Dardanella mencapai puncak keemasan ketika diperkuat dua seniman serba bisa Tan Tjeng Bok dan Devi Dja. Pada masa itu, mereka merupakan roh pertunjukan Dardanella. Tan Tjeng Bok mendapat julukan “Douglas Fairbanks van Java” sementara Devi Dja “Bintang dari Timur” (Star From the east).
dewi djaMinim Literatur
Saat ini agak sulit mencari biografi Devi Dja secara lengkap, kecuali mungkin di buku otobiografi “Gelombang hidupku, Devi Dja dari Dardanella” karya (Alm) Ramadhan KH yang dicetak tahun 1982 oleh penerbit Sinar Harapan. Sayangnya, buku itu pun sekarang sudah tergolong langka.
Saking langka dan minimnya literatur tentang sosok wanita ini, Matthew Cohen PhD, staf pengajar di University of London dalam sebuah diskusi kesenian Bali-Jawa di Amerika ‘Dewi Dja Goes to Hollywood’ Maret lalu, tertarik untuk mendokumentasikan kembali kehidupan Devi Dja bersama kelompoknya di Amerika Serikat dalam sebuah buku yang sedang disusunnya bertajuk ‘Performing Java and Bali on International Stages: Routes from the Indies, 1905-1952’
Yang jelas, biografi wanita ini dalam literatur kesenian Indonesia sangat minim. Entah jika di Amerika sana, tempat dimana dia kemudian menghabiskan sisa hidupnya.
Siapa Devi Dja?
Menurut catatan Ramadhan KH, Devi Dja atau “Bintang Dari Timur” lahir pada 1 Agustus 1914 di Sentul, Yogyakarta, dengan nama  kecil Misria dan kemudian menjadi Soetidjah. Dia sering menguntit kakek dan neneknya, Pak Satiran dan Bu Sriatun, ngamen berkeliling kampung  memetik siter. Devi Dja memang memiliki minat seni sejak kecil. Dia juga berangkat dari keluarga Jawa yang miskin di awal abad ke-20.   
Saat mereka sedang ngamen di daerah Banyuwangi, dimana pada waktu bersamaan grup sandiwara yang lain, Dardanella pimpinan Pedro (Willy Klimanoff)  yang sudah terkenal, juga main di
Banyuwangi. 
Pedro mengaku tertarik dengan Soetidjah dan langsung melamarnya. “Ternyata Pedro melihat pertunjukan kami. Katanya ia tertarik pada saya ketika saya menyanyikan lagu Kopi Soesoe yang ketika itu memang sedang populer,” tutur Devi Dja ketika berkunjung ke Jakarta menjenguk Tan Tjeng Bok yang sedang  terbaring sakit tahun 80-an.
Meski keluarga Soetidjah keberatan, akhirnya Soetidjah mau menerima pinangan Pedro dan bergabung sebagai pemain Dardanella. Soetidjah tak penah mengenyam pendidikan sebelumnya, dia baru belajar baca dan menulis latin ketika bergabung di Dardanella pada usia 14 tahun.
Di tahun awalnya bergabung, Soetidjah hanya dapat peran-peran kecil dan lebih sering menjadi penari yang tampil dalam pergantian babak. Bintang Soetidjah mulai bersinar ketika pemeran utama wanita Dardanella,  Miss. Riboet jatuh sakit. Soetidjah pun didaulat memerankan tokoh Soekaesih—peran yang selama ini dipegang Miss. Riboet—dalam lakon “Dokter Syamsi”. Meskipun usianya baru 16 tahun ketika itu, akting Soetidjah cukup meyakinkan yang kemudian dipanggil Erni oleh kawan-kawannya.
Keliling Dunia, Nginap di Rumah Mahatma Gandhi lalu  Berlabuh
di Amerika
Dan sejak itu, karirnya di Dardanella mulai menanjak. Perlahan tapi pasti ia berhasil menjadi menyaingi ketenaran Miss. Riboet dan Fifi Young, dua wanita pemeran utama Dardanella. Bersama Tan Tjeng Bok,  Soetidjah menjadi sosok penting dalam kisah sukses grup Dardanella. Dia lalu terkenal dengan nama Miss. Devi Dja. Saat Dardanella pertama kali mentas di luar negeri, Devi Dja baru 17 tahun. Usia yang kata Devi Dja lagi seger-segernya.  Menurut catatan Ramadhan KH, saat Dardanella manggung di luar negeri, nama kelompok Dardanella mulai berganti-ganti, dengan personil yang juga berganti-ganti. Kecuali Pedro dan Devi Dja tentunya. Dardanella lalu main di Hongkong, New Delhi, Karachi, Bagdad, Basra, Beirut, Kairo, Yerusalem, Athena, Roma. Terus keliling Negeri Belanda, Swiss, dan Jerman. Pada Mei  1937 saat manggung di India, rombongan mereka disaksikan oleh Jawaharlal Nehru yang kemudian jadi pemimpin negeri itu. Kabarnya Pedro dan Devi Dja sempat menginap di rumah Mahatma Gandhi.
Dan seperti dituturkan Devi Dja pada Majalah Tempo di tahun 80-an, saat bermain di luar negeri, Dardanella berubah namanya menjadi  “The Royal Bali-Java Dance”. “Kami lebih mengutamakan tari-tarian daripada sandiwara, sebab khawatir penonton tidak tahu bahasanya,” katanya.
Devi Dja juga masih ingat ketika perang dunia pertama mulai berkecamuk, mereka sedang berada di Munich, Jerman. Saat itulah keadaan masyarakat dunia sedang dalam kegelisahan yang juga  dialami oleh personel “The Royal Bali-Java Dance” (Dardanella) terkait situasi perang.
Ramadhan KH menulis, di tengah kegelisahan masyarakat Eropa khususnya, Pedro kemudian mengambil keputusan menyeberang ke Amerika saat mereka sedang berada di Belanda.  Akhirnya bersama rombongan kecil Dardanella, Devi Dja naik kapal “Rotterdam” menuju Amerika.
Perhitungan Pedro ketika itu barangkali karena negara Amerika relatif lebih menjanjikan, lagipula
Amerika  tidak terlibat terlalu jauh dalam perang dunia pertama.  Dengan nama tenar yang disandangnya, sesampainya di Amerika  mereka mendapat sponsor dari Columbia untuk mementaskan karya-karya mereka di hampir seluruh kota besar Amerika. “Kami keliling, tidur di trem saja. Cuma di New York menetap dua minggu,” tutur Devi Dja.  
Photobucket
Berita Devi Dja di sebuah harian Amerika
Sudah merasa cukup lama din Amerika mereka bermaksud kembali ke tanah air, tapi Perang Dunia II keburu pecah dan Indonesia diduduki Jepang. Akhirnya mereka tertahan di Amerika tidak bisa pulang. 
Setelah perang usai anggota rombongan tinggal belasan orang, sebab sebagian berusaha pulang. Dan semangat pun mulai luntur.
Demi bertahan hidup di Amerika, Pedro dan Devi Dja membuka sebuah niteclub bernama Sarong Room di Chicago, yang sayang terbakar habis pada 1946.  Pedro akhinya merasa tak tahan dan meninggal dunia di Chicago tahun 1952. 
Di masa awal kemerdekaan Indonesia, Devi Dja sempat bertemu Sutan Syahrir yang tengah memimpin delegasi RI untuk memperjuangkan pengakuan Internasional terhadap kemerdekaan Indonesia di markas PBB New York tahun 1947. Oleh Syahrir, dia sempat diperkenalkan sebagai duta
kebudayaan Indonesia kepada masyarakat Amerika. Dan namanya pun makin dikenal di negara itu. Sebab itu tak sulit baginya mendapatkan kewarganegaraan Amerika. 
Tahun 1951 Devi resmi menjadi warga negara Amerika. Sepeninggal Pedro, Devi masih sempat mementaskan kebolehannya dari pangung ke panggung bersama anggota kelompok yang tersisa. Devi menikah dengan seorang seniman Indian bernama Acce Blue Eagle.
Menurut Ramadhan KH, pernikahan itu hanya berlangsung sebentar. Acce tidak suka Devi Dja bergaul
dengan sesama masyarakat Indonesia di Amerika. Sedang itu adalah dunia Dewi Dja. Apalagi setelah terbetik kabar, bahwa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya.
Setelah itu Devi terbang ke Los Angeles, kesempatan karir terbentang di sana. Devi Dja sempat
menari di depan Claudette Colbert yang takjub oleh gerak tangan dan kerling mata Devi Dja. Kabarnya Devi hampir terpilih untuk mengambil peran dalam salah satu film produksi Hollywood. Tapi sayang, karena bahasa Inggrisnya kurang fasih. Dia gagal mendapatkan kesempatan itu.
Dia lalu menikah lagi dengan orang Indonesia asal gresik yang menetap di Amerika bernama Ali Assan. Dari Ali Assan ini Devi memperoleh satu anak perempuan yang diberi nama Ratna Assan. Tapi usia
pernikahan mereka tak lama, mereka pun bercerai. Kesibukaannya di Amerika adalah mengajarkan tari-tarian daerah kepada penari-penari Amerika. Devi mengaku meski namanya sudah terkenal sebagai penari, tapi kehidupan kala itu susah, mengingat dunia habis dicabik-cabik perang.
Namun Devi mengaku beruntung berteman dengan selebriti Hollywood yang menjadi teman akrabnya. Ia akrab dengan Greta Garbo, Carry Cooper, Bob Hope, Dorothy Lamour, dan Bing Crosby. Merekalah yang banyak membantu  Devi dalam memberikan kesempatan. 
Devi juga sempat bermain dalam beberapa film, antara lain The Moon And Sixpence, riwayat hidup pelukis Prancis Paul Gaugin. Dia juga membintangi atau menjadi koreografer film Road to Singapore (1940), Road to Morocco (1942), The Picture of Dorian Gray (1945), Three Came Home (1950) dan Road to Bali (1952). Di Los Angeles Dewi juga rutin mengisi acara televisi lokal.
Anaknya, Ratna Assan sempat bermain sebagai pemeran pendukung dalam film Papillon (1973) yang dibintangi Steve Mc Quin dan Dustin Hoffman. Tapi Ratna Assan kemudian tidak melanjutkan karir aktingnya di Hollywood, sesuatu yang amat disesali Devi Dja mengingat anaknya itu fasih berbahasa
Inggris, tidak seperti dirinya.
Hari-Hari Terakhir
Dalam bukunya Ramadhan KH menulis bahwa Devi Dja pernah  memimpin float Indonesia (float “Indonesian Holiday”, dengan sponsor Union Oil) dalam “Rose Parade” di Pasadena, tahun 1970.  Dia menjadi orang pertama Indonesia yang memimpin rombongan Indonesia yang turut serta dalam Rose Parade di Pasadena itu.
Waktu tanda penghargaan sampai padanya, ia panggil anaknya, Ratna “Ini Ratna, bacalah!” Penghargaan bagi kalian, bagi kita.” “Ya Mamah. Kali lain kita harus mempertunjukkan sesuatu yang
lebih bagus lagi”. 
Air mataku menetes
lagi, kata Dewi Dja. Entah mengapa. Barangkali karena cintaku sedemikian besar
kepada sesuatu yang jauh daripadaku. Aku tidak bisa melepaskannya. Tidak bisa!
Seluruh hatiku tercurah baginya. Indonesiaku, engkau jauh di mata, tetapi senantiasa
dekat di hatiku, bahkan menggelepar hidup di dalam jantungku.
” kata Devi

dalam buku itu.
Namun ternyata bukan cuma itu, Devi Dja pernah tampil membela pemuda-pemuda Indonesia di Pengadilan Los Angeles ketika berita tentang “Perbudakan di Los Angeles” marak.  Devi tampil membela pemuda-pemudi Indonesia yang dirantai dihadapkan ke pengadilan di Los Angeles.
Namun berkat campur tangan Dewi Dja bersama Staf  KJRI RI Los Angeles, Pruistin Tines Ramadhan
(alm),  dan Dirjen Protokol Konsuler di Deplu Pejambon waktu itu, Joop Ave, persoalan “budak-budak” dari Indonesia itu terselesaikan, tidak masuk bui.
Di Los Angeles Devi Dja tinggal di kawasan Mission Hill, San Fernando Valley, 22 km utara Los Angeles. Di rumah berkamar tiga di pinggiran kota itu ia tinggal bersama putri satu-satunya, Ratna Assan. Semasa pensiun Devi Dja mendapat sedikit uang pensiun dari Union Arts, tempat dimana dia bergabung.
Photobucket
Batu nisan Devi Dja di Hollywood Hills
Tahun 1982 saat berusia 68 tahun, Devi Dja pernah pulang ke Indonesia atas undangan Panitia Festival Film Indonesia. Dia sempat menjenguk kolega lamanya Tan Tjeng Bok yang tergolek lemah di rumah sakit sebelum meninggal dunia tahun 1985.
Devi Dja kemudian meninggal di Los Angeles pada tanggal 19 Januari 1989 dan dimakamkan di Hollywood Hills, Los Angeles. Catatan tentang Dewi Dja sempat ditulis dalam beberapa buku diantaranya Standing Ovations: Devi Dja, Woman of Java karya Leona Mayer Merrin, terbit
pada 1989 dan dalam buku memoar suaminya Lumhee Holot-Tee – The Life and Art of Acee
Blue Eagle.
Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?33329
Untuk melihat Berita Indonesia / Kisah lainnya, Klik disini
Klik disini untuk Forum Tanya Jawab