Ada banyak nama jalan bernama LASWI, nama-nama itu pasti berada di jalan protokol seperti di bandung pada rute Lingkar Selatan ada nama jalan bernama LASWI, jujur kalau tidak hunting di google.com saya tidaklah tahu apa itu LASWI
Ternya nama LASWI itu adalah singkatan dari LASKAR WANITA, wajar saja bila nama-nama jalan di Indonesia yg menggunakan nama LASWI pastilah berada di Jalan Protokol, dan berdekatan dengan nama jalan yg diambil dari nama-nama pejuang di Indonesia seperti Jalan BKR, Pelajar Pejuang 45, Martadinata, Supratman, dan Jalan Diponegoro. dan lain-lainnya.
saya mencoba melakukan desk investigasi ( bahasa sederhananya Penelusuran) di google.com, ternyata kata kunci LASWI hanyalah menjabarkan nama jalan saja. lalu keheranan saya bertanya-tanya tak mungkin sebuah nama menjadi nama jalan protokol di negara ini kalau tak ada sejarahnya atau nilai-nilai yang berati.
Atau memang para nenek-nenek kita yang ikut berjuang tak terkenal seperti bung karno, bung hatta, Tan Malaka, dll pejuang-pejuang yg ikut bertempur di garis depan., sehingga tak satupun mereka di kenang atau di puji akan jasanya.
dari beberapa sumber ternyata bias jender merupakan salah satu faktor yang membuat mereka tak harum namanya
Sekelumit Sejarah Laskar Putri
PERBINCANGAN atau ulasan tentang perjuangan merebut kemerdekaan di negeri ini acap bias gender. Ketika mengenang kiprah para pejuang, misalnya, semua yang diperbincangkan dan memperoleh porsi besar adalah pejuang berjenis kelamin laki-laki. Seolah-olah perempuan tak berperan selama periode revolusi fisik 17 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949.
Padahal, bukti sejarah menunjukkan keterlibatan kelompok wanita cukuplah besar pada masa itu. Misalnya, Laskar Putri Indonesia (LPI) yang luput diangkat sebagai bahan refleksi sejarah. Laskar itu lahir di Solo, kota yang tak henti-henti menorehkan sejarah unik dari waktu ke waktu.
Sebetulnya fungsi merekontruksi sejarah LPI tidak hanya demi mengangkat mereka ke panggung sejarah kemerdekaan. Namun juga mengkritik rantai sejarah Indonesia yang senantiasa menempatkan wanita dalam posisi inferior dan cuma berkutat di dapur.
Pada era kemerdekaan, para Srikandi di Kota Bengawan terbawa pula atmosfer semangat juang kaum lelaki yang mempertahankan republik dari ancaman tentara berpakaian loreng berkulit putih itu. Daun kalender menunjuk angka 11 Oktober 1945. Ketika perang berkecamuk, beberapa wanita mempunyai gagasan mendirikan kesatuan bersenjata bernama Laskar Putri Indonesia. Wanita Pemberani Pada awal pendirian, anggota laskar itu hanya segelintir orang. Mereka antara lain Soedijem, Siti Hartinah, Sajem, Ismarsijah, Mardinijah, Sapardijatmi, dan Soeharni. Mereka berupaya menarik simpatisan sebanyak mungkin agar mau bergabung dengan memasuki sudut-sudut kota dan pedesaan.
Mereka pun memperoleh sekitar 200 anggota pemudi dan remaja putri yang belum menikah. Buku tipis kenangan Peresmian Monumen Laskar Putri Indonesia (1989) memuat informasi, asrama LPI berada di Batangan, Kecamatan Pasarkliwon, Solo. Anggota LPI dilatih tim Batalion IV/X Beteng cara menembak, bongkar-pasang senjata, dan baris-berbaris. Kala itu, tenaga LPI semula dikerahkan hanya untuk membuat dapur umum di Semarang. Dapur umum itu tersebar di Bandareja, Ungaran, Salatiga, Banyumanik, Genuk, dan Mranggen. Tugas mereka menyediakan sayuran, lauk pauk, sambal pecel, dan kue kering untuk konsumsi para pejuang yang baku tembak.
Tak berselang lama, LPI Solo melipatgandakan fungsi melalui pendirian pos kesehatan (PMI) di Tengaran, Tuntang, Salatiga, Kaliceret, serta Ngampel. Saking banyak korban yang berjatuhan, baik dari kalangan tentara maupun masyarakat sipil, LPI pun terpanggil membantu, seperti mengambil peluru dari tubuh korban dan mencari obat-obatan, meski mereka harus masuk ke area yang dikuasai Belanda. Juga berkat kelompok wanita pemberani itu, mobilisasi dan penyebaran berita mengenai hasil konfrontasi bisa diketahui dengan cepat oleh penduduk kampung.
Kesadaran LPI untuk mempertahankan negara dari ancaman militer Belanda menggugah kesadaran warga lain untuk berpartisipasi dalam aksi peperangan. Anggota LPI membuktikan keberanian dan rela mempertaruhkan nyawa ketika mengangkat dan menolong korban di medan laga. Bahkan, menurut hasil studi Zuraida Zainal (1985), pengiriman korban perang ke rumah sakit kadang tanpa pengawalan dan kerap diganggu musuh.
Pada akhir 1946, demi menunjang rasionalisasi dalam penyempurnaan kesatuan bersenjata Republik Indonesia, Plaatselijk Militer Comandan (PMC) membubarkan laskar wanita itu. Selanjutnya anggota laskar menggabungkan diri ke markas pemimpin pertempuran di biro-biro perjuangan. Ada pula yang kembali ke profesi semula dan balik ke bangku sekolah. Biarpun bubar, kelompok itu masih rutin menggelar pertemuan untuk menjaga tali silaturahmi.
S.K. Trimurti |
Pemaparan singkat itu merupakan bukti, betapa kaum perempuan memiliki andil membela Indonesia tercinta. Agar generasi muda tak melupakan jasa LPI, Presiden Soeharto membangun Monumen Laskar Putri Indonesia di Jalan Mayor Sunaryo, Solo. Kini, monumen itu masih berdiri kukuh.
Namun ada ironis. Sebab, tak banyak warga masyarakat tahu kisah sepak terjang kaum perempuan remaja itu. Sebab, pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan ada bias gender: ia (sengaja) tak pernah diungkap. Karena itu, kini, medan peperangan yang telanjur dicitrakan sebagai dunia lelaki, semestinya dihapus. (51) Oleh Heri Priyatmoko
Di bawah ini ada beberapa foto jadul yg saya dapat, dan sedikit cerita tentang LASWI itu, walaupun salah satu tokoh saya sudah mengenalnya sejak SMA yaitu "Ktut Tantri" namun ternyata ada banyak tokoh wanita Indonesia yg punya jasa dalam memperebut kemerdekaan R. I, ayo mari kita simak sepak terjang para LASWI ini.
Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito
Ny. Sunarjo Mangunpuspito |
Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito sebagai sosok wanita pergerakan Indonesia, sejak Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 hingga terpilihnya menjadi anggota DPR dan Konstituante berdasarkan hasil Pemilihan Umum yang pertama tahun 1955. Dalam mengkaji sosok Sukaptinah sebagai wanita pergerakan, terungkap bagaimana lingkungan sosialnya mendukung pembentukan kepribadiannya sebagai sosok wanita yang berpikiran maju, peduli terhadap penderitaan kaumnya dan bangsanya, konsisten serta memiliki jiwa kemandirian yang kuat.
Sukaptinah sebagai wanita pergerakan. Latar belakang kehidupan keluarga aktivis Muhamadiyah dalam lingkungan tradisional abdi dalem kraton Yogyakarta, dimana wanita lebih banyak berperan dalam wilayah domestik mengurus rumah tangga, berinteraksi dengan pendidikan Barat sekuler yang kontras dengan pendidikan kebangsaan Taman Siswa. Ia mempunyai kedekatan emosional dan kultural yang unik dengan tokoh pembaharu pendidikan, baik pasangan Kyai dan Nyai Dahlan maupun Ki Hajar dan Nyi Hajar Dewantara.
Pada tahun, 1928 sebagai aktivis Jong lslamieien Bond Dames Afdeeling, pemudi Sukaptinah berpartisipasi aktif dalam Kongres Perempuan Indonesia ke-1 tanggal 22 Desember yang kemudian diperingati sebagai Hari Ibu. Sebagai ketua organisasi Istri Indonesia yang independen selama 3 periode pada dekade 1930-an Sukaptinah -yang selanjutnya dikenal sebagai Ny. Sunaryo Mangunpuspito - mempunyai audit yang tidak sedikit dalam meningkatkan kesadaran wanita Indonesia ke arah kehidupan bemasyarakat dan berbangsa menuju Indonesia Raya
Pada tahun 1938, perjuangan isteri Indonesia agar wanita Indonesia duduk dalam Gemeenteraad (dewan kota) berhasil di Semarang, Surabaya, Cirebon dan Bandung. Salah seorang diantaranya adalah Ny.Sunaryo Mangupuspito di Semarang. Menjelang pecahnya Perang Pasifik, organisasi lsteri Indonesia yang dipimpinnya memprakarsai Rapat Umum bersama beberapa organisasi wanita lainnya di Jakarta dan Semarang melakukan protes terhadap Volksraad karena tidak ada anggota wanita dalam lembaga tersebut. Ia juga mengorganisir organisasi-organisasi wanita untuk mendukung aksi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang menuntut Indonesia mempunyai parlemen sendiri.
Kongres Perempuan Indonesia ke-4 di Semarang (1941) yang dipimpinnya menghasilkan keputusan yang progresif, seperti mengusulkan kepada Volksraad agar memasukkan Bahasa Indonesia dalam rencana pelajaran sekolah HMS dan AMS, memberi dukungan kepada GAPI atas penolakannya terhadap ordonansi wajib militer (militiedienstplicht) buat bangsa Indonesia, serta mengirim mosi kepada pemerintah kolonial agar hak memilih (actief kiesrecht) anggota dewan haminte juga diberikan kepada wanita Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, Ny. Sunarjo Mangunpuspito mendampingi Empat Serangkai memimpin kantor bagian Wanita Putera dan menjadi ketua Hujinkai pusat. Dilibatkannya istri pamongpraja dalam aktivita Hujingkai, mengakibatkan para istri pamongpraja tersebut tidak mungkin lagi mengisolir diri di menara gading dan menjaga jarak dengan rakyat kebanyakan seperti pada masa Hindia Belanda. Mereka dituntut harus menyatu dengan masyarakat untuk mengadakan dapur umum, mengorganisir rapat-rapat yang bersifat politis untuk memobilisasi kaum wanita membantu Jepang. Di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Ny, Sunaryo Mangunpuspito bersama dengan Ny. Maria Ulfah Santoso SH., berhasil memperjuangkan terjaminnya kesamaan hak wanita dan pria dalam konstitusi UUD-RI 1945 (pasal 27)
Bagi Ny.Sunaryo Mangunpuspito, perjuangannya membela tanah air untuk lepas dari penjajahan merupakan perwujudan dari ajaran agama Islam dan ia tetap konsisten memperjuangkan perbaikan dan kemajuan kedudukan wanita. Ia tetap aktif dalam Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) disamping menjadi Ketua Umum Muslimat Masyumi.
Karir legislatif Sukaptinah Sunup Mangunpuspito, yang dimulainya sejak menjadi anggota Gemeenteraad Semarang, BPUPKI pada akhir masa pendudukan Jepang, setanjutnya setelah Indonesia merdeka sebagai anggota KNIP dan Badan Pekerja KNIP, anggota DPRS (1950-1955), mencapai puncak dengan terpilihnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan merangkap sebagai anggota Kontituante hasil Pemilu 1955. Meskipun demikian aktivitasnya dalam organisasi wanita tetap ditekuni hingga usia senja dalam memperjuangkan kemajuan wanita dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang dijamin dalam konstitusi. Lebih lengkap buka
Herawati Diah |
Herawati Diah: Perempuan Jurnalis dan Perintis.
Lulusan Banard College tahun 1941 ini mengawali karier sebagai wartawan di United Press International (UPI), NewYork, Amerika Serikat. Kemudian, dia kembali ke Indonesia dan menikah dengan B.M Diah. Mereka mendirikan sebuah harian bernama Merdeka tak lama setelah menikah. Menjelang Konferensi Asia-Afrika, mereka mendirikan sebuah harian berbahasa Inggris, The Indonesian Observer. Para diplomat asing di Jakarta mendapatkan informasi mengenai Indonesia melalui harian tersehut.
Herawati, yang kini berusia 95 tahun, merupakan bagian dari sejarah pers Indonesia. Ia berada dalam satu masa dengan para tokoh jurnalistik, seperti Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan suaminya almarhum Burhanuddin Mohammad Diah.
Herawati yang tumbuh di era jurnalistik bernapaskan perjuangan kemerdekaan melihat dunia pers Indonesia sudah begitu berubah. "Generasi saya mendirikan koran dengan idealisme kuat. Koran diterbitkan sebagai koran perjuangan. Pemodalnya tidak ada. Pendirinya mengorbankan apa yang dimiliki. Sekarang media menjadi industri. Untuk memulai koran perlu miliaran rupiah," ujar perempuan dengan 3 anak, 12 cucu, dan 13 cicit itu.
"Saat itu kerja jurnalistik sama halnya dengan kepemimpinan, arahnya mewujudkan cita-cita kemerdekaan," kata Herawati.
Ia merasa banyak cita-cita pendiri bangsa belum tercapai. Bangsa ini masih jauh dari sejahtera, pendidikan rakyat belum merata, dan masyarakat di pedalaman sering dilupakan.
Keresahan itu mendorong dia menulis dalam bukunya, An Endless Journey: Reflections of an Indonesian Journalist: "Peran generasi 1945 itu menyalakan semangat dan roh kepada generasi sekarang karena ketidakadilan yang dulu dihadapi dan masa kini yang tengah dirayakan, masih segar dalam ingatan generasi itu."
Perjalanan panjang
Lahir dari pasangan Raden Latip, seorang dokter yang bekerja di Biliton Maatschappij, dan Siti Alimah, Herawati berkesempatan mengecap pendidikan tinggi. Lepas dari Europee Lagere School (ELS) di Salemba, Jakarta, Herawati bersekolah ke Jepang di American High School di Tokyo. Setelah itu, atas dorongan ibunya, Herawati berangkat ke Amerika untuk belajar sosiologi di Universitas Columbia, New York.
"Ayah saya tidak mau menyekolahkan ke Belanda karena dianggap sebagai negeri penjajah. Saya berangkat ke Amerika sendiri, menumpang kapal laut selama 20 hari," kata perempuan Indonesia pertama yang mendapatkan gelar dari universitas di Amerika. Herawati yang tertarik dunia tulis-menulis mengambil kuliah musim panas jurnalistik di Universitas Stanford, California.
Garis hidup Herawati seakan tak jauh dari media. Ibunya mendapat didikan pesantren mendirikan majalah perempuan Doenia Kita. Pamannya Subardjo, sempat menjadi wartawan sebelum menjabat sebagai menteri luar negeri (pertama) Indonesia. "Saat sekolah di Amerika, saya sering mengirim tulisan untuk Doenia Kita," kata perempuan yang menguasai bahasa Inggris, Belanda, dan Jepang itu.
Pulang ke Indonesia tahun 1942, Herawati bekerja sebagai wartawan lepas kantor berita United Press International (UPI). Lalu ia bergabung sebagai penyiar di radio Hosokyoku.
Herawati menikmati dunia jurnalistik. Saat itu hanya sedikit perempuan yang menggeluti bidang tersebut. "Sekarang sudah banyak perempuan menjadi jurnalis dan berpendidikan tinggi. Bahkan, ada yang ke medan perang. Saya kagum dengan keberanian mereka," ujarnya.
Profesi kewartawanan memberinya kesempatan bertemu dengan pemimpin besar, seperti Mahatma Gandhi, ketika menjadi bagian dari delegasi Indonesia untuk menghadiri All India Women's Congress tahun 1948. Herawati semakin dekat dengan dunia pers begitu menikah dengan BM Diah, yang waktu itu bekerja di koran Asia Raya.
BM Diah mendirikan koran Merdeka pada 1 Oktober 1945 guna mengisi ruang intelektual setelah Proklamasi.
Tak hanya terlibat dalam pengembangan koran Merdeka, Herawati juga mendirikan dan memimpin The Indonesian Observer, koran berbahasa Inggris pertama di Indonesia. Koran itu diterbitkan dan dibagikan pertama kali dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, tahun 1955. The Indonesian Observer bertahan hingga tahun 2001, sedangkan koran Merdeka berganti tangan pada akhir tahun 1999.
Saat BM Diah diangkat sebagai duta besar Cekoslowakia, Inggris, serta Thailand, kemudian menjabat sebagai Menteri Penerangan Kabinet Ampera (1968), kegiatan jurnalistik Herawati digantikan dengan tugas-tugas negara dalam peran sebagai istri pejabat.
Perintis sejati
Kiprah Herawati Diah sebagai perintis tak redup hingga usia senjanya. Nama Herawati tercatat sebagai salah satu pendiri dari sederet organisasi yang memberikan dinamika dalam kehidupan sosial dan budaya Indonesia, seperti Komnas Perempuan, Lingkar Budaya Indonesia, dan Gerakan Perempuan Sadar Pemilu. Lantaran prihatin dengan tak meratanya pendidikan, Herawati membuka taman kanak-kanak bagi anak miskin di bawah naungan Yayasan Bina Carita Indonesia.
Usia tak pernah menjadi penghalang untuk berkarya bagi perempuan yang ikut mendirikan Hasta Dasa Guna, organisasi yang beranggotakan sekitar 100 perempuan berusia di atas 80 tahun itu.
Untuk menjaga ketajaman pikiran ia bermain bridge dua kali seminggu bersama teman-temannya di Women's International Club. "Bermain bridge mengajarkan saya mengingat kartu dan langkah teman bermain. Memori terasah terus," katanya sambil menunjukkan piala juara pertama turnamen Bridge Women's International Club baru-baru ini. Herawati menghayati benar "mantra hidupnya": "Keep Your Brain Alive".
Dikutip dari KOMAS, KAMIS, 5 APRIL 2012 OLEH INDIRA PERMANASARI
Kisah Ktut Tantri dapat di lihat di
KTut Tantri : Perempuan Wanita Pejuang, Intelejen, Tawanan, Seniman, Penyiar, Sejarahwan Bangsa Indonesia.
Emmy Saelan, pejuang putri Sulawesi, gugur pada bulan Januari 1947 dalam perjuangan di Kasi-kasi dekat kota Makassar. Sejak muda Emmy Saelan memang tak mau bekerja sama Belanda. Ia ikut juga dalam pemogokan "Stella Marris" sebagai protes terhadap penangkapan Dr. Sam Ratulangi.Pernah ia menggunakan kesempatannya sebagai perawat melepaskan pejuang-pejuang (tawanan Belanda) yang datang untuk dirawat luka-lukanya.Pada bulan Juli 1946 ia menggabungkan diri dengan pasukan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (Lapris) dibawah pimpinan Ranggong Daeng Romo yang meneruskan perjuangan gerilya dihutan-hutan.Pada waktu satuan-satuan Belanda menyerang Kasi-kasi, Emmy Saelan meletuskan granat ketengah-tengah Belanda yang akan menangkapkan. Delapan tentara Belanda tewas, dan 1 pejuang Indonesia: Emmy Saelan sendiri.
Emmy Saelan, Kisah Pejuang Wanita Di Garis Depan
5 April 1946. Gubernur Sam Ratulangi bersama dengan pembantu-pembantunya ditangkap oleh Belanda. Lalu, kemudian, pada Juni 1946, Gubernur Ratulangi diasingkan ke Serui, Irian Barat.
Dr. Sam Ratulangi adalah pejabat Gubernur yang ditunjuk Bung Karno untuk provinsi Sulawesi. Akan tetapi, entah karena pertimbangan apa, Ratulangi belum membentuk pemerintahan secara resmi di Sulawesi saat itu.
Meski begitu, berita penangkapan Ratulangi mendapat protes. Salah satunya adalah perawat-perawat putri di Rumah Sakit Katolik ‘Stella Maris’. Mereka melakukan pemogokan umum untuk memprotes penangkapan tersebut. Salah satu tokoh penggerak aksi pemogokan ini adalah Emmy Saelan.
Emmy Saelan adalah salah satu pejuang wanita Indonesia. Meskipun statusnya adalah seorang perawat dan kepala bagian palang merah, tetapi ia juga ikut memanggul senjata dan bertempur di garis depan.
Emmy dilahirkan di Makassar, pada 15 oktober 1924, sebagai putri sulung dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Amin Saelan, adalah tokoh pergerakan taman siswa di Makassar dan sekaligus penasehat organisasi pemuda. Salah seorang adiknya yang laki-laki, Maulwi Saelan, adalah tokoh pejuang dan pernah menjadi pengawal setia Bung Karno.
>>>
Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai juga di telinga rakyat di Sulawesi. Lalu, pada 19 Agustus 1945, Pemerintah pusat telah menunjuk Dr. Sam Ratulangi sebagai gubernur provinsi Sulawesi.
Akan tetapi, meski sudah ditunjuk oleh pemerintah pusat, Gubernur Ratulangi belum juga membentuk pemerintahannya secara resmi di Sulawesi. Ia malah ditangkap oleh Belanda pada bulan April 1946.
Tetapi sikap rakyat Sulawesi sudah jelas: mendukung Republik Indonesia.
Pada bulan September 1945, Sekutu sudah mendarat di Makassar. Secara formal, mereka bertugas mengontrol keamanan dan melucuti tentara Jepang. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan bahwa mereka bekerja untuk mengalihkan kekuasaan dari tangan Jepang ke Belanda.
Rakyat Sulawesi tidak suka dengan hal ini. Pada 17 September 1945, para pelajar perguruan islam Datu Museng mengibarkan bendera merah-putih di sekolahnya. Berkali-kali terjadi bentrokan antara pasukan NICA dengan pelajar-pelajar Indonesia.
Pada saat itu juga, sekelompok pemuda mendirikan organisasi bernama Pusat Pemuda National Indonesia (PPNI). Pemimpinnya adalah seorang pemuda Indonesia bernama Manai Sophiaan, kelak dubes Indonesia untuk Rusia. PPNI memainkan peranan penting di masa-masa awal perlawanan pelajar Sulawesi terhadap kolonialisme Belanda pasca proklamasi kemerdekaan.
28 oktober 1945, hanya beberapa saat setelah sekutu mendarat di Makassar, pasukan NICA telah menangkap pemimpin pemuda, Manai Sophiaan. Ia lalu dibawa ke markas NICA di Empress Hotel. Besoknya, 29 Oktober 1945, para pelajar Makassar menyerbut hotel itu dan mengibarkan bendera merah-putih di sana. Kakak-beradik, Emmy dan Maulwi, adalah penggerak utama para pelajar yang menyerbu kantor NICA itu.
Para pelajar heroik ini sebagian besar berasal dari SMP Nasional. Sekolah ini merupakan sekolah milik Republik pertama yang berdiri di Makassar pasca proklamasi kemerdekaan. Latar belakang pendirian sekolah ini pun sangat heroik: sekolah ini merupakan tantangan terhadap usaha Belanda untuk membikin sekolah di Makassar. Belanda sendiri mencap sekolah ini sebagai sekolah ‘ekstremis’.
SMP Nasional melahirkan banyak tokoh pejuang, diantaranya: Emmy Saelan, Robert Wolter Mongisidi dan Maulwi Saelan, adik Emmy. Sejak pemogokan Stella Maris, lalu penyerbuan Empress Hotel, Emmy Saelan telah memilih jalan hidupnya: sebagai pejuang Republik Indonesia.
Pada bulan Juli 1946, 19 organisasi pemuda se Sulawesi Selatan telah berkumpul di Polombankeng, sebuah daerah di Takalar, Sulawesi Selatan. Emmy Saelan dan adiknya, Maulwi Saelan, turut dalam pertemuan itu. Hadir pula pelajar-pelajar SMP nasional seperti Wolter Monginsidi, Lambert Supit, Abdullah, Sirajuddin, dan lain-lain.
Salah satu kesepakatan dari konferensi organisasi pemuda itu adalah pembentukan sebuah wadah bernama Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS). Panglimanya adalah seorang pejuang pemberani, Ranggong Daeng Romo.
Lalu, seiring dengan semakin banyaknya senjata hasil rampasan, para pelajar SMP nasional lalu membentuk organisasi gerilya bernama ‘Harimau Indonesia’. Emmy Saelan ditunjuk sebagai pimpinan laskar wanita dalam organisasi ini dan sekaligus memimpin Palang Merah.
Mantan komandan pasukan wanita Makassar, Sri Mulyati, pernah menulis perihal pengalamannya bersama Emmy Saelan. Menurut Mulyati, Emmy dikenal sebagai seorang yang ahli menggunakan sandi. Sebagai missal, untuk mengenal mana kawan dan mana lawan, maka diperkenalkan sandi dengan memegang rambut. Jika seseorang berkenalan dengan memegang rambut, maka ia adalah kawan seperjuangannya.
Semasa berjuang bersama Harimau Indonesia, Emmy menggunakan nama samaran Daeng Kebo. Organisasi Harimau Indonesia ini adalah semacam organisasi gerilya. Hampir setiap hari mereka menyergap patroli pasukan Belanda.
Suatu hari, Wolter Monginsidi, pimpinan Harimau Indonesia yang dikenal pemberani, menyergap jeep Belanda. Ia lalu merampas senjata dan melucuti pakaian pasukan Belanda itu. Lalu, dengan mengenakan seragam pasukan Belanda, Wolter Monginsidi mendatangi kantor KNIL dan memberondongnya dengan senjata.
Karena perlawanan-perlawanan itulah, terutama karena sudah tidak bisa lagi dikontrol orang NICA, pasukan Belanda mendatangkan pasukan elit Depot Speciale Tropen (DST), dengan pimpinannya adalah Westerling.
Perimbangan kekuatan pun berubah. Dengan kedatangan pasukan tambahan itu, pasukan Belanda pun bertambah kuat. Westerling pun memulai sebuah operasi pembersihan, yang sasarannya adalah para pejuang republik. Inilah peristiwa yang dikenang sebagai korban 40 ribu jiwa itu.
Sementara itu, Emmy Saelan dan kawan-kawannya terus melakukan gerilya. Akan tetapi, desakan pasukan Belanda sangat kuat. Pasukan Harimau Indonesia pun terdesak hingga ke Kassi-Kassi, sebuah kampung di Makassar. Pasukan Belanda mengejar dengan kendaraan lapis baja dan tank.
>>>
Sore itu, 23 Januari 1947, dalam posisi terjepit, pasukan Wolter Monginsidi pun memilih mundur.
Emmy Saelan, yang telah terpisah dengan Monginsidi, memimpin sekitar 40 orang pasukan bertempur dengan Belanda. Pertempuran terjadi dalam jarak yang sangat dekat. Seluruh anak buah Emmy gugur dalam pertempuran itu. Tinggal Emmy sendirian.
Pasukan Belanda mendekat dan memerintahkan Emmy menyerah. Tetapi, ia menolak dan terus melawan. Dan, karena senjata ditangannya tinggal granat, maka dilemparkanlah granat itu ke pasukan Belanda. Pasukan Belanda pun bergelimpangan, tetapi Emmy turut gugur dalam pertempuran jarak dekat itu.
Sementara itu, Wolter Monginsidi yang bertahan di Tidung, tidak jauh dari tempat Emmy gugur, juga kewalahan menahan serangan Belanda. Hampir seluruh pasukannya gugur, kecuali ia dan dua orang kawannya.
Emmy Saelan, perempuan cantik berkulit putih itu, telah memilih gugur dengan jalan sangat terhormat. Ia adalah salah perempuan Indonesia yang telah mengorbankan dirinya di usia sangat muda untuk revolusi nasional. Meskipun ia anggota palang merah, tetapi ia selalu berpakaian ala laki-laki dan memilih bertempur di garis depan.
>>>
Nama Emmy Saelan terus abadi. Di makassar, ada sebuah jalan, yang dulunya rute gerilya Emmy, telah dinamai “Jalan Emmy Saelan”. Tidak hanya di Makassar, tetapi nama “Jalan Emmy Saelan” hampir terdapat di semua kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
Lalu, sebagai bentuk penghormatan atas perjuangannya, pemerintah telah mendirikan sebuah monemen bernama ‘Monumen Emmy Saelan’. Monumen itu berdiri tepat di atas tanah tempat gugurnya Emmy.
Sebelumnya, ada usulan untuk membuat patung Emmy, tetapi usul itu langsung ditolak pihak keluarga. Pihak keluarga beralasan, pembuatan patung itu melanggar ajaran agama.
Dewi Dja |
Kisah: DEVI DJA, WANITA JAWA YANG MENEMBUS HOLLYWOOD
Dardanella mencapai puncak keemasan ketika diperkuat dua seniman serba bisa Tan Tjeng Bok dan Devi Dja. Pada masa itu, mereka merupakan roh pertunjukan Dardanella. Tan Tjeng Bok mendapat julukan “Douglas Fairbanks van Java” sementara Devi Dja “Bintang dari Timur” (Star From the east).
Saat ini agak sulit mencari biografi Devi Dja secara lengkap, kecuali mungkin di buku otobiografi “Gelombang hidupku, Devi Dja dari Dardanella” karya (Alm) Ramadhan KH yang dicetak tahun 1982 oleh penerbit Sinar Harapan. Sayangnya, buku itu pun sekarang sudah tergolong langka.
Saking langka dan minimnya literatur tentang sosok wanita ini, Matthew Cohen PhD, staf pengajar di University of London dalam sebuah diskusi kesenian Bali-Jawa di Amerika ‘Dewi Dja Goes to Hollywood’ Maret lalu, tertarik untuk mendokumentasikan kembali kehidupan Devi Dja bersama kelompoknya di Amerika Serikat dalam sebuah buku yang sedang disusunnya bertajuk ‘Performing Java and Bali on International Stages: Routes from the Indies, 1905-1952’.
Yang jelas, biografi wanita ini dalam literatur kesenian Indonesia sangat minim. Entah jika di Amerika sana, tempat dimana dia kemudian menghabiskan sisa hidupnya.
Siapa Devi Dja?
Menurut catatan Ramadhan KH, Devi Dja atau “Bintang Dari Timur” lahir pada 1 Agustus 1914 di Sentul, Yogyakarta, dengan nama kecil Misria dan kemudian menjadi Soetidjah. Dia sering menguntit kakek dan neneknya, Pak Satiran dan Bu Sriatun, ngamen berkeliling kampung memetik siter. Devi Dja memang memiliki minat seni sejak kecil. Dia juga berangkat dari keluarga Jawa yang miskin di awal abad ke-20.
Saat mereka sedang ngamen di daerah Banyuwangi, dimana pada waktu bersamaan grup sandiwara yang lain, Dardanella pimpinan Pedro (Willy Klimanoff) yang sudah terkenal, juga main di
Banyuwangi.
Banyuwangi.
Pedro mengaku tertarik dengan Soetidjah dan langsung melamarnya. “Ternyata Pedro melihat pertunjukan kami. Katanya ia tertarik pada saya ketika saya menyanyikan lagu Kopi Soesoe yang ketika itu memang sedang populer,” tutur Devi Dja ketika berkunjung ke Jakarta menjenguk Tan Tjeng Bok yang sedang terbaring sakit tahun 80-an.
Meski keluarga Soetidjah keberatan, akhirnya Soetidjah mau menerima pinangan Pedro dan bergabung sebagai pemain Dardanella. Soetidjah tak penah mengenyam pendidikan sebelumnya, dia baru belajar baca dan menulis latin ketika bergabung di Dardanella pada usia 14 tahun.
Di tahun awalnya bergabung, Soetidjah hanya dapat peran-peran kecil dan lebih sering menjadi penari yang tampil dalam pergantian babak. Bintang Soetidjah mulai bersinar ketika pemeran utama wanita Dardanella, Miss. Riboet jatuh sakit. Soetidjah pun didaulat memerankan tokoh Soekaesih—peran yang selama ini dipegang Miss. Riboet—dalam lakon “Dokter Syamsi”. Meskipun usianya baru 16 tahun ketika itu, akting Soetidjah cukup meyakinkan yang kemudian dipanggil Erni oleh kawan-kawannya.
Keliling Dunia, Nginap di Rumah Mahatma Gandhi lalu Berlabuh
di Amerika
di Amerika
Dan sejak itu, karirnya di Dardanella mulai menanjak. Perlahan tapi pasti ia berhasil menjadi menyaingi ketenaran Miss. Riboet dan Fifi Young, dua wanita pemeran utama Dardanella. Bersama Tan Tjeng Bok, Soetidjah menjadi sosok penting dalam kisah sukses grup Dardanella. Dia lalu terkenal dengan nama Miss. Devi Dja. Saat Dardanella pertama kali mentas di luar negeri, Devi Dja baru 17 tahun. Usia yang kata Devi Dja lagi seger-segernya. Menurut catatan Ramadhan KH, saat Dardanella manggung di luar negeri, nama kelompok Dardanella mulai berganti-ganti, dengan personil yang juga berganti-ganti. Kecuali Pedro dan Devi Dja tentunya. Dardanella lalu main di Hongkong, New Delhi, Karachi, Bagdad, Basra, Beirut, Kairo, Yerusalem, Athena, Roma. Terus keliling Negeri Belanda, Swiss, dan Jerman. Pada Mei 1937 saat manggung di India, rombongan mereka disaksikan oleh Jawaharlal Nehru yang kemudian jadi pemimpin negeri itu. Kabarnya Pedro dan Devi Dja sempat menginap di rumah Mahatma Gandhi.
Dan seperti dituturkan Devi Dja pada Majalah Tempo di tahun 80-an, saat bermain di luar negeri, Dardanella berubah namanya menjadi “The Royal Bali-Java Dance”. “Kami lebih mengutamakan tari-tarian daripada sandiwara, sebab khawatir penonton tidak tahu bahasanya,” katanya.
Devi Dja juga masih ingat ketika perang dunia pertama mulai berkecamuk, mereka sedang berada di Munich, Jerman. Saat itulah keadaan masyarakat dunia sedang dalam kegelisahan yang juga dialami oleh personel “The Royal Bali-Java Dance” (Dardanella) terkait situasi perang.
Ramadhan KH menulis, di tengah kegelisahan masyarakat Eropa khususnya, Pedro kemudian mengambil keputusan menyeberang ke Amerika saat mereka sedang berada di Belanda. Akhirnya bersama rombongan kecil Dardanella, Devi Dja naik kapal “Rotterdam” menuju Amerika.
Perhitungan Pedro ketika itu barangkali karena negara Amerika relatif lebih menjanjikan, lagipula
Amerika tidak terlibat terlalu jauh dalam perang dunia pertama. Dengan nama tenar yang disandangnya, sesampainya di Amerika mereka mendapat sponsor dari Columbia untuk mementaskan karya-karya mereka di hampir seluruh kota besar Amerika. “Kami keliling, tidur di trem saja. Cuma di New York menetap dua minggu,” tutur Devi Dja.
Amerika tidak terlibat terlalu jauh dalam perang dunia pertama. Dengan nama tenar yang disandangnya, sesampainya di Amerika mereka mendapat sponsor dari Columbia untuk mementaskan karya-karya mereka di hampir seluruh kota besar Amerika. “Kami keliling, tidur di trem saja. Cuma di New York menetap dua minggu,” tutur Devi Dja.
Sudah merasa cukup lama din Amerika mereka bermaksud kembali ke tanah air, tapi Perang Dunia II keburu pecah dan Indonesia diduduki Jepang. Akhirnya mereka tertahan di Amerika tidak bisa pulang.
Setelah perang usai anggota rombongan tinggal belasan orang, sebab sebagian berusaha pulang. Dan semangat pun mulai luntur.
Demi bertahan hidup di Amerika, Pedro dan Devi Dja membuka sebuah niteclub bernama Sarong Room di Chicago, yang sayang terbakar habis pada 1946. Pedro akhinya merasa tak tahan dan meninggal dunia di Chicago tahun 1952.
Di masa awal kemerdekaan Indonesia, Devi Dja sempat bertemu Sutan Syahrir yang tengah memimpin delegasi RI untuk memperjuangkan pengakuan Internasional terhadap kemerdekaan Indonesia di markas PBB New York tahun 1947. Oleh Syahrir, dia sempat diperkenalkan sebagai duta
kebudayaan Indonesia kepada masyarakat Amerika. Dan namanya pun makin dikenal di negara itu. Sebab itu tak sulit baginya mendapatkan kewarganegaraan Amerika.
kebudayaan Indonesia kepada masyarakat Amerika. Dan namanya pun makin dikenal di negara itu. Sebab itu tak sulit baginya mendapatkan kewarganegaraan Amerika.
Tahun 1951 Devi resmi menjadi warga negara Amerika. Sepeninggal Pedro, Devi masih sempat mementaskan kebolehannya dari pangung ke panggung bersama anggota kelompok yang tersisa. Devi menikah dengan seorang seniman Indian bernama Acce Blue Eagle.
Menurut Ramadhan KH, pernikahan itu hanya berlangsung sebentar. Acce tidak suka Devi Dja bergaul
dengan sesama masyarakat Indonesia di Amerika. Sedang itu adalah dunia Dewi Dja. Apalagi setelah terbetik kabar, bahwa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya.
dengan sesama masyarakat Indonesia di Amerika. Sedang itu adalah dunia Dewi Dja. Apalagi setelah terbetik kabar, bahwa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya.
Setelah itu Devi terbang ke Los Angeles, kesempatan karir terbentang di sana. Devi Dja sempat
menari di depan Claudette Colbert yang takjub oleh gerak tangan dan kerling mata Devi Dja. Kabarnya Devi hampir terpilih untuk mengambil peran dalam salah satu film produksi Hollywood. Tapi sayang, karena bahasa Inggrisnya kurang fasih. Dia gagal mendapatkan kesempatan itu.
menari di depan Claudette Colbert yang takjub oleh gerak tangan dan kerling mata Devi Dja. Kabarnya Devi hampir terpilih untuk mengambil peran dalam salah satu film produksi Hollywood. Tapi sayang, karena bahasa Inggrisnya kurang fasih. Dia gagal mendapatkan kesempatan itu.
Dia lalu menikah lagi dengan orang Indonesia asal gresik yang menetap di Amerika bernama Ali Assan. Dari Ali Assan ini Devi memperoleh satu anak perempuan yang diberi nama Ratna Assan. Tapi usia
pernikahan mereka tak lama, mereka pun bercerai. Kesibukaannya di Amerika adalah mengajarkan tari-tarian daerah kepada penari-penari Amerika. Devi mengaku meski namanya sudah terkenal sebagai penari, tapi kehidupan kala itu susah, mengingat dunia habis dicabik-cabik perang.
pernikahan mereka tak lama, mereka pun bercerai. Kesibukaannya di Amerika adalah mengajarkan tari-tarian daerah kepada penari-penari Amerika. Devi mengaku meski namanya sudah terkenal sebagai penari, tapi kehidupan kala itu susah, mengingat dunia habis dicabik-cabik perang.
Namun Devi mengaku beruntung berteman dengan selebriti Hollywood yang menjadi teman akrabnya. Ia akrab dengan Greta Garbo, Carry Cooper, Bob Hope, Dorothy Lamour, dan Bing Crosby. Merekalah yang banyak membantu Devi dalam memberikan kesempatan.
Devi juga sempat bermain dalam beberapa film, antara lain The Moon And Sixpence, riwayat hidup pelukis Prancis Paul Gaugin. Dia juga membintangi atau menjadi koreografer film Road to Singapore (1940), Road to Morocco (1942), The Picture of Dorian Gray (1945), Three Came Home (1950) dan Road to Bali (1952). Di Los Angeles Dewi juga rutin mengisi acara televisi lokal.
Anaknya, Ratna Assan sempat bermain sebagai pemeran pendukung dalam film Papillon (1973) yang dibintangi Steve Mc Quin dan Dustin Hoffman. Tapi Ratna Assan kemudian tidak melanjutkan karir aktingnya di Hollywood, sesuatu yang amat disesali Devi Dja mengingat anaknya itu fasih berbahasa
Inggris, tidak seperti dirinya.
Inggris, tidak seperti dirinya.
Hari-Hari Terakhir
Dalam bukunya Ramadhan KH menulis bahwa Devi Dja pernah memimpin float Indonesia (float “Indonesian Holiday”, dengan sponsor Union Oil) dalam “Rose Parade” di Pasadena, tahun 1970. Dia menjadi orang pertama Indonesia yang memimpin rombongan Indonesia yang turut serta dalam Rose Parade di Pasadena itu.
Waktu tanda penghargaan sampai padanya, ia panggil anaknya, Ratna “Ini Ratna, bacalah!” Penghargaan bagi kalian, bagi kita.” “Ya Mamah. Kali lain kita harus mempertunjukkan sesuatu yang
lebih bagus lagi”.
lebih bagus lagi”.
“Air mataku menetes
lagi, kata Dewi Dja. Entah mengapa. Barangkali karena cintaku sedemikian besar
kepada sesuatu yang jauh daripadaku. Aku tidak bisa melepaskannya. Tidak bisa!
Seluruh hatiku tercurah baginya. Indonesiaku, engkau jauh di mata, tetapi senantiasa
dekat di hatiku, bahkan menggelepar hidup di dalam jantungku.” kata Devi
dalam buku itu.
lagi, kata Dewi Dja. Entah mengapa. Barangkali karena cintaku sedemikian besar
kepada sesuatu yang jauh daripadaku. Aku tidak bisa melepaskannya. Tidak bisa!
Seluruh hatiku tercurah baginya. Indonesiaku, engkau jauh di mata, tetapi senantiasa
dekat di hatiku, bahkan menggelepar hidup di dalam jantungku.” kata Devi
dalam buku itu.
Namun ternyata bukan cuma itu, Devi Dja pernah tampil membela pemuda-pemuda Indonesia di Pengadilan Los Angeles ketika berita tentang “Perbudakan di Los Angeles” marak. Devi tampil membela pemuda-pemudi Indonesia yang dirantai dihadapkan ke pengadilan di Los Angeles.
Namun berkat campur tangan Dewi Dja bersama Staf KJRI RI Los Angeles, Pruistin Tines Ramadhan
(alm), dan Dirjen Protokol Konsuler di Deplu Pejambon waktu itu, Joop Ave, persoalan “budak-budak” dari Indonesia itu terselesaikan, tidak masuk bui.
(alm), dan Dirjen Protokol Konsuler di Deplu Pejambon waktu itu, Joop Ave, persoalan “budak-budak” dari Indonesia itu terselesaikan, tidak masuk bui.
Di Los Angeles Devi Dja tinggal di kawasan Mission Hill, San Fernando Valley, 22 km utara Los Angeles. Di rumah berkamar tiga di pinggiran kota itu ia tinggal bersama putri satu-satunya, Ratna Assan. Semasa pensiun Devi Dja mendapat sedikit uang pensiun dari Union Arts, tempat dimana dia bergabung.
Batu nisan Devi Dja di Hollywood Hills
Tahun 1982 saat berusia 68 tahun, Devi Dja pernah pulang ke Indonesia atas undangan Panitia Festival Film Indonesia. Dia sempat menjenguk kolega lamanya Tan Tjeng Bok yang tergolek lemah di rumah sakit sebelum meninggal dunia tahun 1985.
Devi Dja kemudian meninggal di Los Angeles pada tanggal 19 Januari 1989 dan dimakamkan di Hollywood Hills, Los Angeles. Catatan tentang Dewi Dja sempat ditulis dalam beberapa buku diantaranya Standing Ovations: Devi Dja, Woman of Java karya Leona Mayer Merrin, terbit
pada 1989 dan dalam buku memoar suaminya Lumhee Holot-Tee – The Life and Art of Acee
Blue Eagle.
pada 1989 dan dalam buku memoar suaminya Lumhee Holot-Tee – The Life and Art of Acee
Blue Eagle.
Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?33329
Untuk melihat Berita Indonesia / Kisah lainnya, Klik disini
Klik disini untuk Forum Tanya Jawab
Jo Paramita Abdurachman, |
Jo Paramita Abdurachman, tokoh putri pejuang kemanusiaan yang konsekwen. Namanya tak dapat dipisahkan dari pembangunan Palang Merah Indonesia pada masa awal-awal revolusi. Kabarnya beliau adalah tunangan Tan Malaka saat Tan belajar di Negeri belanda, Jo Paramita Abdurachman Meninggal d tahun 1988 seusai merayakan ulang tahunnya ke 17, karena lahir pada tanggal 29 Februari 1920, tak pernah menikah, beberapa catatan mengenai beliau ada di Googlebook atau di In Memoriam: Paramita Rahayu Abdurachman, 1920-1988
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam makalahnya, “Paramita Abdurachman, Tunangan Tan Malaka?” yang disampaikan pada launchingbuku Bunga Angin Portugis di Nusantara karya Paramita “Jo” Abdurachman, 5 Maret 2008, kegiatan awal PMI adalah membantu korban perang dan proses pengembalian tawanan Sekutu dan Jepang. Pada dekade 1945-1954, peranan PMI yang menonjol adalah di bidang pertolongan pertama, pengungsian, dapur umum, pencarian dan pengurusan repatriasi, bekerjasama dengan ICRC (International Committee of the Red Cross) dan Palang Merah Belanda untuk Romusha, Heiho, Tionghoa; anak-anak Indo-Belanda dan 35 ribu tawanan sipil Belanda dan para Hoakiau yang kembali ke Republik Rakyat China.
Dalam peristiwa RMS (Republik Maluku Selatan), PMI bekerjasama dengan ICRC melaksanakan pelayanan kesehatan yang dipimpin Bahder Djohan dan mengadakan rumah sakit terapung di Ambon. Pada dekade 1955-1964, akibat Pemberontakan PRRI di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi Utara, markas besar PMI mengirimkan kapal-kapal PMI ke daerah tersebut untuk menjemput orang-orang asing di sana dan mengirimkan empat tim medis ke Sumatera dan enam tim ke Sulawesi Utara. Waktu Sukarno mencetuskan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Irian Barat pada 19 Desember 1961, PMI menyiapkan sukarelawan sebanyak 259 orang dan 770 orang sebagai cadangan.
Pada 1 Maret 1950, Jo Abdurachman bersama Siti Dasimah membentuk dan memimpin Palang Merah Remaja (PMR). PMR kemudian menjadi organisasi siswa di sekolah dasar sampai menengah. Jo Abdurachman ikut mendirikan PMI, menjadi ketua bidang luar negeri, dan menjabat Sekretaris Jenderal selama satu dasawarsa (1954-1964). Menurut Asvi, ketika menghadiri pertemuan palang merah internasional, muncul penolakan terhadap kata dan lambang ‘Palang’ (cross) pada organisasi ini. Negara-negara yang mayoritas beragama Islam memilih nama Bulan Sabit Merah.
“Tetapi Jo Abdurachman berpendapat berbeda,” tulis Asvi, “menurutnya, kata dan logo ‘Palang’ dalam organisasi ini bukanlah representasi atau melambangkan salib yang merupakan ikon agama Kristiani. Oleh sebab itu, dia tetap menggunakan nama Palang Merah Indonesia.” Pada 1950, PMI diakui dan menjadi anggota Palang Merang Internasional. Catatan Historia.id
Dalam peristiwa RMS (Republik Maluku Selatan), PMI bekerjasama dengan ICRC melaksanakan pelayanan kesehatan yang dipimpin Bahder Djohan dan mengadakan rumah sakit terapung di Ambon. Pada dekade 1955-1964, akibat Pemberontakan PRRI di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi Utara, markas besar PMI mengirimkan kapal-kapal PMI ke daerah tersebut untuk menjemput orang-orang asing di sana dan mengirimkan empat tim medis ke Sumatera dan enam tim ke Sulawesi Utara. Waktu Sukarno mencetuskan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Irian Barat pada 19 Desember 1961, PMI menyiapkan sukarelawan sebanyak 259 orang dan 770 orang sebagai cadangan.
Pada 1 Maret 1950, Jo Abdurachman bersama Siti Dasimah membentuk dan memimpin Palang Merah Remaja (PMR). PMR kemudian menjadi organisasi siswa di sekolah dasar sampai menengah. Jo Abdurachman ikut mendirikan PMI, menjadi ketua bidang luar negeri, dan menjabat Sekretaris Jenderal selama satu dasawarsa (1954-1964). Menurut Asvi, ketika menghadiri pertemuan palang merah internasional, muncul penolakan terhadap kata dan lambang ‘Palang’ (cross) pada organisasi ini. Negara-negara yang mayoritas beragama Islam memilih nama Bulan Sabit Merah.
“Tetapi Jo Abdurachman berpendapat berbeda,” tulis Asvi, “menurutnya, kata dan logo ‘Palang’ dalam organisasi ini bukanlah representasi atau melambangkan salib yang merupakan ikon agama Kristiani. Oleh sebab itu, dia tetap menggunakan nama Palang Merah Indonesia.” Pada 1950, PMI diakui dan menjadi anggota Palang Merang Internasional. Catatan Historia.id
Di bawah ini ada sebuah kisah tentang wanita pejuang dari Bali, sayang saya tidak berhasil mencari sosok ketiga wanita pejuang tersebut selain Ktut Tantri yang merupakan warga AS yang ikut berjuang juga di BALI dan perang 10 november di Surabaya.
KAUM perempuan Bali boleh berbangga hati. Perjuangan hidup-mati dalam era perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan ternyata bukan hanya urusan kaum lelaki. Tak sedikit perempuan pejuang Bali yang ikut terjun ke medan laga guna menjaga martabat bangsa ini dari cengkeraman kolonialisme Belanda yang ingin kembali bersama sekutunya, setelah Kemerdekaan RI diproklamasikan 17 Agustus 1945. Banyak perempuan pejuang pernah ditangkap, ditawan, dan disiksa serdadu penjajah.Berjuang tidak identik dengan memanggul bedil. Ada sekelumit kisah heroik semasa perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI yang tersisa dari kaum perempuan Bali.Kisah ini terungkap dari penuturan tiga perempuan, Djero Wiladja dan Anak Agung Mirah Astuti Kompiang di Denpasar, serta Luh Sekar di Singaraja.Djero Wiladja yang semasa lajang bernama W.G. Sukarti masih teringat pengalaman nyata pada zaman perang merebut kemerdekaan. Saat itu, Sukarti terjun berjuang di medan tempur bersama para pejuang lainnya. Hanya saja, Sukarti tak ikut memanggul senjata.Perannya lebih banyak menjadi informan alias mata-mata pejuang RI yang sengaja menyusupi wilayah jajahan. Ia pun menjalani peran sebagai petugas kesehatan bagi para pemuda pejuang masa itu.Perempuan sepuh kelahiran Banjar Sakenan Badelodan, Tabanan, 75 tahun silam ini menyingkap sebuah pengalaman mengesankan ketika turut berjuang mengusir penjajah di Buleleng. Suatu malam ia mengikuti langkah sejumlah pejuang bergerilya melewati beberapa desa. Sukarti ditemani seorang sahabatnya bernama Sudarmi.Saat itu, baru saja berlalu pendaratan pasukan NICA. “Para pejuang terpaksa harus menempuh perjuangan bawah tanah. Saya diikutkan bergerilya sebagai informan bagi pejuang kita,” ungkap istri Anak Agung Gede Putra (alm.), ini.Tak jarang, Sukarti dipercaya mengemban tugas mengelabui musuh. Namun, ia tak sendirian menjalankan tugas ini. Suatu saat, ia berpura-pura mengendarai sepeda gayung bersama sejumlah teman, termasuk Sudarmi dan Mas Inggas. Mereka sedang berusaha mengalihkan perhatian serdadu penjajah yang sedang mengincar dua pemuda pejuang, Maruti dan Tanil.Langkah dua tokoh pemuda ini samasekali tak terendus penjajah. Padahal, mereka berada di tengah rombongan ini. “Tiap berpapasan dengan tentara NICA kami melambaikan tangan dibarengi senyum ramah, sehingga mereka tidak terlalu memperhatikan dua pemuda yang ikut bersama kami,” tutur Ketua Korps Wanita Veteran Provinsi Bali ini.Suatu ketika waktu menjelang pagi, suasana masih tampak gelap. Tiba-tiba terdengar suara anjing menggonggong. Sukarti terbangun dari tidurnya. Ia beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan mendekati pintu depan rumahnya.“Saat membuka pintu saya kaget melihat banyak tentara NICA membawa senjata lengkap berada di pekarangan rumah,” kisahnya.Rumah Sukarti dikepung Serdadu NICA. Para penjajah mencurigai ada pejuang yang disembunyikan di rumahnya. Namun, kecurigaan tadi tak terbukti. Tentara NICA tak menemukan apa yang mereka cari.Selang beberapa saat kemudian mendadak muncul seorang pemuda bertopi klangsah dan berpakaian bak petani. Ia membawa tegenan pisang serta buah kelapa. Ia ternyata Raken Sujati, pejuang yang sedang diburu tentara NICA.Rupanya ia sedang melakukan penyamaran. “Maklum wajahnya sudah dihapal tentara NICA,” ujarnya.Seketika Sukarti mencari akal menyembunyikan pemuda tadi. “Saya menyuruhnya berpura-pura menyuci pakaian di kamar mandi. Pintu kamar mandi dibuka sedikit agar tidak mencurigakan. Saat melakukan inspeksi lagi, tentara NICA tidak curiga.Untung saja tidak ketahuan. Wah, saya sudah deg-degan,” kata perempuan yang masih kelihatan cantik pada usia senjanya itu.Men Norji Pertengahan tahun 1947 Sukarti dan Sudarmi dipindahkan sebagai pembantu sekretaris dan palang merah perwakilan MBU Sunda kecil di Buleleng yang dipimpin Wayan Noorai alias Pak Mangku.Hampir seluruh desa dan hutan di Buleleng telah dilalui bersama MBU. Ia ikut menyemangati kaum wanita pedesaan agar tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.Saat bergerilya bersama rombongan MBU banyak hal berkesan yang dirasakannya. “Kami berjalan tengah malam tanpa sinar lampu sedikit pun karena takut ketahuan tentara NICA. Kami hanya berpegangan tangan, mata terpejam.Kami berjalan mengendap-endap, tanpa bicara sepatah kata pun bermodalkan keberanian. Kami terus berjalan sampai kaki terasa capek. Begitu capeknya kami tertidur. Esok harinya baru sadar kami sudah berada di puncak bukit,” tuturnya. Sukarti pernah bergerilya hingga mencapai PuncakBukit Landep. Udara dingin seakan menusuk sumsum tulang. Jika waktu istirahat tiba, ia memilih tidur di dekat tungku api. “Namun, lagi nyenyak tidur, ada berita tentara NICA datang. Kami berpindah lagi sambil bergerilya,” katanya.Ada seorang warga desa, Men Norji, yang sosoknya sulit dilupakan Djero Wiladja alias Sukarti ini. Men Norji berjasa membantu para pejuang di Desa Munduk Pengorengan. Ia memberikan makan dan tempat tinggal bagi para pejuang yang mampir di kampungnya.Pakai Kode Zaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan merupakan masa yang sulit. Keadaan genting dan situasi tak menentu. Hal ini juga mempengaruhi kondisi perekonomian. Orang zaman itu hanya makan nasi bercampur jagung. Banyak duka yang dialami istri pejuang.“Saya waktu tahun 1945 masih kelas IV SD. Kondisi sedang gawat. Para pejuang dikejar-kejar tentara NICA. Saya dan Ibu kerap membantu pejuang bersembunyi. Ada yang sembunyi di atap dan ada yang sembunyi di belakang Puri Mengwi,” kenang Anak Agung Mirah Astuti Kompiang, istri Ida Bagus Kompiang, Ketua LVRI Bali.Sembari membantu persembunyian pejuang, perempuan kelahiran 23 Desember 1933 ini juga ikut mengantarkan makanan untuk para pejuang. Walaupun ada rasa takut, tetapi itu tak mengendorkan semangatnya membantu kaum pejuang.Satu pengalaman yang tak terlupakan, ketika ada konvoi lewat di depan Puri Mengwi. “Ada konvoi datang dari arah Gulingan.Semua orang keluar menonton. Ternyata konvoi itu membawa jenazah Pak Rai (I Gusti Ngurah Rai) yang gugur di Marga. Belakangan saya baru tahu Pak Kompiang ikut bertugas mengidentifikasikan siapa-siapa saja yang gugur dalam pertempuran itu,” ujarnya.Ketika memutuskan menikah dengan Pak Kompiang, ia dihantui rasa was-was. “Waktu upacara pernikahan, tak jauh dari rumah tempat upacara ada orang dibunuh karena diketahui sebagai mata-mata.Zaman itu memang sulit. Orang pakai bahasa kode untuk mengetahui apakah dia musuh atau teman,” kata perempuan yang dikaruniai tiga anak dan tujuh cucu ini.Pejuang Pertama Luh Sekar, merupakan salah seorang pejuang di Buleleng yang turut membantu para pemuda Indonesia melawan penjajah. Kisahnya dituturkan kembali Luh Sekar kepada wartawati Koran Tokoh, Putu Yanik, di rumahnya, Desa Pemaron, Singaraja.Luh Sekar yang sekarang dikenal dengan nama Jero Nagari merupakan perempuan pertama yang menjadi pejuang di desa asalnya, Panji. Saat Belanda menduduki Buleleng, ia menjabat sebagai ketua Wanita Republik Indonesia (Warindo).“Perempuan dulu lebih banyak bertugas sebagai penghubung dan membantu pemuda Indonesia untuk perlengkapan maupun penyampaian surat-surat rahasia,” ungkap perempuan kelahiran 1931, ini.Saat berusia 17 tahun, ia ikut berjuang bersama pemuda desanya. Ia menjadi mata-mata para pejuang RI. Luh Sekar mahir menyamar sehingga selalu lolos dari kejaran tentara Belanda.Sesekali, Luh Sekar terbata dan menyeka air mata dengan baju yang dikenakannya saat mengungkapkan kembali kisahnya. “Sakit dada ini kalau teringat bagaimana ayah saya dipukuli dengan senjata hingga muntah darah. Ayah saya tak pernah mau mengatakan keberadaan saya,” ungkap Luh Sekar.Sikap ksatria dan kesetiaan sang ayah melecut dirinya ikut berjuang melawan penjajah. “Saya tak pernah membocorkan rahasia pemuda Indonesia, walau saya dikurung dan disiksa,” tuturnya.Luh Sekar pernah ditangkap pasukan Belanda. Tetangganya menjadi mata-mata penjajah yang membocorkan rahasia persembunyiannya. Ia diciduk bersama dua teman perempuannya.Mereka dikurung dua minggu di Banyumala. “Kami tetap menjaga rahasia. Akhirnya karena penjajah tak mendapat informasi apa pun, kami bertiga dilepas. Setelah dilepas, kami berjuang kembali,” ujarnya.Tindak-tanduknya pun selalu diawasi Belanda. Dua minggu kemudian, Luh Sekar kembali ditangkap di Kantor MID. Di sana, para pemuda Indonesia banyak yang disiksa, dibakar hidup-hidup, dan dibunuh. Luh Sekar pun mendapat siksaan.Ia dipukuli, ditempeleng, ditendang. Ia dipaksa membocorkan informasi tentang keberadaan pemuda pejuang RI.Beruntung, Luh Sekar tak kehabisan akal. Wajahnya yang cantik dijadikan senjata mengakali tentara Belanda. Ia berpura-pura mencuri perhatian penjajah. Luh Sekar kemudian menghirup udara bebas.Belakangan dua tentara Belanda jatuh cinta padanya, bahkan salah seorang yang pernah diracuninya pun mengajaknya menikah. “Saat saya membuka warung makan, banyak tentara Belanda mampir.Saya sempat meracuni salah seorang di antara mereka. Korbannya sakit berhari-hari, tetapi tak sampai meninggal. Dia samasekali tak curiga pada saya, padahal kalau ketahuan saya bisa dipenggal,” ungkapnya. Meski banyak digoda tentara Belanda, Luh Sekar tetap teguh pada pendiriannya.“Bahkan, iming-iming yang dijanjikan tak melunturkan kesetiaan saya pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan,” tambahnya. Luh Sekar kemudian melarikan diri bersama pemuda lainnya ke hutan Puncak Landep, Desa Panji.Ia bergabung dalam Gerakan Rahasia (Geri) dan menjadi anggota perempuan satu-satunya. Ia membawa misi khusus sebagai penghubung pemuda pejuang di kota dan di hutan.Ia juga memata-matai keberadaan tentara Belanda untuk memudahkan pergerakan pemuda. Malam harinya ia bertugas di sepanjang jalan Seririt-Singaraja dan bersembunyi di tumpukan sekam padi.Setelah merdeka, Luh Sekar menjalani hidupnya dengan membuka usaha dagang sampai akhirnya ia menikah dengan Bagus Putu Candri (alm) yang juga pejuang.Kini Luh Sekar menikmati masa tuanya bersama anak dan cucunya. Tiap tahun ia masih bisa menengok anak dan cucunya di Lampung. Ia pun masih bisa melakukan aktivitas memasak dan menyapu lantai rumahnya.
Masih banyak lagi para wanita pejuang indonesia, yang namanya sama sekali tak terdengar, mungkin bila di komikan atau di filmkan akan menjadi sebuah kisah yang sangat menarik untuk diceritakan kepada anak-anak kita. sebuah kisah wanita pahlawan yang patriotisme dan satria.
No comments:
Post a Comment