Sunday, August 28, 2016

Tembang Durma Sebuah Ajaran Nilai Moral Dan Etika


Di jaman serba maju ini, mungkin kita telah lupa akan ajaran tutur yang mengajarkan budi, etika dan moral dari ibu atau ayah sebagai sang penutur ke pada anak-anaknya.

Saya termasuk generasi itu, mungkin nantinya, namun sungguh beruntung, kesibukan orang tua masih kerap memberikan pitutur, bahkan eyang-eyang kami dulu kerap mendongengkan cerita-cerita yang mengajarkan hal tersebut, ya jika tak di lakukan menjadi tindakan, maka kadang kita alpa melakoninnya.

Dalam budaya jawa, Tembang termasuk dalam genre sastra karena merupakan karya sastra utama dari puisi yang berisi curahan perasaan pribadi pengarang, susunan kata-kata sebuah tembang. Oleh karena itu, tembang bisa dikatakan sama dengan puisi, tetapi disajikan dengan nyanyian yang diiringi oleh alat musik dan termasuk dalam genre sastra imajinatif.

Setiap penciptanya pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai pendengarnya melalui kata-kata yang terdapat dalam liriknya.

Salah satu sebuah karya tentang pengajaran nilai-nilai moral adalah  Mocopat "Tembang Durma"

Dalam pengertian Tembang Durma adalah sebuah karya sastra Jawa merupakan salah satu bagian dari tembang Macapat atau dalam bahasa sunda disebut pupuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata durma berarti merupakan bentuk komposisi tembang jenis macapat (terdapat di Jawa, Sunda, Bali), biasanya untuk melukiskan cerita-cerita keras (perkelahian, perang). (Sumber : KBBI) Durma juga berasal dari kata Jawa Klasik / bahasa Kawi yang berarti harimau.

Tembang Durma mengajarkan agar dalam hidup ini manusia dapat saling memberi dan melengkapi satu sama lain sehingga kehidupan bisa seimbang. Saling tolong menolong kepada siapa saja dengan hati yang ikhlas adalah nilai kehidupan yang harus selalu dijaga.

Tembang Durma dikidungkan bukan tanpa alasan, tetapi sebagai sarana untuk mengantarkan masyarakat pada proses penyucian diri atau katarsis. Tembang berperan sebagai hiburan, sarana edukasi, refleksi, serta implikasi keadaan sosial dalam rangka membangun masyarakat

Bener luput ala becik lawan begja cilaka
mapan saking badan priyangga
dudu saking wong liya

Batas antara benar dan salah telah luntur meskipun keduanya saling beroposisi. Dalam Serat Kalatida "Zaman Edan Ronggowarsito" telah dijelaskan tentang hilangnya batas antara kebaikan dan kejahatan. Hal tersebut disebabkan oleh proses yang digunakan seseoang untuk mendapatkan kejayaan. Dengan menghalalkan segala cara, seseorang mencari kemakmuran.
Untuk memperjelas kembali batas antara dua sisi yang saling berlainan itu seseorang harus berkaca kembali pada dirinya. Karena dengan mengintrospeksi diri, kesalahan dan perbuatan buruk yang telah dilakukan seseorang dapat diperbaiki.

Durma juga menyiratkan hubungan yang sangat erat antar manusia sebagai makhluk sosial. Dalam menjalankan kehidupannya, manusia senantiasa memiliki ketergantungan pada manusia lainnya.

Namun ada juga yang mengartikan Durma (Derma) sebagai pemberian. Tembang Durma mengandung filosofi tentang kehidupan yang suatu saat dapat mengalami duka, selisih dan juga kekurangan akan sesuatu.

Tembang macapat Durma menggambarkan kondisi ketika manusia telah menikmati segala kenikmatan dari Tuhan. Dalam banyak kasus, manusia akan mengingat Pencipta-nya saat ia dalam kondisi kesulitan, dan ia akan lupa ketika dalam kondisi kecukupan.

Memang sudah seharusnya ketika manusia dalam kondisi kecukupan ia akan bersyukur, namun pada kenyataannya justru seringkali ia bersifat sombong, angkuh, serakah, suka mengumbar hawa nafsu, mudah emosi dan berbuat semena-mena terhadap sesamanya. Sifat-sifat buruk inilah yang mungkin digambarkan dalam tembang macapat Durma. Durma bagi beberapa kalangan diartikan sebagai munduring tata krama, (mundurnya etika).

Makna Tembang Durma
Durma terdiri dari 12 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut

  • Pentingnya perilaku hambanting sarira (melatih diri untuk merasakan penderitaan, kebalikan dari memanjakan diri), membatasi makan dan tidur.
  • Kebahahagiaan maupun kesengsaraan seseorang tergantung pada diri sendiri, sehingga perlu hati-hati dan heling (tidak lupa diri).
  • Hendaknya ditumbuhkan semangat yang mantap dalam menambah pengetahuan lahir dan batin.
  • Hendaknya tidak dimiliki sifat gunggung diri (tinggi hati), nacat (mencela), dan mahoni (mencela, menyalahkan, tidak mau menerima).


Dalam pupuh Kinanthi telah diungkapkan pesan moral untuk menahan (membatasi) makan dan tidur, yang diulang hingga tiga kali dalam dua pada/bait.  Dalam pupuh Durma, pesan itu dulangi lagi, yang cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.

Dipun sami hambanting sariranira
cecegah dhahar guling
darapon sudaha
napsu kang ngambra-hambra
rerema hing tyasireki
dadi sabarang
karsanira lestari

Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :

Hendaklah kalian membanting diri
mengurangi makan dan tidur
agar berkurang
nafsu yang tidak karuan
tenteramkan hati kalian
jadi segalanya
agar lestari

Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut.

a.    Karakter yang baik :
hambanting sarira (melatih diri untuk merasakan penderitaan, kebalikan dari memanjakan diri); cegah dahar lawan guling (mengurangi makan dan tidur); heling (ingat, tidak lupa diri).

b.  Karakter yang buruk :gunggung diri (mengagungkan diri sendiri; merasa klas tinggi); nacat kapati-pati (mencela habis-habisan); mamahoni (mencela, menyalahkan, tidak mau menerima); nora prasaja (tidak apa adanya); hangrasani (membicarakan kejelekan orang lain); mada (mencela); ngrasa bener pribadi (merasa hanya dirinya yang benar).

Jika di simak makna-makna dalam bait tembang Durma maka ada kesejukan hati yang menggambatkan watak yang tegas, keras dan penuh dengan amarah yang bergejolak, namun penuh welas asih. buat saya menikmati tembang ini, sebagai ungkapan marah, atas duniawi, namun sepenuhnya di kembalikan pada gusti allah sebagai pemilik ruh dan jiwa.

Nilai Moral dalam Tembang Durma

a. Perbedaan antara Kebaikan dan Kejahatan

Batas antara baik-buruk, benar-salah, halal-haram perlu ditegaskan kembali. Hal tersebut tampak pada tindakan sewenang-wenang yang merajalela dan keserakahan manusia terhadap harta.

Bener luput ala becik
lawan begja cilaka

Untuk dapat membangun karakter suatu bangsa harus dibedakan antara hal-hal yang baik dengan hal-hal yang buruk. Dengan ditegaskannya kembali batas antara keduanya akan lebih mudah bagi masyarakat untuk mencapai karakter yang lebih baik.

b.Introspeksi dan Percaya Diri

mapan saking badan priyangga
dudu saking wong liya

Apabila seseorang melakukan kesalahan, seharusnya orang tersebut dapat menyadari kesalahan. Akan tetapi jika tidak, maka introspeksi perlu dilakukan orang tersebut. Kebaikan dan keburukan suatu perbuatan dapat dilihat pada diri sendiri. Dengan mengintrospeksi diri, seseorang akan mampu memperbaiki diri. Proses introspeksi diri tersebut dapat dikatakan sebagai proses katarsis.

Confidence atau rasa percaya diri tampak pada gatra kedua dan ketiga. Nasib seseorang ditentukan oleh diri orang tersebut, bukan dari orang lain. Upaya yang bersifat personal membuat pencapaian setiap orang menjadi berbeda-beda.

c.Waspada, Sadar, dan Berhati-hati

Di zaman yang serba sulit dan keras ini, masyarakat harus terus waspada dan mawas diri. Siapapun dapat berbuat kejahatan. Kewaspadaan berbeda dengan rasa curiga dan prasangka buruk. Masyarakat diminta untuk tetap waspada karena begitu marak tipu daya yang dilakukan. Bahkan, sesama saudara dapat saling menjatuhkan, saling menyerang, dan saling menipu satu sama lain demi tujuan-tujuan yang hendak dicapai.

pramila den ngati-ati
sakeh dirgama
singgahana den eling

Keterkaitan Tembang Durma dengan Pembentukan Karakter Bangsa

Nilai-nilai positif dalam tembang Durma memiliki peran dalam membangun karakter bangsa. Masyarakat Jawa sebagai pemiliknya telah mengamini dan membenarkan isi tembang Durma. Tentang kehidupan yang mengalami kemunduran, juga dibenarkan.

Kerusakan moral terjadi bukan hanya baru-baru ini. Isu   bahkan sudah pernah didengungkan oleh Ronggowarsito. Dalam serat-seratnya, Ronggowarsito meramalkan datangnya zaman yang sarwa kawalik atau serba terbalik. Bahkan disebutkan juga bahwa sing ora edan ora kaduman (yang tidak gila tidak dapat bagian).

Inilah zaman yang pernah diramalkan Ronggowarsito baratus tahun yang lalu. Zaman dimana orang benar disalahkan dan orang salah dibenarkan. Yang putih menjadi hitam yang hitam menjadi terang.
Akan tetapi, bukan berarti masyarakat tidak akan mampu lepas dari permasalahan tersebut. Masyarakat bisa saja lepas dengan tetap menjaga hati dan pikiran. Bukan dengan mengobarkan nafsu.

Berbagai cara dilakukan para orang tua dan guru demi menyelamatkan putra-putrinya dari kemunduran moral. Salah satunya melalui pengajaran nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai tersebut dikemas dalam bentuk yang tidak menggurui, sehingga lebih mudah diterima oleh anak.
Berdasarkan teori determinisme psikis dan determinisme lingkungan, telah jelas bahwa pengajaran yang dilakukan oleh orang tua sangat besar perannya terhadap karakter seseorang. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua diterima, dipelajari dan kemudian diserap oleh anak, sehingga ketika anak mengalamai suatu permasalahan, nilai tersebut dapat berguna karena telah tertanam dan menjadi karakternya.

Akan tetapi, pengaruh lingkungan juga dominan dalam pembentukan karakter. Ketika lingkungan seseorang mendukung untuk tindakan-tindakan positif, maka orang tersebut akan memiliki karakter yang positif, begitu pula sebaliknya.



Tembang Durma mengajarkan seseoran (bangsa Jawa) untuk terus waspada dan mawas diri, karena lingkungan telah dipenuhi dengan tipu daya. Meskipun lingkungan telah rusak moralnya, seseorang harus tetap mampu menjaga diri, karena untung-rugi serta keselamatan seseorang tidak ditentukan oleh orang lain, melainkan oleh diri sendiri.

No comments:

Post a Comment

Lentera Merah My web Lenteramerah https://pojoklenteramerah.blogspot.co.id/