Wednesday, November 23, 2016

Massa, Kerusuhan dan Konflik Sosial: "Agitasi Upaya Adu Domba"

 saya bukan ahli dalam bidang riset sosial, maupun perubahan sosial, namun setidaknya saya pernah belajar mengenai Phsikologi sosial, dinamika sosial dan beberapa mata kuliah yang di ajarkan dalam jurusan sosial ekonomi pertanian, walaupun hanya dapat C, namun penelitian s1 saya kurang lebih membahas mengenai prilaku sosial masyarakat, secara teoritis setidaknya masih ada yang diluar kepala, beberapa pelatihan mengenai jurnalistik damai pernah saya pelajari, 
hal yang menjadi potensi kelebihan NKRI adalah soal keberagaman yang di ikat dalam "Bhineka tunggal ika" artinya bagaimana memanajemen keberagaman suku, agama, ras agar menjadi sebuah kekuatan, jika penyeragaman maka yang terjadi adalah potensi ketidak sukaan, potensi perpecahan, potensi yang mejadi ancaman NKRI.
Sedikit saja menyinggung bisa menyulut kemarahan, menyulut peperangan, menyulut baku hantam, yang pada akhirnya menimbulkan Konfik horizontal, antar sesama saudara, sesama rekan bahkan sesama agamapun bisa terjadi, apalagi beda agama, beda suku, beda daerah.

Padahal sebenarnya Ralph K White (dalam Ancok, 2004) menyatakan nobody wanted war, tidak seorangpun yang menyukai peperangan (konflik). Hal tersebut berarti manusia sebenarnya juga menginginkan keterdekatan dan kerjasama dengan orang lain, berinteraksi secara positif dan menjalin hubungan yang lebih dalam antara satu dengan yang lain. Namun demikian realitasnya banyak keinginan untuk berkonflik dengan orang lain. Selanjutnya Ralph K White menekankan bahwa ada 6 hal yang bisa menyebabkan terjadi konflik, antara lain diabolical enemy image (pandangan bahwa musuh jahat seperti setan), vipile self image (pandangan bahwa dirinya jantan), moral self image (pandangan dirinya lebih bermoral), selective inatention (tidak memperhatikan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan), absence of emphaty (tidak adanya empati), military over confidence (keyakinan yang berlebihan akan kekuatannya). Pandangan yang dikemukakan oleh White inilah yang dianggap menjadi titik tolak munculnya konflik. Oleh karena itu semua pihak perlu mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas.
Sementara itu ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya permasalahan/ pertentangan atau konflik yang berujung pada kerusuhan, antara lain:
1. Adanya prasangka sosial
Prasangka merupakan fenomena yang terjadi antar kelompok yang cenderung berkonotasi negatif (Kuppuswamy, 1973). Prasangka bisa muncul karena adanya konflik atau kompetisi antar kelompok. Prasangka tersebut terkait erat dengan stereotipe negatif pada kelompok lain atau stigma yang akan melekat dan diturunkan terus menerus dalam kehidupan selanjutnya, akhirnya prasangka tersebut terlihat sebagai dosa turun menurun yang akan selalu ditularkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Prasangka menjadi mengkristal karena tidak pernah ada penyelesaian yang tuntas. Pada akhirnya prasangka yang tak kunjung selesai akan menciptakan keinginan untuk melakukan diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan. Akan muncul konsep in-group dan out-group, yang menganggap kelompok dan orang-orang yang se ide dan se ideology sebagai kelompok yang benar, dan sebaliknya orang lain yang tidak se ide sebagai ancaman bagi dirinya. Sebagaimana yang terungkap dalam investigasi dari Gatra (Agustus, 2001) tentang banyak bermunculan panglima cilik dari komunitas Islam (putih) maupun Kristen (merah) di dalam kerusuhan Ambon, akibat dari konflik yang terus menerus dan semakin meneguhkan anggapan atau persepsi yang negatif di antara mereka.
2. Fanatisme yang berlebihan dan keliru
Pertentangan antar kelompok bisa muncul bila terjadi adanya pandangan yang mengagung-agungkan kelompoknya, namun menganggap rendah kelompok lain. Akhirnya segala hal yang menyangkut kelompoklain, dianggap sebagai sesuatu yang negatif atau bahkan lebih jauh lagi dianggap sebagai musuh yang tidak harus dihormati. Akhirnya pandangan negatif tersebut akan menjadi bibit permusuhan antar kelompok. Sebagaimana diungkapkan oleh Jamuin (1999) diistilahkan sebagai klaim kebenaran yang didasarkan atas keyakinan membabi-buta terhadap hasil interpretasi atas teks ajaran agama. Hal tersebut karena klaim kebenaran akan mengarah pada munculnya konflik antar pemeluk agama yang bisa meluas pada konflik pada wilayah kehidupan yang lain.
3. Kurangnya komunikasi
Suatu pertentangan atau permusuhan kadangkala disebabkan oleh ketidaklancaran dalam mengko-munikasikan pesan. Pesan ditangkap oleh orang lain sebagai sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diinginkan oleh pemberi pesan. Akhirnya akan terjadi kesalahan persepsi akan maksud pesan tersebut, yang berlanjut dengan ketegangan di antara pemberi dan penerima pesan. Begitu pula dalam kehidupan bersama, suatu ketegangan akan terjadi bila suatu hal yang dikomunikasikan oleh kelompok tertentu dipersepsikan keliru oleh kelompok yang lain. Hal tersebut karena kelompok-kelompok yang jarang atau tidak pernah berkomunikasi akan menggunakan info yang sedikit tersebut untuk mengambil keputusan akan kemungkinan perilaku orang lain. Oleh karena itu perlu adanya komunikasi antara kelompok agar tercapai kesamaan persepsi atau sensitivitas akan maksud dan tujuan pesan yang dikomunikasikan.
4. Pencampur adukan kepentingan agama dengan kepentingan sosial, politik, ekonomi
Kepentingan agama memang tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor lain yang melingkupinya. Merunut sejarah masa lalu, agama tidak dapat dipisahkan dari kepentingan-kepentingan lain. Akhirnya kadangkala umat beragama terpecah menjadi berbagai kepentingan yang mempunyai misi dan visi berbeda. Akhirnya apabila muncul ketegangan di antara berbagai kepentingan tidak dapat melepaskan diri dari atribut kepentingan politik atau ekonomi yang disandangnya. Apalagi memiliki kekuasaan politik berarti mempunyai kekuasaan yang lebih dibanding yang lain. Hal inilah yang seringkali menimbulkan pertikaian dalam kehidupan beragama.
5. Terakumulasinya permasalahan sosial ekonomi, seperti kemiskinan, meningkatnya pengangguran dan tidak stabilnya harga kebutuhan pokok, yang tidak terselesaikan dapat pula menjadi pemicu dasar kerusuhan, apalagi bila dikaitkan dengan persoalan SARA. Hal tsb bisa menjadi precipitating factor / event yang ampuh dalam memunculkan kerusuhan. Apalagi ada provokator yang mampu me"manage" isu sehingga mudah membakar massa yang sudah frustasi dengan seabreg ketidakpuasan.
Teori Psikologi Massa
Studi tentang massa atau perilaku kolektif banyak bersangkut paut dengan disiplin sosiologi politik dan psikologi sosial, baik dari ulasan makro maupun mikro (Cook et.al, 1995). Kaitan erat fenomena perilaku kolektif dengan psikologi sosial nampak pertama kali dari publikasi Charles Makay yang berjudul Extraordinary Popular Delusions & The Madness of Crowds tahun 1841; kemudian karya Gustav Le Bon yang berjudul The Crowd, publikasi le Bon ini membawa pengaruh besar meningkatkan perkembangan penelitian tentang perilaku kolektif, seperti Robert Park seorang Amerika yang studi di Jerman yang menulis disertasi tentang perilaku individu dalam kerumunan tahun 1904; selanjutnya Park dan Ernest Burgess mengulas contagion theory dalam buku Introduction to the Science of Sociology tahun 1921; Ralph Turner dan dan Lewis Killian yang memperkenalkan teori Emergent Norm Perspective dalam bukunya Collective Behavior tahun 1957; Neil Smelser dengan teori The Value-Added dalam buku Theory of Collective Behavior tahun 1962; Clarck McPhail dengan teori SBI (symbolic interactionist/ behaviorist) atau Sociocybernetic yang menekankan bahwa perilaku kolektif adalah bentuk dari perilaku kelompok; Floyd Allport dengan teori Konvergen mengulas perilaku kolektif dalam buku Social Psychology tahun 1924; Neil Miller dan John Dollard dalam buku Social Learning and Imitation tahun 1941; pendekatan individual terhadap perilaku kolektif dimunculkan tahun 1988 oleh Michael Hogg dan Dominic Abrams dalam bukunya Social Identification : A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes; William Kornhauser dengan teori Mass Society dalam buku The Politics of Mass Society tahun 1959 menyatakan bahwa gerakan sosial (social movement) sifatnya personal daripada politis, karena terkait dengan keinginan terbebas dari masalah perasaan terkekang/ terisolasi; Stoufer dengan teori deprivasi relatif tahun 1949 yang kemudian dikembangkan oleh Denton Morrison tahun 1971 dalam buku Some Notes toward Theory on Relative Deprivation, Social Movements and Social Change; Meyer Zald dan Roberta Ash dalam bukunya Social Movement Organizations memunculkan teori Resource Mobilization; serta Douglas Mc Adam dengan teori Political Process dalam buku terbitan tahun 1982 dengan judul Political Process and the Development of Black Insurgency 1930-1970.
Di samping itu, menurut Cook et.al. (1995) banyak publikasi dari psikolog yang mengulas perilaku kolektif dan gerakan sosial dari sudut psikologi sosial, antara lain: Freud dengan bukunya Group Psychology & the Analysis of the Ego, yang terbit tahun 1921;Dollartd et.al. dengan bukunya Frustration and Aggression yang terbit tahun 1939; Adorno et.al. dengan buku The Authoritarian Personality yang terbit tahun 1950.
Lebih jauh lagi DiRenzo (1990) dalam bukunya Human Social Behavior mengungkapkan berbagai jenis dari perilaku kolektif, antara lain : crowds, panic behavior, mass hysteria, behavior in disasters, rumor, publics, public opinion, mass behavior, dan social movement. Sedangkan Locher (2002) dalam bukunya Collective Behavior membedakan perilaku kolektif sebagai berikut : mass suicides, mob violence, riots, crazes, panics, fads, rumors, physical hysterias, millenarian groups, sightings, miracles dan social movements. Menurut John Lofland (2003) perilaku kolektif mencakup 4 jenis yang berbeda, yakni kerumunan (crowd), massa (mass), publik, dan gerakan sosial (social movement).
Gerakan sosial dianggap memiliki keistimewaan dibanding perilaku kolektif yang lain, utamanya tentang pengorganisasian kelompok yang tidak kelihatan pada jenis perilaku kolektif yang lain. Pada dasarnya gerakan sosial mencakup beberapa konsep, yakni ; orientasi tujuan pada perubahan(change-oriented goals), ada tingkatan tertentu dalam suatu organisasi (some degree of organization), tingkatan kontinuitas aktivitas yang sifatnya temporal (some degree of temporal continuity); serta aksi kolektif di luar lembaga (aksi ke jalan) dan di dalam lembaga (lobi politik) (some extrainstitutional and institutional) (Cook et.al., 1995). Dari berbagai konsep di atas nampak sekali bahwa gerakan sosial mencakup pula adanya suatu organisasi tertentu yang lebih kompleks dan bertahan lama dibanding perilaku kolektif lain misalnya crowd.
Cara-cara Mengatasi Konflik
Sherif (Sarwono, 1998) mengungkapkan bahwa pemecahan konflik bisa dilakukan dengan beberapa cara di antaranya adanya pemunculan tujuan bersama, artinya tujuan individu individu bisa disubstitusikan pada tujuan bersama yang lebih besar untuk kepentingan bersama. Hal tersebut berarti kemampuan semua warga negara dari berbagai lini untuk saling menghargai pandangan, perasaan dan respon orang lain akan menumbuhkan kebersamaan. Kuncinya adalah pemerintah harus mengedepankan kepentingan bersama dengan memperhitungkan dampak yang mungkin terjadi dalam kehidupan bangsa dan negara. Tujuan bersama atau Super ordinate goal dapat mengurangi konflik antar kelompok (Ancok, 2004). Super ordinate goals yang kita raih saat ini adalah bagaimana menciptakan Indonesia yang aman, damai dan sejahtera.
Lebih jauh lagi permasalahan konflik antar kelompok seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak, karena penyelesaian persoalan ini harus lebih komprehensif. Beberapa solusi tersebut antara lain :
1. Lebih cepat dan tanggap dalam memperhatikan berbagai ketidakpuasan yang terjadi di masyarakat.
Sebagaimana diketahui ketidakpuasan (subjective dissatisfaction) menjadi faktor utama munculnya gerakan sosial (Matulessy, 1997). Selama masih banyak persoalan tentang ketidakadilan, pengangguran dan tekanan ekonomi dikaitkan atau dijadikan dasar munculnya konflik antar kelompok.
2. Perlu tindakan hukum yang lebih tegas dan transparan pada pemicu kerusuhan.
Selama ini ada kesan pelaku kerusuhan tidak pernah mendapatkan law enforcement yang sepadan, karena adanya kendala bukti dan saksi dalam kegiatan massa sulit didapatkan serta dukungan dari tokoh dan anggota kelompoknya membuat aparat sulit untuk memberikan punishment kepada mereka.
3. Meningkatkan komunikasi di antara kelompok untuk mengurangi prasangka serta mempererat kerukunan.
Komunikasi ini dalam bentuk dialog interaktif secara kontinu dengan tujuan untuk membangun kesadaran sebagai bagian dari masyarakat plural; kegiatan bersama untuk membangun rasa percaya di antara kelompok, serta refleksi & renungan kebersamaan untuk mensikapi perbedaan visi kehidupan.
4. Kesadaran dari para pemuka kelompok untuk tidak menjadikan konflik sebagai alat politik
Hal ini memang tidak mudah, karena politik berarti kekuasaan, dan fanatisme kelompok merupakan kendaraan politik yang paling ampuh untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal sebagian besar masyarakat tergolong pada masyarakat level bawah, yang mengedepankan emosi pada para pemimpinnya, ditambah dengan kekurangmampuan mengulas konflik dengan lebih bijaksana dalam tataran wacana, sehingga mudah sekali digiring pada aksi brutal untuk mempertahankan kelompoknya (pemimpin). Oleh karena itu pemimpin kelompok diharapkan mengurangi perannya dalam politik atau tidak memunculkan pendapat yang sudah dirasuki oleh kepentingan politik. Selain itu menumbuhkan suasana yang sejuk serta tidak menguatkan klaim kebenaran yang mengarah pada fanatisme yang keliru.
Dari berbagai model solusi di atas, sebenarnya penyelesaian yang terfokus pada peningkatan kesadaran kelompok merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan konflik antar kelompok. Pembinaan pada anggota kelompok diarahkan pada peningkatan kualitas akan nilai-nilai kebenaran dan menumbuhkan sikap toleransi adalah sesuatu yang paling efektif daripada mengkonsentrasikan pada penambahan jumlah pengikutnya. Namun demikian pada kehidupan social yang semakin penuh dengan kompetisi, maka penghayatan akan toleransi masih merupakan wacana yang sulit untuk diimplementasikan pada tingkatan realitas.
Sekali lagi orang masih melakukan proses heuristics atau mental short-cut dalam mempersepsikan segala hal yang terkait dengan orang lain. Ada prototype di dalam struktur kognitif seseorang yang dibangun dari sebuah proses interaksi dan internalisasi dengan lingkungan sosialnya, dalam arti kultur, agama, etnis atau lingkungan keluarga. Prototype tsb tidak selalu benar, banyak distorsi kognitif yang menyulitkan munculnya toleransi pada orang lain. Selain itu egoisme pribadi yang menetapkan diri pribadi atau kelompoknya menjadi tolok ukur dalam menilai orang lain pun akan menyulitkan seseorang untuk bertoleransi dengan orang atau kelompok lain.
Di dalam kehidupan bermasyarakat ada kecenderungan orang masih berfikir “senang melihat orang lain sakit, atau sakit hati bila melihat orang lain senang”. Padahal toleransi harus didasari oleh kebutuhan kita untuk share/ saling berbagi persoalan dengan yang lain tanpa saling menghalangi; mampu berempati atau mampu merasakan apa yang sedang terjadi pada orang lain, kemampuan empati seperti ini memang tidak mudah untuk dilakukan selama tidak ada keterbukaan hati dan pikiran kita akan keberadaan orang lain; simpati pada apa yang dilakukan orang lain, selalu melihat bahwa apa yang dilakukan orang lainpun patut kita hargai; menghormati pendapat, pandangan, keyakinan, customs, perilaku, agama, suku dan segala atribut orang atau kelompok lain, kondisi seperti ini bisa tercapai apabila kita terbiasa untuk berkomunikasi dengan berbagai typical orang yang berbeda, fanatisme menggumpal karena jarang ada interaksi dan komunikasi dengan orang atau kelompok lain; tidak selalu menilai orang lain berdasarkan subjektifitas dirinya, bahaya menggunakan subjetivitas adalah semakin menyulitkan kita untuk menerima kehadiran dan perubahan yang terjadi pada orang lain, karena setiap orang mau tidak mau akan selalu berubah, sehingga pandangan kitapun harus berubah, selain itu objektivitas muncul apabila kita mampu berinteraksi; mengedepankan consensus daripada konflik dengan individu lain, selama ini penyelesaian dengan berkonflik dianggap lebih sesuai dalam mencapai tujuan diri dan kelompok, padahal sekali konflik muncul akan semakin sulit kita mengendalikan untuk tidak berkonflik atau akan muncul jenis konlik lain yang semakin parah; menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang segala persoalan yang terjadi pada orang lain, memahami orang lain tidaklah mudah, karena harus didasari oleh kebersihan nurani untuk melihat segala persoalan dengan lebih hati-hati dan jernih; tidak ada keinginan untuk mengalahkan orang lain, dalam arti tidak selalu melihat kelompok lain sebagai musuh namun lebih menekankan pada kemenangan semua pihak, karena semua pihak adalah mitra dalam kehidupan sehari-hari; serta menetapkan bahwa kerjasama adalah modal social yang paling utama dalam membangun interaksi bersama. Tanpa adanya toleransi antar kelompok, maka jangan harap segala capaian atau keinginan akan perubahan pada masa depan negara ini akan tercapai. MERDEKA !!!!

Sumber kajian :
1. Matulessy, Andik. 2003. Gerakan Mahasiswa. Penerbit Wineka Media. Malang.
2. Matulessy, Andik. 2003. Psikologi Pencerahan. Penerbit Wineka Media. Malang.
3. Matulessy, Andik. 2005. Psikologi Politik. Penerbit Srikandi. Surabaya.
4. Matulessy, Andik. 2005. Mahasiswa dan Gerakan Sosial. Penerbit Srikandi. Surabaya

No comments:

Post a Comment

Lentera Merah My web Lenteramerah https://pojoklenteramerah.blogspot.co.id/