Antroposentrisme adalah sebuah paham bahwa dimana manusia adalah spesies paling pusat dan penting daripada spesies hewan) atau penilaian kenyataan melalui sudut pandang manusia yang eksklusif.
Antroposentrisme adalah konsep utama di bidang etika lingkungan dan filsafat lingkungan, karena sering dianggap sebagai akar masalah yang tercipta akibat interaksi manusia dengan lingkungan. Meski begitu, antroposentrisme tertanam kuat dalam berbagai budaya manusia modern dan tindakan-tindakan sadarnya.
Banjir dan sejumlah bencana adalah contoh pengaruh Antroposentrisme Pembangunan di Indonesia, dengan Aspek ekologi yang benar-benar diabaikan oleh negara, jika ada itupun atas nama administrasi dan akal-akalan ilmiah sebagai sarat patuhi pada aturan hukum.
Baca juga (Antara Jihat dan Jahat )
Baca juga (Antara Jihat dan Jahat )
Pembukaan lahan dan hutan, hanya untuk kepentingan investor untuk perkebunan, nyatanya banyak mudarat, dari kebakaran, asap, hingga pada akhirnya banjir dan erosi. yang berujung pada bencana yang menyengsarakan rakyat !
Lalu, ketika masih banyak alternatif Energi Listrk yang lebih baik untuk rakyat, yang ramah lingkungan, ternyata memilih yang banyak mudaratnya bukanlah itu mereka orang-orang antroposentrisme, dan bukanlah mereka adalah orang-orang yang termasuk di laknat tuhan.
Jika hutan di tebang, bumi di keruk, isiperut di tambang, di bangunlah PLTU, yang listriknya katanya untuk kesejahteraan rakyat, lalu asapnya menghujan asam pada lahan pertanian, maka di hulu banjir karena erosi, sungai tercemar dan bayi-bayi kita nanti penyakitan.
Namun ternyata perjuangan ini hanya milik segelintir saja, yang jelas-jelas bukan jihatnya para organ-organ keagamaan, atau para ustad dan pemuka agama. Gusti allah telah jelas memberikan otak di tempurung kepala kalian untuk berakal dan berpikir yang disebutkan pada Surat Al - Baqarah ayat 30.
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata: “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Pada ayat Al-Qur’an tersebut tersirat bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai kahlifah atau pemimpin di bumi. Manusia sebagai khalifah bertugas untuk mengelola bumi dan seisinya termasuk tanaman dan hewan dengan sebaik - baiknya. Al-Qur’an, memrintahkan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi memiliki tanggung jawab vertikal kepada Tuhan dan tanggung jawab horizontal berupa tanggung jawab individu, sosial, dan ekologi.
Manusia sebagai mahluk paling istimewa di bumi memiliki peran yang paling utama terhadap terjadinya degradasi lingkungan. Manusia terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana untuk mencapai pembangunan namun dalam penggunaannya manusia bukan lagi yang megendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi manusia yang dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu penyebabnya adalah diabaikannya nilai etika oleh manusia. Etika kalian para pemuka agama, yang siar gama hanya karena ada amplopnya, teriak-teriak di TV, radio bukan karena dari nurani. tapi karena ada tancinya "uangnya"
Ternyata memang jaman edan, uang haji saja di korupsi, apalagi di ajak berjihat untuk urusan lingkungan mungkin uangpun bicara !
organisasi mahasiswapun mandul, bahkan kemandulan inipun berjamaah, ketika bersinggungan dengan kebijakan politik dan mereka tidak berani katakan "ALLAH AKBAR" berjihad di jalan allah, sibuk kasak kusuk berpolitik praktis .
Surutnya peran agama dalam berbagai perjuangan penyelamatan alam dari eksploitasi besar-besaran korporasi, kiranya penting kita lihat terlebih dahulu sekilas, pandangan Islam terhadap alam dan peran manusia di bumi.
Secara teologis, Islam menempatkan manusia sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi yang sekaligus menerima amanat untuk menjaga dan mengelola bumi, sebagaimana dengan terang ditunjukkan dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah, 2:30, dan QS. al-Ahzab, 33:72. Sayangnya, manusia, khususnya umat Islam, seringkali berbuat sebaliknya. Allah sendiri mengatakan bahwa manusialah yang sesungguhnya membuat kerusakan di bumi, sebagaimana dalam QS. Ar-Ruum:41, “Zhahara al-fasad fi al-barri wa al-bahr bima kasabat aidinnas…” (Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia), yang oleh Ibnu Abbas dimaknai sebagai perbuatan merusak di lautan yang mengakibatkan rusaknya habitat ikan-ikan di laut.[3] Sementara dalam QS. Al-A’raaf:56, “Wala tufsidu fi al-ard ba’da islahiha” (Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya). Oleh Al-Qurthubi, ayat ini ditafsirkan sebagai larangan Allah pada umat manusia untuk berbuat kerusakan di atas bumi, baik sedikit maupun banyak.[4]
Maka semua kerusakan di bumi merupakan ulah manusia-manusia yang serakah dan tidak menyukuri nikmat Allah dengan merawat bumi sebaik-baiknya. Al-Qur’an menunjukkan beberapa penyebab kerusakan lingkungan (fasad al-bi’ah) diantaranya: Merusak (Al-A’raf, 7: 56 dan 74), (Al-Baqarah, 2: 60); Curang (Hud, 11: 85), (Al-Syura, 42: 181-183); Mengurangi/mengubah. (Al-Nisa’, 4: 118-119); Dorongan hawa nafsu (Muhammad, 47: 22) (Al-An’am, 6:123) (Al-Isra’,17: 16); Tidak seimbang dan berlebihan (Al-Isra’, 17: 25-26) (Al-An’am, 6:141) (al-A’raf; 7:31) (Al-Rahman, 55: 7-9) (al-Furqan, 25:67).
Betapa tingginya penghormatan Islam terhadap kehidupan dan kelestarian sampai ada hadis yang berbunyi begini: ‘Siapa yang membunuh seekor burung dengan sia-sia (tanpa maksud tertentu), burung tersebut akan mengadukan kepada Allah di hari kiamat, seraya berkata: “Wahai Tuhan, si fulan telah membunuhku dengan sia-sia dan aku dibunuh tidak dengan tujuan yang bermanfaat.”[5] Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: “Jika tiba hari kiamat dan seseorang dari engkau sedang membawa bibit kurma, hendaklah ia (segera) menanamnya.”[6]
Mengenai tata kelola SDA, seorang ulama besar, al-alim allamah Wahbah Al-Zuhaily berpendapat bahwa sumber mineral haruslah dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat dan tidak boleh dimonopoli oleh orang perorang atau dikuasai pihak swasta.[7] Senada dengan apa yang dikatakan oleh Al-Zuhaily, di kalangan madzab Hambali dan Maliki memandang semua ciptaan Allah, berupa tambang, bebatuan, air, rerumputan (pada masa itu air dan padang rumput sangatlah vital untuk pakan ternak) haruslah dimiliki oleh negara.[8] Sedemikian, dalam Islam, jangankan merusak, memakai apa yang dari alam secara berlebihan saja dilarang. Bahkan para Ulama sepakat melarang menggunakan air secara berlebihan walaupun persediaan air dalam kondisi melimpah.[9] Sedemikian, dari sini kita bisa melihat bahwa dalam Islam, alat produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak haruslah dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kemaslahatan rakyat.
Dalam tradisi pesantren juga terdapat kaedah-kedah yang secara jelas menolak perusakan. Diantaranya:
Kaidah: لا ضرار ولا ضرار(Tidak boleh melakukan kemudharatan terhadap diri sendiri dan orang lain)
Kaidah: الضرر يزال بقدر الإمكان(Kemudharatan harus dihilangkan semampunya)
Kaidah: الضرر لا يزال بضرر مثله(Kemudharatan tidak bisa dihilangkan dengan sesuatu yang mendatangkan mudharat yang sama)
Kaidah: يتحمل الضرر الأدنى لدفع الضرر الأعلى(Boleh melakukan mudharat yang lebih ringan untuk mengatasi mudharat yang lebih besar)
Kaedah: يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام(Melakukan mudharat yang khusus demi mencegah mudharat umum)
Kaidah: إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما(Apabila terjadi pertentangan dua hal yang membahayakan, maka boleh melakukan yang lebih ringan bahayanya)
Kaidah: درء المفاسد مقدم على جلب المصالح(Menolak kerusakan lebih diutamakan dari mengharapkan kemaslahatan)
Bagaimana dengan sikap organisasi-organisasi Islam? Di atas kertas, sebenarnya tidak sedikit putusan hukum dari organisasi Islam yang mengecam perusakan lingkungan. Di NU misalnya. Dalam putusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-29 tanggal 4 1994/1 Rajab 1415 H di Cipasung, Tasikmalaya, menetapkan mencemarkan lingkungan, baik udara, air maupun tanah, apabila menimbulkan dlarar, maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat). Demikian juga dalam putusan Bathsul Masail NU pada muktamar 33 di Jombang, telah menetapkan bahwa neoliberalisme hukumnya haram. Namun, sayangnya, putusan-putusan hukum semacam itu belum terbukti efektif karena sifatnya sekadar himbauan moral dan tidak mengikat. Sehingga, perusakan tetap berlanjut dan bahkan tidak sedikit agamawan sendiri terlibat di dalamnya.
***
Sungguh negeri ini seperti telah dikutuk dengan berbagai kontradiksi, anomali dan ironi. Di tengah bisingnya suara promosi dan gegap gempitanya propaganda menjadikan Islam Nusantara sebagai model Islam dunia yang hendak menyelamatkan seluruh jagat raya, anehnya para kiai justru lupa untuk menyelamatkan perusakan Alam oleh korporasi perkebunan dan tambang yang tak hanya mengakibatkan krisis ekologi akut, tapi juga menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran kemanusiaan di mana-mana.
Mereka yang gemar mengatakan Islam “menyelamatkan”, justru tutup mata tutup telinga terhadap berbagai kerusakan lingkungan maupun sosial, seperti ketimpangan ekonomi yang ditimbulkan oleh persekongkolan jahat kapitalisme global dan pejabat publik. Malah, sepertinya, sekarang telah merebak agamawan munafik karena sikap pragmatis dan oportunisnya dalam berpolitik. Diam-diam mereka menjadi bagian dari perusakan lingkungan ini untuk memperkaya diri sendiri. Padahal, sebagaimana kita tahu, ekspolitasi SDA secara besar-besaran di tangan kuasa segelintir borjuasi berakibat fatal bagi keberlanjutan hidup bersama. Tidak hanya manusia tapi juga seluruh jagat raya. Maka dengan ini Allah menghimbau kita:
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikan kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanamannya dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan” (QS. Al-Baqarah 204-205).
Sebagai kaum beragama, tentu kita patut marah dan kecewa dengan kondisi ini. Karena nyaris tak ada satupun statemen resmi dari kelompok agama untuk mengutuk bencana ekologis yang terjadi di hampir tiap jengkal wilayah negeri ini. Bahkan sulit kita temukan seorang agamawan yang berada di barisan depan para pejuang lingkungan melawan berbagai penghancuran dan penguasaan atas SDA di tangan sedikit pemodal.
Dengan demikian, kita menjadi tahu bahwa kebisuan agamawan, khususnya kiai, terhadap berbagai kerusakan dan penghancuran yang terus berjalan, bukanlah dilatari oleh semangat teologis melainkan sikap politik pragmatis dan oportunisnya yang bersembunyi di balik prinsip “moderasi”. Tentu juga dibimbing oleh iman enjoyment dan kalkulasi untung rugi kapitalistik. Bahkan banyak yang sembrono menerima dana-dana yang tidak jelas sumbernya atau dana korporasi perusak lingkungan dan terang-terangan mengatakan dana-dana bantuan siluman tersebut sebagai rizki “min khaitsu la yahtasib”, yang berarti rizki yang tak disangka-sangka datangnya yang diberikan oleh Allah bagi orang yang bertakawa.
Selain sikap pragmatis dan oportunis dalam berpolitik, kepercayaannya pada teori trickle down effect yang berasumsi bahwa eksploitasi Alam oleh korporasi di suatu wilayah akan memberi berkah kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya, juga turut mematikan spirit pembebasan Islam. Kondisi semacam inilah yang membikin pihak korporasi dan pejabat publik—yang hakikatnya pelayan korporasi—dengan mudah membungkam tokoh-tokoh masyarakat, khususnya tokoh agama atau para kiai. Biasanya melalui dana-dana CSR (corporate social responsibility) yang dikucurkan oleh pihak korporasi ke berbagai tokoh, agar mereka berkenan mendukung eksploitasi Alam dengan dalih pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Sampai ada yang dengan enteng dan tanpa malu berseloroh: “Belum beroperasi saja korporasi sudah membawa berkah, bagaiamana kalau sudah beroperasi?”.
Entah sepakat atau tidak. Bahwa sebenarnya semua pembangunan di Indonesia tak lain hanya untuk menumpuk kapital borjuasi, bukan untuk menyejahterakan rakyat.
Apa yang di sejahterahkan jika, dampak lingkungan mengakibatkan penyakit, bencana bahka kematian. PLTU bukanlah bertujuan untuk menyejahterakan Warga Bengkulu, melainkan semata-mata isi emas hitam ini bisa di keruk dari perut bumi dan memiliki kepastian pasar atas nilai kapital, tentunya biaya di keluarkan serendah-rendahnya, serendah mungkin demi kepentingan industri-industri manufaktur mereka. Demikian juga sebenarnya yang terjadi dengan eksploitasi Sumber daya alam di Indonesia. Semua eksploitasi Alam di Indonesia terbukti tidak memberi manfaat pada rakyat Indonesia. Bahkan, gencarnya pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan jalan di sepanjang pesisir Bengkulu, bisa dibaca sebagai jalan untuk memuluskan jalannya eksploitasi ini. sementara jalan-jalan desa hancur tak terurus.
Karena semua persoalan hidup telah diperhitungkan oleh kalkulasi untung rugi, saya khawatir, jangan-jangan kita (kaum beragama), yang konon katanya hamba Allah, sekarang telah bermetamorfosis menjadi hamba korporasi.Naudzubillah mindzalik.*** Baca juga (Antara Jihat dan Jahat )
Di Sari dari berbagai Sumber