Membaca blog D.I Panjaitan sang jenderal pendeta, ternyata banyak kisah yang sengaja di lenyapkan di jaman orba, ada banyak nilai nilai yang tidak dimiliki prajurit bintara dan perwira di jaman ini.
Pembangunan bukan milik negara tapi milik rakyat dan militernya. Militer bukan menjadi alat pelindung kekuasaan tapi pelindung rakyat dari tirani yang berkuasa.
D.I. Pandjaitan Memorial Page
"Musuh utama Komunisme di Indonesia adalah kesejahteraan"
(Bung Hatta, Lapangan Merdeka, Medan, 1956)
Donald Isaac Pandjaitan
Donald Isaac Pandjaitan (9 June 1925 – 1 October 1965) adalah Jenderal TNI yang gugur dan diculik oleh gerakan G30S-PKI pada tanggal 1 Oktober 1965Donald Isaac Pandjaitan (9 June 1925 – 1 October 1965) was an Indonesian general who was killed during a kidnap attempt by members of the 30 September Movement.
Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 19 Juni 1925. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Kalimat di foto atas dikutip dari Amanat Panglima Perang 1945, Jenderal Sudirman: "TNI bukan alat partai atau milik golongan. TNI lahir dari rakyat (TKR-Tentara keamanan Rakyat dan BKR Badan Keamanan Rakyat), oleh rakyat, untuk rakyat dan selalu bersama rakyat"; "Tentara bukan suatu kasta berdiri diatas rakyat, bukan diluar rakyat, tetapi bersatu dengan rakyat". Artinya keberlangsungan TNI hanya jika bersatu dengan rakyat.
Kalimat di foto atas dikutip dari Amanat Panglima Perang 1945, Jenderal Sudirman: "TNI bukan alat partai atau milik golongan. TNI lahir dari rakyat (TKR-Tentara keamanan Rakyat dan BKR Badan Keamanan Rakyat), oleh rakyat, untuk rakyat dan selalu bersama rakyat"; "Tentara bukan suatu kasta berdiri diatas rakyat, bukan diluar rakyat, tetapi bersatu dengan rakyat". Artinya keberlangsungan TNI hanya jika bersatu dengan rakyat.
Karir Militer
Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi.
Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan melancarkan pemberontakan.
Kematian
Pada jam-jam awal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30 September meninggalkan Lubang Buaya menuju pinggiran Jakarta. Mereka memaksa masuk pagar rumah Panjaitan di Jalan Hasanudin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, lalu menembak dan menewaskan seorang keponakan D.I Pandjaitan. Dua orang pemuda yaitu Albert Naiborhu dan Viktor Naiborhu ditembak ketika D.I. Panjaitan diculik, tidak lama kemudian Albert meninggal dengan 5 peluru di perutnya dan Viktor ditembak juga tetapi selamat.
Setelah penyerang mengancam keluarganya, Panjaitan turun dengan seragam yang lengkap sambil menyerahkan diri kepada Yang Maha Esa untuk memenuhi panggilan tugas yang dimanupalasi oleh gerombolan PKI dan ditembak mati. mayatnya dimasukkan ke dalam truk dan dibawa kembali ke markas gerakan itu di Lubang Buaya. Kemudian, tubuh dan orang-orang dari rekan-rekannya dibunuh tersembunyi di sebuah sumur tua. Mayat ditemukan pada tanggal 4 Oktober, dan semua diberi pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya. Panjaitan mendapat promosi anumerta kepada
Atas:
Albert Naiborhu , Mahasiswa FEUI 1965
Setelah penyerang mengancam keluarganya, Panjaitan turun dengan seragam yang lengkap sambil menyerahkan diri kepada Yang Maha Esa untuk memenuhi panggilan tugas yang dimanupalasi oleh gerombolan PKI dan ditembak mati. mayatnya dimasukkan ke dalam truk dan dibawa kembali ke markas gerakan itu di Lubang Buaya. Kemudian, tubuh dan orang-orang dari rekan-rekannya dibunuh tersembunyi di sebuah sumur tua. Mayat ditemukan pada tanggal 4 Oktober, dan semua diberi pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya. Panjaitan mendapat promosi anumerta kepada
(Sumber: Wikipedia.org dan koreksi keluarga sbg saksi hidup)
Tanda Tangan DI. Pandjaitan (dari keluarga):
Tanda Tangan DI. Pandjaitan (dari keluarga):
English Version, Source : Wikipedia.org::
Early lifeD.I. Pandjaitan was born in Sitorang, Balige in the Tapanuli region of North Sumatra. After completing elementary and high school, with the arrival of the Invading Japanese, he underwent Japanese Giyugun military education 1944. He was then posted to Pekanbaru, and was there when Indonesian independence was declared on 17 August 1945.
Career with the Indonesian military
In November 1945, Pandjaitan, together with other young people, helped establish a local branch of the People's Security Army (TKR), initially serving as a battalion commander. In March 1948 he was appointed commander of the commander for organization and education of XI/Banteng Division at Bukittinggi, West Sumatra. Not long after, he became fourth deputy commander (supplies) for the Sumatran Army Command, then when the Dutchlaunched their second "police action" against the republic, he was put in charge of supplies for the Emergency Government of the Republic of Indonesia.[3]. PDRI (Pemerintahan Darurat Indonesia, Bukit Tinggi 1948, Presiden Bung Hatta)
After the Dutch recognition of Indonesian sovereignty in 1949, Pandjaitan was posted to the headquarters of the TT/I Sumatran Division in Medan, and on 2 January 1950 became head of the operational staff of the TT.I / Bukit Barisan Division. He was then transferred to Palembang, South Sumatra and appointed deputy commander of the II/Sriwijaya Division. From October 1952 to July 1957, he served as the military attache to the Indonesian embassy in Bonn,West Germany. Upon his return to Indonesia, he joined the Army General Staff. He attended a course at the US Army Command and General Staff College at Fort Leavenworth from December 1963 to June 1964. He then took up his final post as fourth assistant to the Army chief of staff.
Death
In the early hours of October 1, 1965, a group of members of the 30 September Movement left the Lubang Buaya (lit: Crocodile Hole) area on the eastern outskirts of Jakarta to seize a number of key military figures and take them hostage. Pandjaitan was one of the senior military figures they planned to take prisoner. The group broke the fence near Pandjaitan's house in Jalan Hasanudin, Kebayoran Baru, South Jakarta, and shot who was sleeping on the ground floor of two-story house before calling on Pandjaitan to come down. Two of the young men involved at the time were students, Pandjaitan nephews, Albert Naiborhu, who was shot and killed and Viktor Naiborhu was shot but survived. Both were seriously injured during a fight when DI Pandjaitan was kidnapped. Albert died shortly afterwards. Below Albert foto in 1965 when he was an economics student at the University of Indonesia, Jakarta:
After the attackers threatened his family, Pandjaitan came down in full military uniform and surrendered. Pandjaitan was then shot and killed by a rouge military which was manipulated by the PKI. His body was put in a truck and taken back to the movement's headquarters at Lubang Buaya. Then his body along with those of a number of his colleagues who had also been killed were thrown into a nearby well (a lubang). The bodies were discovered on October 4, and all were given a state funeral the following day. Pandjiatan along with the other prominent military figures who were killed in the early hours of 1 October 1965 are buried at the Kalibata Heroes Cemetery in South Jakarta. Pandjaitan was posthumously promoted to Major General and awarded the title 'Hero of the Revolution'. (Source: Wikipedia, the free encyclopedia).