Sunday, August 28, 2016

Durung Menang Yen Durung Wani Kalah, Durung Unggul Yen Durung Wani Asor, Durung Gedhe Yen Durung Wani Cilik : Ilmunya Pemimpin Besar

Durung Menang Yen Durung Wani Kalah, Durung Unggul Yen Durung Wani Asor, Durung Gedhe Yen Durung Wani Cilik :

Artinya belum menang jika belum berani kalah, belum tinggi (unggul) jika belum berani rendah, belum besar jika belum berani kecil.

Kalimat petuah di atas merupakan bagian dari ajaran Raden Mas Sosrokartono (kakanda Raden Ajeng Kartini). Yang merupakan jurnalis peliput perang dunia pertama, bahkan beliau adalah salah satu agen mata-mata yang mampu bicara dan menulis 24 bahasa

Dalam intisari Wejangan tersebut adalah manusia harus bisa mawas diri. Manusia jangan silau terhadap apa saja yang dimiliki, seperti pangkat, derajat, harta, dan kehormatan, Panggung Populeritas, Jabatan. Harta dunia tersebut bukan ukuran untuk menentukan kualitas pribadi orang yang memilikinya.

Tanda kesempurnaan sebagai menusia yaitu jika telah berhasil mengendalikan dirinya dengan baik sehingga segala permasalahan hidup bisa diatasi.

Sebab, pribadi yang dinilai telah meraih kesempurnaan adalah mereka yang telah meraih kesempurnaan adalah mereka yang telah berhasil melewati pasang-surut kehidupan.Dengan kata lain, menjadi ``orang besar`` harus berani juga kalah (mengalah), berani rendah (merendah), dan berani kecil (menyatu dengan rakyat jelata).

Manusia dinilai sempurna jika telah berhasil mengendalikan dan menyeimbangkan pribadinya dengan baik.Sebab, meraih segala apa yang dimiliki manusia senantiasa melalui proses panjang terlebih dulu

Contohnya, orang besar (pemimpin)yang sudah mampu dan berani mengalah, rendah hati, dan "menjadi kecil" sebagaimana rakyatnya. Jika belum berani melakukan hal-hal seperti itu, dia belum dapat dianggap besar.

Semua yang dimiliki manusia tidak bisa diraih dalam sekejap mata, tetapi melalui proses yang panjang terlebih dahulu.

Menang berasal dari kalah, karena itu yang bersangkutan harus bisa mengalah. Tinggi (unggul) berasal dari rendah, karena jika sudah tinggi harus memiliki sifat rendah hati. Besar berasal dari kecil, maka jika sudah besar jangan meninggalkan atau melupakan jalan pikiran serta suara orang kecil.


Wejangan ini mengajak untuk rendah hati. Menjadi mereka yang berjiwa besar; walau sebenarnya bisa menang tetapi mengalah; walau bisa lebih unggul tetapi mengaku rendah agar dapat menciptakan perdamaian. “Eyang” Sosro Kartono juga menasehati agar kita bisa menundukkan ego.

Seseorang yang egois yang membesarkan dirinya sebenarnya berjiwa kecil sehingga malu mengkui dirinya kecil. Pertama tama masalah rendah hati, dalam buku “Bersama J.P Vaswani Hidup Damai & Ceria” disampaikan……

 " Kerendahan hati adalah “buah kesadaran”. Kerendahan hati “terjadi” bila kita sadar akan jati diri kita. Sadar akan keunikan diri kita. Sadar akan keterkaitan diri dengan alam dan lingkungan sekitar kita. Sadar akan hubungan kita dengan Sang Maha Pengasih. Kerendahan hati terjadi bila kita sadar akan tugas serta kewajiban kita masing-masing dan, melaksanakannya dengan baik. Kerendahan hati berarti seorang ketua datang tepat waktu untuk memimpin rapat; tidak selalu terlambat. Kerendahan hati berarti seorang pekerja ikut memahami keadaan perusahaan dan pimpinannya, tidak menuntut melulu. Kerendahan hati berarti mengubah diri. Tidak mengharapkan orang lain berubah untuk dirinya. Dan, di atas segalanya kerendahan hati berarti tidak angkuh; tidak sombong; tidak merasa “sudah” cukup rendah hati. Usahakan rendah hati, karena tidak mungkin terjadi pengertian yang sungguh-sungguh tanpa adanya sikap rendah-hati………"


Apabila kita rendah-hati, kita dapat mengerti. Sebaliknya keangkuhan kita selalu menjadi rintangan. Keangkuhan dan tiadanya sikap rendah hati inilah yang menjadi sebab utama kesalahpahaman. Seseorang yang rendah-hati tidak akan menganggap dirinya superior. Pembicaraan kita dengan orang lain selalu menggunakan istilah “aku” atau padanannya “saya”. Aku berbuat begini; aku berbuat begitu. Aku memberikan ini; aku menghasilkan ini. Seseorang yang rendah-hati sebaliknya tidak akan menggunakan istilah “aku” . la akan selalu menggunakan istilah “kami” kalau terpaksa tidak mengikutkan orang yang diajak bicara dan “kita” kalau juga hendakmengikutsertakan orang yang diajak bicara…….. 


Mereka yang rendah hati tidak akan menyombongkan diri sebagai cendekiawan. Dalam buku “Mengikuti Irama Kehidupan Tao Teh Ching Bagi Orang Modern” disampaikan bahwa…….. Lao Tze mengatakan bahwa suara hati nurani kita berasal dari sumber sama yang menyebabkan terjadinya segala sesuatu dalam alam ini. Kebijaksanaan yang tidak dapat ditandingi, itulah suara nurani kita. Tetapi, suara hati nurani ini tidak akan terdengar oleh para cendekiawan. Mereka yang membanggakan dirinya sebagai cendekiawan akan menjadi tajam, menjadi teknokrat, birokrat. Mereka bisa menjadi apa saja. Mereka dapat menduduki jabatan-jabatan tinggi. Tetapi mereka kehilangan kontak dengan sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan materi, suara hati mereka, kesadaran mereka. Sebaliknya, mereka yang sadar begitu percaya pada diri sendiri, sehingga tidak akan terikat pada identitas-identitas diri yang palsu. Mereka tidak akan menyombongkan diri mereka sebagai cendekiawan. Mereka akan semakin rendah hati. Pandangan mereka semakin lembut, tidak terfokuskan pada sesuatu. Mereka melihat dunia ini seutuhnya. Untuk meraih sesuatu, mereka tidak akan besikeras sedemikian rupa sampai-sampai tindakannya merugikan orang lain………


Yang sakit jiwanya, yang merasa dirinya hampa, akan selalu mengejar kedudukan, ketenaran dan kekayaan. Seseorang yang ingin menonjolkan dirinya, memang sedang sakit. Yang sakit jiwanya merasa begitu kosong, begitu hampa, begitu tak berdaya, sehingga membutuhkan pengakuan dari masyarakat……

Sri Mangkunagoro IV mengatakan mereka selalu ingin menang, unggul dan dianggap besar sedang sakit jiwanya. Berarti mereka yang egoistis, jiwanya belum sehat. Tembok ego memang harus diruntuhkan. 

Dalam buku “Masnawi Buku Kedua Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki Pintu Gerbang Kebenaran” disampaikan…….. Tembok yang dimaksudkan adalah “Tembok Ego”; tembok keangkuhan, tembok kesombongan yang harus runtuh. Menundukkan kepala dalam doa berarti menundukkan ego, melepaskan keangkuhan. Membebaskan diri dari kesombongan,  kita semakin dekat dengan Sungai Kehidupan, Tuhan, Allah. 

Kita minum airnya, tidak haus lagi. Mari kita renungkan bersama, apa yang terjadi selama ini. Apakah kita sudah dekat dengan Sungai Kehidupan? Apakah sudah minum airnya? Apakah sudah tidak haus lagi? Sepertinya, kita masih haus. Sepertinya kita belum minum air dari Sungai Kehidupan. Berarti, kepala kita belum cukup tunduk. Berarti, “Tembok Ego” belum cukup runtuh; malah, jangan-jangan masih utuh. Lantas, apa gunanya menundukkan kepala sekian kali setiap hari? Tanpa pemahaman yang benar, tanpa kesadaran, ritus yang kita lakukan tidak akan membantu sama sekali; malah membuat kita angkuh, sombong, karena justru mempertinggi dan memperkuat Tembok Ego

No comments:

Post a Comment

Lentera Merah My web Lenteramerah https://pojoklenteramerah.blogspot.co.id/