Tuesday, November 29, 2016

BENARKAH PARIWISATA?!

Marine Ecological Researcher - Maritime Political Analyst
 

Perpres No. 21 Tahun 2016 Tentang Bebas Visa Kunjungan memberikan tanda tanya besar atas hubungan kerjasama international Indonesia, pasalnya Indonesia memberikan kebebasan untuk 169 negara, pemerintah wilayah administrasi khusus suatu negara, dan entitas tertentu untuk dapat mengunjungi Indonesia selama 30 hari. Ditimbang dari sisi untung dan rugi akan terdapat beberapa aspek yang menarik untuk dipertimbangkan ulang.

Di tengah hingar-bingar kondisi politik Indonesia yang sedang mencari bentuk demokrasi yang ideal untuk lebih dari 255 juta penduduk yang terdiri atas 1.128 suku, masalah perekonomian yang berujung pada kesejahteraan masyarakat terkadang bukan menjadi suatu topik bahasan yang nyaring di telinga umum. Selayaknya mata internasional masih terkungkung menilai kesejahteraan dengan ukuran GDP (Gross Domestic Product), maka generalisasi akan kesejahteraan dapat ditetapkan dengan mengabaikan jurang pemisah antara si kaya dan miskin, setangan dua tangan dengan pentingnya uang sebagai ukuran normalitas.

Kondisi GDP Indonesia menunjukkan peningkatan yang didukung oleh sektor pariwisata yang mulai primadona produksi Indonesia. Dari laporan kinerja kementerian pariwisata tahun 2015 PDB yang dihasilkan dari sektor pariwisata mencapai 461,36 trilliun rupiah atau sekitar 4,23% dari total GDP  2015 yang mencapai 11.540,8 triliun rupiah. Angka 4,23% dari sektor pariwisata tersebut meningkat yang sebelumnya berada pada angka 4,04 pada tahun 2014. Dalam catatan kinerja Kementerian pariwisata didapat pula bahwa peningkatan tersebut melebihi target capaian yang diharapkan. Keberhasilan kementerian pariwisata inilah yang selanjutnya mendorong pemerintah menyiapkan kebijakan strategis di sektor pariwisata.

Pertanyaan terletak pada bagaimana pola keterkaitan antara GDP terhadap kondisi negara secara holistik? Pertanyaan menjurus pada bagaimana dampak pengembangan sektor pariwisata terhadap perilaku pemerintah dan tindakan sosial masyarakat? Serta untung rugi dari konsep sektor pariwisata.

Pariwisata?

Kata pariwisata terdengar asing tak asing di telinga masyarakat secara umum, namun kajian ontologi mengenai pariwisata terkadang sering terlupakan, seakan hasil nyata dari pariwisata terasa lebih penting dibanding definisinya. Pariwisata sendiri memiliki definisi sebagai bisnis yang menawarkan jasa untuk aktifitas liburan. Tentu saja pariwisata melibatkan banyak orang dalam aktifitas ini, dibutuhkan konektivitas antar jasa yang tertuang dalam suatu tata aturan yang jelas. Dengan demikian maka sangat lah jelas bahwa pengadaan jasa jenis ini berkaitan erat dengan tata negara, politik, dan sosial.

Dalam Permen pariwisata no 10 tahun 2016, diatur mengenai pedoman penyusunan pembangunan kepariwisataan untuk provinsi dan kabupaten/kota mengisyaratkan keseriusan pemerintah dalam mengatur konsep kepariwisataan. Dalam kerangka pemikiran Permen tersebut, dijelaskan bahwa prinsip-prinsip yang sebelumnya berlandaskan atas azas pancasila dan UUD 1945 yaitu norma agama, HAM, kesejahteraan rakyat, kelestarian alam, pemberdayaan masyarakat, integritas antar sektor, kode etik pariwisata, dan keutuhan NKRI. Dengan cakupan berupa pembangunan industri, destinasi, pemasaran, dan kelembagaan pariwisata.

Bila pariwisata dilihat dalam kajian sosiologis mengarah pada kajian perubahan sosial, menimbang banyak aktor yang terlibat. Perubahan sosial yang mengarah pada perubahan holistik dalam suatu tatanan masyarakat, dapat diartikan dalam dimensi ideologis dan materialis, dimana melihat masyarakat sebagai suatu objek materia, perilaku dan tindakannya dalam suatu interaksi forma. Terlepas dari kajian tersebut pemandang secara luas sebagai hakekatnya kajian sosial diarahkan pada faktor-faktor seperti halnya kondisi geografis, perkembangan teknologi, kondisi ekonomi, dan kelas berpolitik yang memegang peran dalam perubahan pemikiran dan refensi suatu tatanan masyarakat. Jelaslah pula kita melihat perubahan paradigma masyarakat saat ini khususnya di Indonesia sangat tergantung atas perubahan politis yang terjadi. Bagaimana perubahan rezim pemerintahan saat ini menggambarkan pula dikenalkannya isu-isu unik seperti revolusi mental, poros maritim, pembangun dari pinggir, serta yang terbaru adalah isu tentang kepariwisataan ini.

Melihat sisi Geopolitik Indonesia

Secara garis besar pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir, yang tentu di dukung dengan adanya kerjasama internasional yang berjalan dengan baik. Perubahan mendasar dalam tatanan internasional saat ini berjalan dengan perkembangan demokrasi dengan azas Hak Azazi Manusia sebagai tonggak ukur. Sebagai suatu bagian dalam dunia internasional, Indonesia mengikuti strategi tersebut hingga banyak keuntungan yang dicapai.  Kebebasan dan aktif merupakan kunci utama dalam bekerjasama secara internasional, sebagaimana disebut dalam UU no 37 tahun 1999 bahwa Indonesia memegang prinsip bebas dan aktif. Komitmen kementerian luar negeri mencapai puncaknya dengan keberhasilan menunjang pertumbuhan ekonomi.

Namun demikian pertumbuhan ekonomi saat ini mengarah pada pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang terus meningkat, perubahan secara fluktuatif atas pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, Eropa, dan Russia menyebabkan beberapa negara mulai melirik Tiongkok dalam suatu kerjasama Internasional. Pada tanggal 22 April 2015 Indonesia menjalani kepekatan dengan Tiongkok dalam berbagai hal seperti halnya mensukseskan kerjasama kemaritiman setiap pihak, kerjasama perdagangan, dan kerjasama yang menguntungkan Indonesia seperti halnya pembangunan infrastruktur dan konektivitas di Indonesia, serta yang menjadi pertanyaan tentang komitmen membangun kerjasama kepariwisataan.

Melihat strategi Tiongkok yang tengah jetol dengan kebijakan Maritim Silk Road,maka apakah terdapat kaitannya dengan kebijakan kepariwisataan ini? Janganlah lupa bahwa letak strategis Indonesia yang merupakan jalur pelintasan Internasional. Maritime silk road yang membutuhkan keterlibatan lebih dari 60 negara nantinya, jelas membutuhkan perjuangan untuk mencapainya, dan tentu Tiongkok telah mempersiapkan berbagai strategi yang memungkinkan. Yang paling nyata strategi yang dibutuhkan Tiongkok adalah aksesibilitas dalam jalur tersebut baik untuk Tiongkok sendiri ataupun negara-negara lain yang bekerjasama dengannya.

Perpres no 21 tahun 2016 yang menjelaskan tentang bebas kunjungan untuk 30 hari tersebut lebih sering dikaitkan dengan kebutuhan akan pengembangan pariwisata, namun demikian perpres tersebut tidak menjelaskan hal tersebut secara lebih detail. Bila hal tersebut benar adanya, maka setidaknya terdapat persiapan matang pemerintah baik pusat dan daerah dalam mempersiapkan hal tersebut, setidaknya seperti yang tertuang dalam Permen pariwisata No 10 tahun 2016. Namun dari kajian awam saja permen tersebut baru turun setelah perpres, bukankah hal tersebut menjadi tanda tanya besar, membebaskan orang masuk baru memberikan aturan main pariwisata?

Ketakutan terletak pada kebijakan politik luar negeri dalam diplomasi Indonesia sendiri yang memegang konsep kreatif, aktif, dan antisipatif! Tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian serta luwes dalam pendekatan. Apakah telah kreatif, telah aktif dan antisipatif? Jangan hanya sekedar provokatif dan pragmatik, setidaknya burning issues dalam kebijakan ini dapat terjalan lama dan tidak preventif di mata masyarakat awam.

Sisi Sosiologis

Memandang kebijakan pariwisata dalam kajian sosiologi merupakan suatu hal yang sulit untuk diungkapkan, mengingat kajian sosiologi yang luas dan keterbatasan penulis, namun pariwisata yang melibatkan berbagai aktor dan merupakan ide yang diimplementasikan membutuhkan kajian ini. Berangkat dari pemandangan materialis yang membendakan faktor-faktor seperti halnya kondisi geografis, perkembangan teknologi, kondisi ekonomi, dan kelas berpolitik maka berikut kajiannya.

Struktualis-Marxis

Secara satu arah yang alamiah maka kondisi geografis akan merubah pemikiran masyarakat tentang teknologi yang dibutuhkan dan menciptakan kelas ekonomi dan kelas berpolitik tertentu. Dengan struktur sosial yang kuat maka kelas berpolitik memegang peran yang penting sehingga perubahan akan berbalik kondisi ekonomi menuntut menciptakan teknologi dan merubah tatanan geografis yang ada, maka pariwisata yang dibangun dari pemikiran elit politik tentang kondisi ekonomi menciptakan pemandangan yang berbeda untuk menciptakan teknologi dalam memandang kondisi geografis. Disinilah letak pemandangan politis Indonesia yang hendak menciptakan perbaikan ekonomi melalui suatu pemandangan akan produksi pariwisata. Selanjutnya penciptaan teknologi dan pemandangan masyarakat terhadap kondisi geografis diarahkan akan pentingnya pariwisata. Namun demikian, kondisi politik dengan landasan trias politica mengisyaratkan rakyat sebagai pemimpin tertinggi sehingga pemerintah diharapkan sebagai pekerja rakyat, sedangkan pemikiran di pegang teguh oleh rakyat melalui dewan perwakilan. Apakah kondisi tersebut telah berjalan baik secara teoritis ataupun kenyataannya?

Melihat beberapa negara dengan perkembangan pariwisata yang pesat bila dikaitkan perpolitikan yang terjadi di negara tersebut seperti halnya A.s dengan prinsip-prinsip liberalisme, dan Thailand dengan monarki belum dapat menjawab permasalahan ini dari sisi struktur sosial saja. A.s sebagai negara dengan kunjungan terbanyak ke-dua menurut organisasi pariwisata dunia (UNWTO) berhasil menarik 69,9 juta turis pada tahun 2015 sedangkan Thailand berada pada posisi 12 dengan 24,7 juta turis berkunjung, diantaranya terdapat Prancis, Malaysia, Russia, Belanda, dll.

Yang menarik tata aturan yang berperan dalam suatu pemerintahan tersebut serta norma dan nilai luhur yang terkandung dalam negara tersebut justru luntur, hal tersebut terungkap dengan adanya daftar-daftar kota-kota yang dijuluki kota penuh dosa (dikutip dari citizen6.liputan6.com) antara lain Pattaya (Thailand), Las Vegas (A.s), Moscow (Russia), Amsterdam (Jerman), dll. Hal tersebut mengisyaratkan perubahan tindakan sosial dalam masyarakat dengan mengabaikan nilai yang berlaku umum dan menciptakan suatu normalitas baru.

Tidakan Sosial Webber

Dalam kajian tindakan sosial, masyarakat bertindak berdasarkan empat paradigma yaitu tindakan tradisional berdasarkan kebiasaan, afektif berlandaskan ketersediaan lingkungan, rasionalitas nilai berlandaskan nilai yang dimiliki, dan rasionalitas instrumental berlandaskan keberhasilan dan tujuan. Berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini telah cukup menununjukkan perubahan tindakan sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia pertama, peristiwa Padepokan Kanjeng Dimas, perubahan paradigma masyarakat yang berorientasi keagamaan dan nilai-nilai luhur Pancasila seakan terkupas dengan adanya padepokan pengganda uang ala Kanjeng Dimas, santrinya yang begitu banyak dari seluruh Indonesia telah menjelaskan bahwa nilai agama bukanlah yang utama namun orientasi pada tujuan berupa uang dan kekayaan adalah yang utama.

Kedua, kisru Politik DKI Jakarta, munculnya tokoh yang dikatakan berhasil, menarik perhatian bahwa masyarakat Jakarta lebih memilih hasil di bandingkan norma dan nilai yang berlaku. Selain dari pada itu, munculnya kekuatan agama justru dapat menunjukkan temeng bahwa nilai agama dapat dijual untuk kepentingan kekuasan, otoritas, dan pengaruh.

Ketiga, isu legalitas pernikahan sesama jenis. Jelaslah pula bahwa legalitas tersebut menentang nilai dan norma luhur yang terkandung dalam masyarakat Indonesia, namun terungkap pula bahwa jumlah pengikut komunitas ini banyak, dan telah banyak dianggap norma oleh masyarakat. Keempat, isu Ham. Bangkitnya isu Munir dan PKI pada tahun ini tidak banyak mendapat sorotan masyarakat secara luas, namun hanya kalangan tertentu saja, terbukti tidak adanya gerakan massa yang cukup besar dalam membahas dan memperjuangkan issue ini, berujung pada dinginnya issue tanpa jawaban.

Pergeseran tindakan yang terjadi pada masyarakat Indonesia berada pada titik rasionalitas nilai menuju rasionalitas instrumental, dengan efektifitas dan keberhasilan kekuatan penapaian pegaruh, otoritas, dan kekuasaan sebagai ukuran. Sedangkan nilai yang terkandung dalam kewarganegaraan dan agama mulai terkikis. Hal tersebut sesuai pula dengan penelitian terakhir penulis di dua pulau yang akan dijadikan destinasi wisata unggulan provinsi yaitu pulau Enggano dan Mentawai dimana kedua pulau tersebut seharusnya masih menyimpan nilai luhur adat, agama, dan kewarganegaraan tapi justru 90% masyarakatnya telah memiliki orientasi terhadap tujuan dan keberhasilan pencapaian pengaruh, otoritas, dan kekuasaan lebih penting dibandingkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat.

Fungsionalis- Durkheim

Dalam kajian fungsionalis tentu perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak begitu saja terjadi, namun adanya aktor dan waktu yang memegang peran dalam perubahan tersebut. Aktor tersebut jelas ditunjukkan oleh individu atau kelompok yang memegang pengaruh, otoritas, dan kekuasaan, tindakan keseharian dan keberhasilannya yang menjadi pembelajaran untuk masyarakat secara luas, peran waktu yang cukup panjang jelas pula dapat terlihat, aktor besar mempengaruhi banyak aktor yang kecil, keberhasilan aktor-aktor yang kecil untuk menjadi aktor yang lebih besar melalui waktu menciptakan pengaruh yang lebih luas dan bersiap menciptakan lebih banyak aktor, kontinyu sebagaimana masyarakat belajar dari pengajar. Setidaknya 2-3 generasi dapat menciptakan perubahan dalam tatanan sosial. Maka dari itu dampak sosial yang terjadi saat ini adalah reflektif dari struktur sosial dan pemimpin yang merupakan aktor penting sebelumnya.

Maka dari itu pembangunan issue kepariwisataan apakah telah berjalan berdasarkan geopolitik, dialektika, waktu, aktor sosial, kajian tindakan sosial, serta perubahan sosial secara besar?

Siapkah kita menjadi destinasi pariwisata?

Kajian geopolitik akan sedikit absurd bila perubahan semata-mata terjadi, seperti halnya perubahan pandangan ketika isu Laut China Selatan mencuat, namun konsistensi aturan main geopolitik Indonesia dalam UU No 19 tahun 1999 yang menyatakan teguh alam prinsip dan pendirian harus tetap dijalankan. Konsekuensi perpolitikan internasional harus di padang secara kreatif, aktif, dan antisipatif bila tidak mau kembali sumberdaya kita terjual kembali dimakan asing.

Melihat kondisi sosial masyarakat yang tak kuat secara struktur sosial maka sangat rentan perubahan politik dimainkan asing sebagaimana bentuk proxy-war yang dihadapi lembaga pertahanan saat ini. Keadaan masyarakat dalam reflektif tidakkan sosial rasionalitas instrumental pengaruh, otoritas, dan kekuasaan sangat memungkinkan aktor pengusaha nakal mengambil peran besar, maka masyarakat akan digiring kepada kekuasaan modal berujung menjadi babu di negeri sendiri atau budak kapitalisme. Lebih jauh, pembangunan issue kepariwisataan lebih terkesan terburu-buru tanpa mempertimbangkan pembangunan sosial yang matang.

Reflektif penulis

Tentu tulisan ini hanya pemandangan sederhana penulis yang sedang mempelajari situasi dan kondisi dengan pengetahuan dan pengalaman yang terbatas, namun setidaknya hendaknya setiap pihak sadar akan kondisi yang terjadi tidak hanya disibukkan dengan hot issue yang terjadi seperti halnya pilkada DKI atau Awkarin dan Young lex yang menguras waktu dan pemikiran. Sebagaimana selayaknya para sosiolog memandang hal yang benar dan nyata terjadi dalam masyarakat. Kebijakan pemerintahan Indonesia saat ini seakan penuh misteri yang hanya mengikuti gerak aliran air yang dimainkan pihak tertentu, namun kerjasama dari berbagai pihak dengan peran masing-masing mutlak diperlukan sebagaimana kewajiban warga negara untuk membela negara. Sebuah catatan ini tak lebih dari bentuk kegelisahan pribadi penulis yang merupakan generasi muda yang masih percaya dengan pendidikan dan negara, untuk itu kritik dan masukan sangat diperlukan penulis sebagaimana murid yang hendak belajar dari pengalaman dan pengetahuan dari pihak lain.

No comments:

Post a Comment

Lentera Merah My web Lenteramerah https://pojoklenteramerah.blogspot.co.id/