Menu sup teri | terjebak dalam kabut dan derasnya hujan di tengah belantara bukit barisan | MountPatah 2015, D-4
Ini sepenggal catatan perjalanan yang saya tulis dalam notes HP, sedikit ketawa ketika membaca dan mempostingnya.
Malam ini adalah malam ke sekian kalinya kami terpaksa membuat bivac darurat karena tiba-tiba di hantam hujan yang sungguh membuat beku urat urat nadi di ujung ruas jari.
Jam tangan masih menunjukan pukul 13.20, pergerakan gunung hutan masih tersisa kurang lebih 3,5 jam untuk mencapai target koordinat harian, tapi sepertinya bukit inilah yang menjadi lokasi camp bermalam dalam benakku, sedikit melongok keluar bivac tampak di bawah bukit ini jurang yang dalam dan aliran sungai di seberang dan sisi kiri bivac, deras berwarna coklat
kehitaman.
Vegetasi penutup masih sangat lebat, pohon pohon masih berdiameter 3 kali pelukan orang dewasa, menandakan bahwa perjalanan hari 4 ini tim masih berada di punggungan yang di apit sungai cawang kidau (kiri) dan cawang keruh, prediksiku jika sudah melintas sungai cawang kiri dan menaiki punggungan itu ketinggian mencapai 2000 mdpl dan masuk ke vegetasi hutan lumut.
Gps menunjukan bukit ini berketinggian 1850 mdpl inilah camp kami beristirahat sejenak setelah makan siang, dan menghirup kopi sambil menunggu hujan mereda.
Tak lama usai kami makan hujanpun reda dan segera mungkin membongkar bivac darurat, perjalanan diteruskan dengan menuruni jurang dan menyeberang sungai yang tampak dari atas bukit tadi, tak dalam hanya sepinggang tapi batuan batuan vulkanik ini sungguh licin.
Dalam peta koordinat menyebutkan ini adalah aliran sungai cawang keruh. Setelah menyerang sungai dan menaiki bukit kemudian menemukan anak sungai kembali yang warnanya hitam pekat.
Dagdigdug insting liarku memberikan tanda tempat ini sedikit misterius, saat kaki memulai langkah sambil menebaskan parang, ternyata areal ini adalah hutan rawa, kakiku terjebak lumpur setinggi lutut, penasaran kubuka peta kontur dan peta digital, karena seting areal jalur tak ada tanda tanda melewati jalur rawa.
Dalam peta tak menyebutkan areal ini merupakan rawa, pikiran positif ku mengatakan inilah hutan hujan basah dan memang benar benar basah, baru 20 menit kami bergerak menerabas ranting dan onak duri, guyuran hujan tiba tiba kembali membasahi tubuh kami.
Aku bakar rokok jarum merah terakhir yang mati, berlindung dengan ponco sambil diskusi dengan tim, " boy balik arah, ke camp bivak lagi," yang belakang ambil alih RPJ ujarku"
Bergegas kami menyeberang sungai, karena ternyata di hulu telah hujan lebat, sungai sepertinya meluap, webbing dari masing masing ransel keluar membuat simpul untuk penyeberangan basah, tak lagi sepinggang tapi se dada, dingin dan sangat dingin menggigil ketika berhasil menyeberangi sungai.
Danlog (komandan logistik) mengatur menu makan malam, padahal masih menunjukan pukul 15.30, tapi guyuran hujan dan rendaman air sungai tadi membuat perut kami lapar.
Terlelap kami masing masing selepas magrib, tersadar guyuran hujan semakin deras, terdengar samar samar suara deru pesawat di atas tenda kami keyakinanku menunjukan sekitar jam 8 malam, mulai satu persatu rangtang dan alat masak kembali berbunyi, menjadi kebiasaan sajian menu penghangat tubuh di malam hari, danlog akan selalu meracik ramuan penghangat jiwa, bawang merah, bawang putih, di campur ikan teri, lalu di tambah sayuran hutan, umbut rotan dan jantung pisang hutan, sedikit garam dan bumbu instan.
Sebuah kenikmatan dalam kehangatan dan dahaga di tengah rimba belantara yang berkabut. Di tengah deru rintik hujan yang deras, hirupan rasa kuah ini menjadi penutup malam malam kami selama 10 hari, dan tiap malam racikan ini selalu menjadi teman kami penghantar tidur malam.