Wednesday, September 28, 2011

Kutukan Tuhan tentang kemiskinan di nusantara dalam Paradigma negara membangunan Pertanian




Di bawah ini adalah catatan kaki dari berbagai sumber, setidaknya menjadi bahan pemikiran bahwa kegagalan pembangunan RI di sektor pertanian sungguhlah terpuruk. berbagai macam tulisan saya rangkum bahkan  saya teringat saat menyusun PKL tahun 2006 yang membahas karakteristik petani miskin di salah satu desa di sekitar kawasan konservasi.

Hampir2x tanaman jangung saya membangun sebuah usaha dalam bidang pertanian, ternyata dilema-dilema yang pernah terbahas di bangku kuliah, baik mata kuliah pembangunan pertanian, ekonomi pertanian, pembiayaan perusahaan pertanian dll, ilmu-ilmu tentang pertanian, semua hanyalah text book, aplikasinya tergantung pada person masing-masing. dan wajar saja sekitar 20% sarjana pertanian mau kembali bekerja di bidang pertanian sisanya menjadi karyawan atau pegawain gajian. Karena Lembaga pendidikan tidak mampu menciptakan Sarjana yang mencetak lapangan pekerjaan. Dan wajar saja jika nasib petani tetap di ambang ke sejahteraan... bicara mampu menyekolahkan anak saja itu sudah alhamdulilah apalagi bicara kesejahteraan. ya itulah yg di hadapi bangsa ini.

Benarkah Sistem ekonomi INDONESIA mengacu pada Pancasila yaitu Sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ?

Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, yakni :
sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan.

sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan.
KEMISKINAN
membuat jutaan anak-anak :
1.tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas,
2.kesulitan membiayai kesehatan,
3.tidak memiliki tabungan,
4.tidak mampu berinvestasi,
5.kurangnya akses pelayanan public,
6.kurangnya lapangan pekerjaan,
7.kurangnya jaminan social,
8.kurangnya perlindungan keluarga,
9.menguatnya arus urbanisasi

dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat, gagal memenuhi kebutuhan :
pangan, sandang dan papan secara baik.

Kemiskinan menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup
(safety life), yakni :

Mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan  (James C. Scott, 1981).

Pendek kata, kemiskinan di Indonesia, merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis.
Cara penanggulangan kemiskinan :
  • membutuhkan analisa yang tepat,
  • melibatkan semua komponen,
  • perlu strategi penanganan yang tepat dan berkelanjutan  (comprehensive, simultaneous and sustainable).

Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.

Pada umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.

Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.

Kemiskinan adalah fakta sosial yang nyaris absolut di Indonesia. Sejak zaman kolonial Belanda sampai sekarang, negara ini dikenal sebagai negara miskin. Data tentang kemiskinan sekarang, terlepas dari perdebatan tentang indikator, tidaklah membanggakan. Jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 17% dari penduduk saat ini yang 220 juta. Jumlah penganggur 10 juta orang.

Kemiskinan di Indonesia harus dilihat sebagai malapetaka kemanusiaan yang amat tragis. Bila di negara maju kemiskinan itu bisa relatif karena mereka memperoleh tunjangan sosial walaupun tidak memperoleh pekerjaan. Di Indonesia orang-orang miskin betul-betul kehilangan segala-galanya, termasuk harapan. Karena tidak ada jaring pengaman apa pun oleh negara yang mampu menolongnya.

Karena itu, dalam memerangi kemiskinan, haruslah dilakukan dalam dua persepektif. Pertama, negara harus menempatkan perang terhadap kemiskinan sebagai perintah konstitusi. Karena itu ketidakmampuan mengurangi jumlah orang miskin tidak bisa dianggap sebagai kegagalan biasa, tetapi kejahatan. Kedua, kegagalan pemerintah memerangi korupsi harus pula dianggap sebagai kejahatan. Hanya dengan begini negara dan pemerintah memiliki kewajiban yang imperatif. Tidak sekadar mengakui kegagalan.

“Poverty is not created by poor people. It is produced by our failure to create institutions to support human capabilities,” Prof.Muhammad Yunus, Pendiri Grameen Bank, Bangladesh. (Penerima Nobel Perdamaian 2006.) Dari pernyataan itu tersirat bahwa kemiskinan itu akibat kesalahan pembuat kebijakan dan keputusan dalam pembangunan negara yang tidak menyentuh kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan manusia. Kemiskinan merupakan buah dari salah urus dalam pengelolaan negara, dan tidak ada persoalan yang lebih besar selain kemiskinan.


NASIB PETANI MISKIN

Tanah subur, jaringan irigasi teknis, dan subsidi pemerintah nyatanya tak cukup untuk mengangkat hidup Entung (65). Puluhan tahun membanting tulang di sawah, ia akhirnya takluk oleh tuntutan kebutuhan hidup. Senasib dengannya, para petani gurem lain di Karawang, Jawa Barat, juga kian gamang menghadapi perkembangan zaman.

(sumber : BPS -Sensus Pertanian 1993 & 2003 dan proyeksi 2008) Keterangan : Pertumbuhan RTP [1993 – 2003] : 2,2% Pertumbuhan Petani Gurem [1993 – 2003] : 2,6% (sumber : BPS -Sensus Pertanian 1993 & 2003 dan proyeksi 2008) Keterangan : Pertumbuhan RTP [1993 – 2003] : 2,2% Pertumbuhan Petani Gurem [1993 – 2003] : 2,6%

Hingga tahun 2000-an, Entung adalah aktivis petani di wilayahnya. Ia menjabat Ketua Kelompok Tani Sri Rahayu di Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok; pengurus Kontak Tani Nelayan Andalan Rengasdengklok; juga aktif di organisasi petani lain. Dengan beberapa ”kendaraan” itu, Entung aktif membela petani, seperti saat menentang kebijakan impor beras, kenaikan harga pupuk, atau soal harga gabah yang terpuruk.
Akan tetapi, kebutuhan keluarga mengubur aktivitas itu. Lahan seluas 2,5 hektar (ha) warisan orangtua, termasuk milik Tati (62), istrinya, dijual seharga Rp 65 juta-Rp 70 juta per ha. Tahun 2004, ia tak punya sawah lagi. Entung pun memilih mundur dari beberapa organisasi dan sejak itu mengandalkan hidup dari anak-anaknya.
Sumber: Kompas, 16 September 2010


(sumber : Kompas 6 September 2010) Catatan : Australia sangat yakin, bahwa penghentian import sapi bakalan akan diikuti import daging sapi beku,
NASIB PETANI MISKIN

Pasangan Iwir (60)-Endeng (50) memiliki kisah yang nyaris sama. Ketiadaan uang untuk membayar biaya sekolah anak, berobat, dan kebutuhan dapur memaksa Iwir menggadaikan 1 ha sawahnya di Desa Amansari, Kecamatan Rengasdengklok, seharga Rp 15 juta tahun 1995. Hingga lima tahun kemudian, Iwir belum juga mampu menebusnya. Dan, keduanya harus bekerja serabutan sebagai buruh tandur (tanam), tukang ngarambet (pembersih rumput liar), atau buruh panen, sekadar untuk bertahan hidup.

Petani gurem lain di Karawang kebanyakan memperoleh lahan dari warisan orangtua. Karena itu, kepemilikannya pun mengecil. Seperti Cholil (47), petani di Desa Sukasari, Kecamatan Purwasari, yang mewarisi 0,2 ha sawah. Dengan 0,2 ha, Cholil biasa memanen 1 ton gabah kering panen (GKP) per musim. Jika harga gabah Rp 3.000 per kg GKP, pendapatan kotornya Rp 3 juta. Dipotong ongkos produksi sekitar Rp 800.000, Cholil tinggal mengantongi Rp 2,2 juta untuk hidup hingga empat bulan. Artinya, pendapatan Cholil Rp 550.000 per bulan. Ini jauh di bawah kebutuhan hidup layak tahun ini (berdasarkan survei Dewan Pengupahan Kabupaten tahun 2009) sebesar Rp 1,262 juta per bulan atau upah minimum Kabupaten Karawang 2010 sebesar Rp 1,11 juta.
Sumber: Kompas, 16 September 2010

Kita di Indonesia nampaknya membuat kekeliruan yang sama dengan yang dibuat oleh banyak negara berkembang lainnya........ Meskipun perhatian kita terhadap pertanian pangan sudah amat besar sehingga tercapai swasembada pangan, namun dana yang dicurahkan bagi industrialisasi jauh melebihi kewajaran dengan sekaligus kurang memper-hatikan pengembangan ”agribisnis” dan ”agroindustri” yang seharusnya merupakan bagian tak terpisahkan dari proses industrialisasi berwawasan pengembangan sumberdaya pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan. Kini perekonomian perdesaan kita masih dalam keadaan lemah. Ada semacam dualisme yang tetap bertahan, lebih-lebih dengan ”serbuan” teknologi maju di segala bidang. Penduduk perdesaan dewasa ini bekerja dan berjuang keras semata-mata agar bisa bertahan menghadapi arus komersialisasi yang amat kuat menekan kehidupan mereka. Maka tidaklah menghe-rankan apabila kemiskinan perdesaan masih tetap cukup memprihatinkan..............

Demikianlah cuplikan tulisan Prof. Mubyarto di tahun 1995, 1) pada saat beliau mengingatkan kita semua dalam ”menempatkan” posisi para pemikir di bidang ekonomi pertanian. Ada keresahan, ada keprihatinan, dan ada gugatan di dalamnya.

Dalam banyak hal, ilmu ekonomi pertanian memang dianggap telah banyak berjasa dalam mengungkapkan dan menganalisis berbagai masalah ekonomi dalam sektor dan bidang pertanian, memberikan ”andil” pada pemahaman masalah-masalah produktivitas dan efisiensi produksi pertanian serta sikap pemihakan pada petani. Akan tetapi, sampai saat ini ilmu ekonomi pertanian tersebut masih belum cukup mampu memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keadilan sosial. Bahkan di lain sisi, pengangguran tersembunyi yang merupakan salah satu sebab kemiskinan perdesaan, sering masih membingungkan ahli-ahli ekonomi pertanian.

”Tidakkah sudah tiba saatnya ekonom Indonesia mulai mawas diri dan mempertanyakan relevansi teori ekonomi Neo-Klasik Orthodox sebagai ilmu yang mendasari berbagai kebijaksanaan dan strategi ekonomi?”. Bahkan dihipotesakannya bahwa teori ekonomi Neo-klasik yang terbentuk di dunia Barat satu abad lalu hanyalah relevan untuk menganalisa sebagian kecil perekonomian kita dan tidak relevan bagi sebagian besar yang lain. Mengapa? Karena teori ekonomi tersebut tidak mempunyai ”moral” pemihakan pada rakyat miskin. Teori ekonomi Neo-klasik dinilai telah tidak begitu berkembang sebagai ilmudi negara kita, tetapi lebih kelihatan berkembang sebagai seni.
Kerisauan ini menjadi sangat relevan diungkapkan kembali, ---pada saat perekonomian kita berada disimpang jalan antara pertumbuhan dan keadilan---, mengingat bahwa teori-teori ekonomi Neo-klasik yang banyak menggantungkan pada kekuatan pasar untuk melaksanakan alokasi sumberdaya dalam masyarakat, justru telah mendorong dan menumbuhkan golongan ekonomi kuat, akan tetapi kurang mampu meningkatkan peran golongan ekonomi lemah.

Ungkapan di atas pada dasarnya merupakan kerisauan para ekonom pertanian di Indonesia, yang selain bekerja dalam aspek-aspek produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan, senantiasa memulai peker-jaannya dengan masalah-masalah mendasar seputar kemiskinan, pemerataan dan keadilan sosial, yang (seharusnya) merupakan tema sentral studi-studi ekonomi pertanian dan perdesaan.

DILEMA DAN STRATEGIS

Penanggulangan kemiskinan yang selama ini terjadi memperlihatkan beberapa kekeliruan paradigmatik, antara lain pertama, masih berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek multidimensional. Penanggulangan kemiskinan dengan fokus perhatian pada aspek ekonomi terbukti mengalami kegagalan, karena pengentasan kemiskinan yang direduksi dalam soal-soal ekonomi tidak akan mewakili persoalan kemiskinan yang sebenarnya. Dalam konteks budaya, orang miskin diindikasikan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dsb. Sementara dalam konteks dimensi struktural atau politik, orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politis.

Kedua, lebih bernuansa karitatif (kemurahan hati) ketimbang produktivitas. Penanggulangan kemiskinan yang hanya didasarkan atas karitatif, tidak akan muncul dorongan dari masyarakat miskin sendiri untuk berupaya bagaimana mengatasi kemiskinannya. Mereka akan selalu menggantungkan diri pada bantuan yang diberikan pihak lain. Padahal program penanggulangan kemiskinan seharusnya diarahkan supaya mereka menjadi produktif.
Ketiga, memosisikan masyarakat miskin sebagai objek daripada subjek. Seharusnya, mereka dijadikan sebagai subjek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan.
Keempat, pemerintah masih sebagai penguasa daripada fasilitator. Dalam penanganan kemiskinan, pemerintah masih bertindak sebagai penguasa yang kerapkali turut campur tangan terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin. Sebaliknya, pemerintah semestinya bertindak sebagai fasilitator, yang tugasnya mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki. Paradigma baru menekankan apa yang dimiliki orang miskin ketimbang apa yang tidak dimiliki orang miskin. Potensi orang miskin tersebut bisa berbentuk aset personal dan sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah (coping strategies) yang telah dijalankannya secara lokal.

Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Mencermati beberapa kekeliruan paradigmatik penanggulangan kemiskinan tadi, ada strategi yang harus dilakukan untuk mengatasi kemiskinan.

Pertama, karena kemiskinan bersifat multidimensional, maka program pengentasan kemiskinan seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi tapi memperhatikan dimensi lain. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapat prioritas, namun juga harus mengejar target mengatasi kemiskinan nonekonomik. Strategi pengentasan kemiskinan hen-daknya diarahkan untuk mengikis nilai-nilai budaya negatif seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dsb.

Apabila budaya ini tidak dihilangkan, kemiskinan ekonomi akan sulit untuk ditanggulangi. Selain itu, langkah pengentasan kemiskinan yang efektif harus pula mengatasi hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan politis.
Kedua, untuk meningkatkan kemampuan dan mendorong produktivitas, strategi yang dipilih adalah peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan kesehatan dan pendidikan, peningkatan keterampilan usaha, teknologi, perluasan jaringan kerja (networking), serta informasi pasar.


Ketiga, melibatkan masyarakat miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi, bahkan pada proses pengambilan keputusan.
Keempat, strategi pemberdayaan. Kelompok agrarian populism yang dipelopori kelompok pakar dan aktivis LSM, menegaskan, masyarakat miskin adalah kelompok yang mampu membangun dirinya sendiri jika pemerintah mau memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur dirinya.

Dalam kaitan ini, Ginandjar Kartasasmita menyatakan, upaya memberdayakan masyarakat setidak-tidaknya harus dilakukan melalui tiga cara, yaitu (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang dengan titik tolak bahwa setiap manusia dan masyarakat memilki potensi (daya) yang dapat dikembangkan, (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, dan (3) memberdayakan pula mengandung arti melindungi. Untuk proyeksi ke masa depan sangat dibutuhkan upaya yang lebih efektif dalam mengatasi kemiskinan.

Pelajaran dari Pemenang Nobel Perdamaian 2006
Kemiskinan sungguh merupakan persoalan struktural yang kompleks. Pelbagai variabel senantiasa mengepungnya dari pelbagai penjuru. Birokrasi, misalnya, adalah salah satu variabel itu. Ini yang membuat ekonom seperti Prof Mubyarto meragukan penyaluran dana bagi kaum miskin melalui birokrasi. Beliau sebaliknya memuji program Inpres Desa Tertinggal yang memotong jalur birokrasi antara si miskin dan bank pedesaan (Kompas, 9/4/2005).
Saat dana dijemput dan dikelola sendiri oleh si miskin, risiko korupsi oleh birokrat desa mengecil. Persoalannya, siapa yang mengidentifikasi si miskin? Bukankah itu dilakukan aparat birokrasi? Kolusi antara birokrat desa dan bank penyalur dana amat mungkin terjadi.

Keprihatinan yang sama juga dirasakan ekonom asal Banglades, Muhammad Yunus. Menurut dia, kemiskinan diciptakan oleh institusi dan kebijakan yang mengitarinya. Reformasi institusional dan kebijakan karena itu menjadi kemestian dalam upaya pengentasan kemiskinan. Namun, reformasi birokrasi di negara dunia ketiga tidak bisa seketika dan menyimpan banyak kendala. Sebab itu, Yunus memperkenalkan sebuah institusi baru bernama Grameen Bank. Grameen Bank adalah bank alternatif yang bekerja di luar jalur birokrasi dan menyentuh langsung wajah si miskin. Bermula di Banglades, Grameen Bank kini sudah mendapat sekian banyak replika di pelbagai negara.
Filsafat manusia yang menopang Grameen Bank cukup menarik. Kemiskinan menurut filosofi itu bukan disebabkan absennya keterampilan (skill). Keterampilan tidak berbanding lurus dengan kualitas hidup seseorang. Dengan kata lain, keterampilan bukan ukuran posisi sosio-ekonomi seseorang. Filsuf Rawls menyebutnya sebagai hasil lotre alam. Keterampilan pun memerlukan dana untuk menatanya. Sementara orang miskin tidak memiliki cukup dana untuk itu. Kalaupun ada, dana itu berupa sumbangan yang tidak menuntut pertanggungjawaban, bahkan menciptakan ketergantungan. Padahal, menurut filosofi Grameen Bank, keluarnya seseorang dari kemiskinan menuntut inisiatif dan kreativitas.

Demi menunjang filosofi itu, Grameen Bank merancang kredit mikro berbasis kepercayaan bukan kontrak legal. Konkretnya, peminjam diminta membuat kelompok yang terdiri dari lima orang dengan satu pemimpin. Pinjaman diberikan secara berurutan dengan catatan orang kedua baru bisa meminjam setelah pinjaman orang pertama dikembalikan. Selain itu, kelompok peminjam dituntut membuat pelbagai agenda sosial yang bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Metodologi ini bukan sekadar berfokus kepada kemiskinan finansial, tetapi juga sosial. Ia dirancang guna mendorong rasa tanggung jawab dan solidaritas terhadap sesama peminjam dalam satu komunitas. Ini didaratkan pada tesis bahwa kemiskinan bukan semata disebabkan oleh kekurangan modal finansial, tetapi juga sosial.


MAMPUKAH PETANI INDONESIA BANGKIT DARI KETERPURUKANNYA....?
Jawabnya tanyakan pada sistem dan aktornya.....bila anda masih percaya pada instansi yang di bangun oleh negara.

Tunduk tertindas atau bangkit melawan untuk sebuah keadilan sosial #MDRCCT

No comments:

Post a Comment

Lentera Merah My web Lenteramerah https://pojoklenteramerah.blogspot.co.id/