Tuesday, August 23, 2016

Konservasi Atas Nama Pelestarian Adat Penyu Sajian Ritual Adat Suku Enggano






RMOL. Ya’uwaika!!!. Demikianlah sapaan khas masyarakat Enggano yang tinggal di Pulau Enggano, yang artinya "selamat lah kita semua". Kata ini harus diucapkan penduduk Enggano saat bertemu satu sama lain.

Ya’uwaika!!!,  teriak Pa'buki, sebutan ketua lembaga adat di Pulau Enggano, dan warga menjawab dengan lantang Ya’uwaika !!!, begitulah awal sambutan Ketua Lembaga adat, Harun Kaarubi di malam seni budaya dalam rangka HUT NKRI ke 71 di Pulau Enggano yang dihadiri Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan Bupati Bengkulu Utara beserta jajarannya, Selasa malam (16/8/2016) lalu.

Pulau Enggano merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu yang letaknya di Samudera Hindia bagian barat dari pulau Sumatera sekitar 156 km. Dari ibu Kota Provinsi Bengkulu menuju Pulau Enggano dengan menggunakan transportasi laut baik Ferry maupun kapal Perintis bisa ditempuh kurang lebih selama 12 jam.

Hasil penelusuran RMOL Bengkulu ditulis oleh Pieters J Ter Keurs dari Museum Nasional Ethnologi Belanda. Bahwa Suku di Pulau Enggano pertama kali dilihat oleh awak kapal Portugis pada awal tahun 1500-an, saat itu kapal Portugis mendarat di Pulau Enggano. Setelah itu pelaut terkenal Charles de Houtman dari Kerajaan Belanda, dalam melakukan ekspedisi perintis ke Nusantara, menemukan Pulau Enggano pada 5 Juni 1596.

Keberadaan Pulau Enggano yang langsung berhadapan dengan Samudra Hindia, menjadikan pulau ini jauh dari sentuhan pembangunan sebelum terjadinya reformasi 1998. Penduduk asli Pulau Enggano adalah Suku Enggano, yang terbagi menjadi lima sub suku dan semuanya berkomunikasi dengan bahasa Enggano. Ke lima suku itu yaitu Kaitora, Kauno, Kaharuba, Kaahua, dan Kaarubi, sedangkan untuk para pendatang di berikan gelar suku yaitu kamay. Masing-masing suku dipimpin oleh ketua suku dan kemudian membentuk lembaga adat dengan nama Kaha Yamu’y’. Untuk berjalannya lembaga ini, dipilihlah seorang ketua yang disebut dengan Pa’buki.

Saat ditemui oleh RMOL Bengkulu, Pa'buki sedang mempersiapkan prosesi tari semut yang merupakan ritual adat untuk menyambut tamu yang hadir pada malam seni budaya masyarakat Enggano dalam menyambut HUT Kemerdekaan RI ke 71 yang dipusatkan di halaman kantor Camat Enggano.

Tampak para kepala suku lainnya duduk di barisan tengah menggunakan pakaian batik dengan ikat kepala berwana putih, dan sebagian besar para pemuda dan pemudi menggunakan ikat kepala yang terbuat dari daun lontar, beberapa wanita dan pria menggunakan pakaian dari daun-daun yang menjadikan ciri khas masyarakat Adat Enggano. Sebagai Pulau terluar, Enggano memiliki adat istiadat yang kuat dalam kehidupan sehari-hari, bahkan adat dan kebiasaan masyarakat Enggano begitu kuat dipegang hingga kini.

Salah satunya adalah pemanfaatan Penyu sebagai kebutuhan ritual adat, seperti menyambut tamu besar, membuka pantang kepala suku yang meninggal, mengangkat kepala suku baru, pemindahan kampung, dan peresmian kampung yang baru dan pernikahan. Penyu dijadikan sesaji ritual adat oleh masyarakat Enggano sampai saat ini guna untuk menjaga titipan para leluhur (tradisi).

"Saat ada ritual adat, masyarakat Enggano harus mengadakan sesajian makanan, seperti yang tersajikan di meja tamu ini," terang Pa'buki.

Dalam sorotan kamera awak media terlihat aneka ragam makanan tradisional yang terbungkus daun pisang, seperti ubi talas, keladi, ikan bakar, kelapa muda dan Penyu. Terlihat di sudut-sudut meja tampak 2 ekor Penyu yang diasap sebagai hidangan jamuan untuk tamu dan warga Enggano.

Dilangsir dari penelitian Mahasiswa Universitas Bengkulu, mengenai studi pemanfaatan Penyu di Pulau Enggano,  Andri Rahmat menyebutkan, bahwa dalam ritual adat di Pulau Enggano Penyu dijadikan sebagai bahan konsumsi bagi masyarakat setempat pada saat mengadakan pesta pernikahan. Selanjutnya Andri menyebutkan bahwa jumlah Penyu yang ditangkap tidak ada batasnya tergantung berapa yang mereka dapat dari perburuan di laut.

Pa'buki Harun Karubi yang diwawancarai Jurnalis RMOL Bengkulu menyatakan, secara adat warga Enggano telah melakukan upaya konservasi dalam pemanfaatan Penyu untuk ritual adat dengan membatasi jumlah dan ukuran penyu yang ditangkap. Untuk jumlah penyu yang diperbolehkan maksimal 5 ekor dengan ukuran panjang karavas 60 cm dan apabila menangkap diluar kebutuhan adat serta lebih dari ketentuan yang ditetapkan maka akan dikenakan sanksi uang sebesar Rp 25.000.000.00 dan wajib untuk melepaskannya kembali kelaut.

Berdasarkan hasil peneltian Andri Rahmat, bahwa perlindungan Penyu yang ada di Pulau Enggano belum terealisasi dengan baik, dan disebutkan dalam hasil penelitiannya pada acara pernikahan di desa Ka'ana (8/5/2016), bahwa penyu yang ditangkap untuk acara pernikahan tidak sesuai dengan acuan yang tercantum di Peraturan Adat, dimana Penyu yang ditangkap saat itu mencapai 24 ekor. Bagi sebagian warga mengatakan semakin banyak Penyu yang didapat maka semakin baik karena mengurangi biaya pengeluaran konsumsi daging.

Andri menjelaskan, Penyu sering ditangkap pada saat nelayan melakukan aktivitas perikanan dilautan guna untuk dijadikan konsumsi dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Konservasi dan Hukum Adat

"Dulu kami tidak tahu bahwa ada undang-undangnya yang mengaturnya, dan ini sudah tradisi nenek moyang yang hanya dilakukan di Enggano. Kami mempelajari adat tersebut dan mungkin inilah salah satu alasan pemerintah memperbolehkan kami. Setelah ada undang-undang tersebut kami patuhi dan tidak harus ada katungnya (Penyu), tapi alangkah lebih baik memakai katung, jelas Pa'buki kepada RMOL Bengkulu belum lama ini.

Kepala Balai KSDA Bengkulu saat ditemui oleh RMOL Bengkulu di lokasi kegiatan malam seni budaya di halaman Kantor Camat PUlau Enggano, enggan memberikan keterangan. "Nanti kita diskusi di Kantor Balai saja," ujar Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam Bengkulu Abu Bakar.

Pada kesempatan lain Kepala KSDA memberikan keterangan melalui Kepala seksi wilayah satu yang melingkup kawasan Konservasi di Pulau Enggano, Jaja Mulyana mengatakan bahwa, ini adalah tradisi dan budaya, namun dalam pemanfaatan sumber daya Penyu banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan dengan tidak memperhatikan asas pelestarian lingkungan hidup dan keberlanjutan sumber daya tersebut. Hingga saat ini pemanfaatan Penyu masih belum mengikuti cara-cara yang baik dan benar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara tingkat pemanfaatan dengan tingkat pertambahan populasi. Eksploitasi yang berlebihan tanpa menghiraukan pelestariannya, menyebabkan status populasi di alam yang sudah langka itu semakin terancam punah.

Kepala Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kepolisian Kehutanan KSDA Bengkulu Sigit Pribadi menjelaskan, pemanfaatan penyu dilarang secara Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, tentang konservasi sumberda alam dan ekosistemnya, yang mana disebutkan dalam Pasal 21, bahwa barang siapa menangkap,
melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa liar yang dilindungi dalam keadaan hidup dan mati dapat dikenakan sanksi pidana berupa hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Namun pemanfaatan untuk adat tidak menutup kemungkinan dapat dilakukan, karena di atur dalam dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994, tentang Perburuan Satwa Buru, dalam pasal 14 diatur bahwa pemburu tradisional dapat dilakukan oleh masyarakat yang berdomisili dalam wilayah tempat berburu, hasil buruan digunakan untuk keperluan adat.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 18B ayat 2, Negara menegaskaan pengakuan dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

"Untuk itu Kami perlu kerja keras untuk melakukan upaya sosialisasi aturan ini ke pada masyarakat Enggano, namun alangkah lebih baiknya jika aturan adat itu di Perda-kan sehingga kekuatan hukumnya jelas, dan ada batasannya dalam memanfaatkan Penyu, dan pelaku yang melanggar adat dapat dikenakan sanksi hukum adat maupun hukum pidana sesuai undang-undang yang berlaku," tegas Sigit Primbadi saat di hubungi via telpon kepada RMOL Bengkulu.

Jaja Mulyana menambahkan, bahwa pada malam acara adat tersebut KSDA telah rembuk dengan tokoh adat, Camat Enggano, kedepan ritual adat seperti ini masih boleh dilakukan sebagai syarat namun untuk kebutuhan daging ini jelas tidak boleh. Oleh karena itu, KSDA dan tokoh adat akan melakukan sosialisasi atas aturan hukum dan kesepakatan mengenai pemanfaatan Penyu dalam ritual adat yang nantinya dapat di tuangkan dalam produk hukum seperti Perda.

"Untuk itu kami perlu dukungan pihak pemerintah daerah, LSM, tokoh-tokoh adat melakukan kajian bersama-sama mengenai pemanfaatan Penyu atas nama adat di Enggano ini. Diharapkan nantinya tidak mengalami kepunahan di alam dan pelestarian adat secara turun temurun juga dapat dilakukan kedepanya," terang Jaja Mulyana.

Sementara itu, pakar hukum adat dari Universitas Bengkulu Andri Harijanto mengatakan, praktek eksploitasi sumber daya alam yang telah dan masih terjadi di Pulau Enggano harus segera dihentikan. Bila tidak, penghancuran yang terjadi. Untuk menyelamatkan Pulau Enggano dari kerusakan lingkungan, pengelolaan sumber daya alam berdasarkan hukum adat adalah jawabannya.

Menurut Andri, pengelolaan sumberdaya alam yang mempedomani hukum adat akan berdampak positif untuk menekan laju kerusakan lingkungan di Enggano, yang merupakan ekosistem pulau yang tergolong rentan. Jika masyarakat adat memperoleh pengakuan atas hak dan wilayah adatnya, maka adanya masyarakat adat, adanya wilayah adat, adanya harta kekayaan bersama milik masyarakat adat, adanya hukum adat, dan adanya struktur atau fungisonaris hukum adat, yang semuanya sudah dimiliki oleh masyarakat adat Enggano. Sehingga, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah enggan mendukung perjuangan masyarakat adat Pulau Enggano.

Dirjen PRL Kementerian Kelautan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi menjelaskan kepadaRMOL Bengkulu, bahwa upaya konservasi Penyu harus terus dilakukan agar tidak terjadi kepunahan. Pemanfaatan adat juga harus diatur agar pelestarian adat di Pulau Enggano tidak punah.

"Saat disajikan, saya tidak memakannya namun selama pemanfaatan diatur oleh adat tidak masalah, hanya saja memang perlu di pertegas aturan adat itu menjadi produk hukum yang baku, sehingga ketika di manfaatkan tidak sesuai keperluan adat dapat di kenakan sanksi adat yang hukumannya seperti hukum pidana yang berlaku dalam undang-undang yang mengatur perlindungan Penyu," terang Brahmantya Satyamurti Poerwadi di Home Stay yang berada dekat pelabuhan Malakoni, Pulau Enggano.

Ritual Adat Sesaji Penyu

Dalam ritual adat dilakukan tari semut sebagai tarian untuk menyambut tamu, dimana tarian ini dilakukan secara massal oleh pemuda dan pemudi dengan jumlah sekitar 70 orang peserta tari. Dalam tarian ini dipimpin kepala suku sebagai ketua rombongan, yang dicirikan memegang tongkat dan berada dalam barisan paling depan, para penari mengeliling panggung sambil menyayikan sair-sair yang menyerupai mantra-mantra.

Setelah Pabuki memberikan korek api kepada Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan Bupati Bengkulu Utara Mian, maka iringan tari semut berhenti. Selanjutnya Pabuki membuka ritual gelar sesaji membagikan makanan yang tersaji di meja undangan. Pada kesempatan  itu,Pabuki memulai membelah Penyu yang diasap dan membagi-bagi kepada para tamu undangan.

Disisi lain, Diungkapkan Ketua Lembaga Adat Enggano, Harun Kaarubi, bahwa pihaknya sudah mengajukan draft hukum adat Enggano kepada DPRD tingkat I maupun tingkat II agar segera diperdakan sejak tahun 2015, namun belum mendapat tanggapan.

"Kalau hukum adat itu tidak diakui, bagaimana wilayah hutan kami bisa dijaga. Hukum adat kami ini kuat, dan kami bisa namun hanya berlaku bagi penduduk lokal saja. Karena itu, kita minta kepada semua pihak agar pengajuan hukum adat tersebut bisa dikawal," ungkap Ketua Lembaga adat Pulau Enggano Harun Kaarubi.

"Kita mendukung keinginan pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan di Pulau Enggano, namun kami mengharapkan agar hukum adat yang berlaku di Pulau Enggano yang sudah diajukan ke DPRD Kabupaten Bengkulu Utara (BU), bisa diperdakan segera mungkin sebelum Visit Bengkulu 2020," tegasnya. [Rizky. T]
Lentera Merah My web Lenteramerah https://pojoklenteramerah.blogspot.co.id/