinya dekat dengan dada, tempat dimana jantung dan paru-paru terletak. Artinya si anak adalah darah dan nafas sang orang tua.
Setali tiga uang, kata berikutnya menyebutkan “selendang bathik kawung”. Batik Kawung adalah batik motif bulatan kecil mirip buah kawung, sejenis kelapa yang sering juga dianggap sebagai kolang-kaling yang ditata secara geometris. Kelapa merupakan tanaman yang oleh orang jawa banyak digunakan sebagai penyokong kehidupan. Motif ini juga sering di interpretasikan sebagai gambar teratai yang melambangkan kesucian dan umur panjang.
Secara umum, bait ketiga menyampaikan pesan bahwa sang orang tua akan berusaha memberikan ketenangan dengan segala upaya kepada si anak sehingga si anak tak perlu merasa terbebani. Di akhir lagu dikatakan, tangisan si anak akan mampu membuat sang orang tua khawatir.
Semua hal yang tertulis di atas adalah hasil interpretasi pribadi manusia dengan pengalaman yang dimilikinya. Pembaca bisa saja tidak sependapat dengan uraian di atas dan itu tidak jadi soal, sebab latar belakang manusia akan mampu melahirkan pemikiran yang berbeda dari fenomena yang sama.