Perambahan di pondok tepian hutan |
Sejumlah jurnal menjadi pembanding antara teori dan sintesa sebagai bahan pendukung dan penyangkal dari apa yang saya tulis ini.... sesaat tarikan kretek dan sruputan kopi menjadi kawan dalam mengeja makna tiap jurnal.
Adahal yang menarik tentang tutupan vegetasi yang ternyata sejak jaman belanda sudah di petakan.
Catatan WRI (word resources Institut) bahwa pada tahun 1950, lembaga yang pada waktu itu disebut Dinas Kehutanan Indonesia menerbitkan peta vegetasi untuk negara ini. Dari peta ini disimpulkan bahwa hampir 84 persen luas daratan Indonesia waktu itu tertutup hutan primer dan sekunder serta perkebunan seperti teh, kopi dan karet, menghasilkan peta ini menggabungkan seluruh tipe perkebunan ke dalam kategori "hutan" sehingga rincian luas masing-masing tidak dapat disebutkan secara pasti.
Namun demikian, jelas bahwa pada tahun 1950 luas perkebunan skala besar dan perkebunan skala kecil tidak begitu mempengaruhi hutan. Catatan-catatan jaman penjajahan Belanda dari tahun 1939 menyebutkan bahwa perkebunan skala besar luasnya mencapai sekitar 2,5 juta ha "yang dieksploitasi" dan sebenarnya hanya 1,2 juta ha yang ditanami.
Sektor ini mengalami stagnasi selama tahun 1940- an dan 1950-an, dan luas lahan yang ditanami baru mencapai luas seperti yang ada pada tahun 1939 setelah ditanam ulang pada tahun 1970-an. Luas perkebunan skala kecil hanya mencapai 4,6 juta ha pada tahun 1969, dan sebagian besar dari luas kawasan ini ditanami pada tahun 1950-an dan 1960-an (Booth, 1988). Hutan jati di Jawa luasnya mencapai 824.000 ha pada tahun 1950 (Peluso, 1992: Lampiran C). Penyebab utama pembukaan hutan yang terjadi sampai tahun 1950 adalah untuk kepentingan pertanian, terutama untuk budidaya padi.
Masuk akal jika disimpulkan bahwa luas hutan tanaman dan perkebunan tidak lebih dari 4 juta ha pada tahun 1950, dan sisanya sekitar 145 juta ha berupa hutan primer dan 14 juta ha lainnya adalah hutan sekunder dan hutan pantai yang dipengaruhi pasang surut.
Pada periode 2000 – 2012, sebuah studi melaporkan bahwa Indonesia telah kehilangan 6,02 juta hektar hutan primernya, dengan rata-rata pertambahan kehilangan 47,6 ribu hektar pertahun. Bahkan pada tahun 2012 diperkirakan Indonesia telah kehilangan 0,84 juta hektar hutan primer.
Berdasarkan hasil citra yang diinterpretasikan oleh para ahli, kehilangan hutan primer di sumatera meningkat karena terjadinya konversi dari kawasan hutan menjadi peruntukan lain, yaitu peruntukan perkebunan dan hutan tanaman industri.
Ketika saya mencoba melakukan analisa citra NVDI (Normalized Difference Vegetation Index) dari citra tahun 1995 dengan di bandingkan citra tahun 2010 dan membandingkan kembali citra satelit tahun 2016, pernyataan di atas benar bahwa kawasan hutan, tidak saja hutan lindung hutan konservasipun beralih fungsi menjadi ladang-ladang kopi, kebun-kebun masyarakat, sebagian kecil yang sedikit heran menjadi kebun teh yang jelas masuk tapal batas kawasan.
Analisa NVDI dari Citra satelit adalah cara cepat dan mudah serta akurat dalam mendeteksi perubahan penggunaan lahan, beberapa tutupan hutan memang ada yang berubah secara alamiah karena longsor, namun beberapa tampak jelas wajah Bopeng alias kotak-kotak kapling yang teridentivikasi tanaman perkebunan kopi.
Membaca copy hasil penyelidikan polres Kepahiang, bahwa ada 9 petani perambah telah di tetapkan sebagai tersangka perambah hutan yang membuka kawasan konservasi menjadi kebun kopi. Dari titik koordinak yang disebut sang Brida penyidik, begitu di cocokan dengan peta analisa NVDI, tak menjadi ragu bahwa kawasan konservasi itu telah beralih fungsi menjadi kebun kopi.
Seseorang toke kopi di kota kepahiang mengatakan bahwa perambahan sudah berlangsung sejak lama, karena si "toke" sendiri mengaku "sudah membeli kopi hasil perembahan hutan sejak 2013 lalu". Pengakuan toke yang juga menjadi tersangka sudah cukup jelas, bahwa bukan soal perambahan hutan TWA, namun ini soal EKONOMI, negara harusnya hadir menjawab masalah ini tegas si Penyidik.
AHH, sayapun berpikir ini soal perut, namun malaikat juga berkata ini soal hajat hidup orang banyak, jika hutan terus di rambah, daya dukung ekosistem tidak mampu menopang, maka bencana akan datang....
Terhenyak, sejenak dalam setumpuk ketik-kan ada keraguan saat menyeruput kopi pagi ini......apakah bubuk-bubuk kopi yang dikemas apik ini termasuk hasil perambahan, ada keraguan dalam bayang kecintaan terhadap pahitnya kopi ini dengan kenyataan yang ada. sepertinya Kemenrindag juga selain menulis label haram juga perlu label bukan hasil dari perambahan hutan.