Di bawah ini ada 3 buah artikel tentang Halmahera utara khususnya mengenai MOROTAI sebuah Kabupaten di ujung pulau HALMAHERA yang ternyata telah terkenal sejak perang pasific namun saat ini tertinggal bahkan dilupakan sebagai teroterial terpenting dalam pertahanan NKRI.
Pulau yang sempat menjadi rebutan untuk pangkalan pasukan jepang dan AS masih dapat kita saksikan puing-puing nilai historis, baik bangkai-bangkai besi tua senjata pembunuh maupun pangkalan udara yang kabarnya dapat mendaratkan 7 pesawat jenis hercules secara serempak.

A map of Morotai island showing the movements of Allied and Japanese forces during the battle which was fought on the island in September 1944  
DALAM strategi perang setiap negara 
memiliki ciri khas sendiri, BELANDA dengan pasukan daratnya dengan 
sekejap menyerah oleh bala pasukan angkatan laut jepang ditahun 40an, US
 yang memiliki pasukan darat dan laut cukup hebat saat perang dunia ke 
dua sempat tahluk oleh pasukan udara jepang dengan di bomnya pearl harbor 
Peran
 pulau morotai menjadi lapangan terbang bagi Jepang selama PD II. Pulau 
ini diambil alih oleh angkatan Amerika Serikat pada September 1944, dan 
digunakan sebagai landasan serangan Sekutu ke Filipina pada awal 1945, 
dan ke Borneo timur pada Mei dan Juni tahun itu. Merupakan basis untuk 
serangan ke Jawa pada Oktober 1945 yang ditunda setelah penyerahan diri 
Jepang pada bulan Agustus.
NAH
 SAAT INI seperti apakah INDONESIA? (KEKUATAN TNI) dalam mengamankan 
NKRI ternyata ya hanya kekuatan AD saja yang sangat besar di NKRI sama 
halnya BELANDA saat menjajah Indonesia, bagaimana dengan AL dan AUnya? 
tidak menjadi prioritas mungkin saja atau memang ya begitulah ! bebrapa 
informasi bahwasannya TNI AL pernah memiliki kapal penjelajah canggih 
yang bernama KRI IRIAN
 kapal ini dapat Kapal ini dapat memuat 1.270 awak kapal, termasuk 60 
orang perwira, 75 perwira pengawas, 154 perwira pertama. dalam penugasan
 kehadiran kapal ini membuat AL Belanda secara drastis mengurangi 
kehadirannya di perairan Irian Barat.

KRI-Irian (Battleship Cruiser) (ALRI) 
sayangnya
 kapal yang di produksi oleh rusia dan diluncurkan tahun 1950ini dibeli 
TNI AL pada tahun 1962. Setelah perbaikan selesai pada Agustus 1964 
kapal menuju Surabaya dengan dikawal Destroyer AL Soviet. Setahun 
kemudian (1965) terjadi pergantian pemerintahan. Kekuasaan pemerintah 
praktis berada di tangan Soeharto. Perhatian Soeharto terhadap ALRI 
sangat berbeda dibandingkan Sukarno. Kapal ini dibiarkan terbengkelai di
 Surabaya, bahkan terkadang digunakan sebagai penjara bagi lawan politik
 Soeharto.
Mungkin saja saat ini strategi perang yang di bangun 
suharto adalah menjegal lawan politiknya dengan menguatkan TNI AD sama 
halnya dengan BELANDA menguatkan angkatan daratnya untuk melawan pejuang
 indonesia maka akhirnya kapal induk KRI irian ini dipensiunkan. 

KRI Irian Firing Howitzer 
Terdapat beberapa versi tentang riwayat KRI Irian setelah peristiwa G30S.
Versi
 pertama menyebutkan bahwa pada tahun 1970, KRI Irian sudah sedemikian 
parah terbengkalai hingga mulai terisi air. Tidak ada orang yang peduli 
untuk menyelamatkan Kapal Penjelajah ini. Sehingga pada masa Laksamana 
Sudomo menjabat sebagai KSAL maka KRI Irian dibesituakan (scrap) di 
Taiwan pada tahun 1972 dengan alasan kekurangan komponen suku cadang 
kronis.[4]
Versi kedua, menurut Hendro Subroto, kapal perang yang
 dibuat hanya empat buah ini di jual ke Jepang setelah persenjataannya 
dipreteli. "Padahal di Tanjung Priok masih terdapat dua gudang suku 
cadang. Tapi karena perawatan sebelumnya di tangani orang Rusia, selepas
 Gestapu, kita tidak punya teknisi lagi," menurut Hendro.
LALU 
PENTINGKAH TNI menguatkan AL di pulau-pulau terluar Indonesia seperti 
Morotai ? kayaknya Gak penting deh! cukup angkatan darat aja.....Namun 
saya teringat dengan kutipan kata-kata om Agus wirahadikusuma, LETDJEN yang di gosipkan meninggal karena di bunuh " 
"Pemekaran
 kodam itu, kan, konsep Angkatan Darat dulu, sebelum krisis. Dulu pun 
sebenarnya sudah mulai diantisipasi. Saya termasuk yang menolaknya. 
Segala sesuatu itu harus disesuaikan dengan perkembangan. "
kodam
 harus segera diciutkan dan ini tergantung kondisi sosial masyarakat 
sendiri. Begitu mulai bisa dilepas, ya, tinggalkan. Dilakukan bertahap. 
Katakanlah pada level bintara pembina desa dulu. Tarik mereka ke 
koramil. Tolong, dipahami, ditarik, bukan dihapus atau dipecat. Kemudian
 dilihat lagi, masih perlu koramil atau tidak. Kalau masyarakat makin 
maju, polisinya bagus, ya, sudah, hapus koramil. Tarik orang-orangnya ke
 kodim. Begitu seterusnya,yang perlu sekarang diperbanyak POLISI di 
tingkat daerah serta dan perbanyak LANAL (pangkalan Angkatan Laut) AD 
cukup dipusatkan di daerah-daerah tertentu. nah gara-gara konsep om agus
 ini dan membongkar skandal korups kostrad gate eh dia dilengser 
jadinya.
Nah silahkan Membaca artikel ini.
HILANGNYA JEJAK MACARTHUR DI KESUNYIAN MOROTAI
(05-11-2006)   Administrator
Penulis: Subhan SD (Kompas, 8 Oktober 2006)
Terletak
 jauh di bibir Pasifik, Pulau Morotai seperti terlupakan. Padahal, 
Jenderal Douglas MacArthur menyulap pulau itu sebagai pusat komando 
dalam Perang Dunia II. Sayang, jejak-jejak sejarah itu sebagian besar 
hilang akibat ulah manusia. 
Terdorong latar sejarah pulau yang 
pernah diduduki pasukan Jepang dan AS (Sekutu) itu, pagi-pagi sekali, 
akhir Agustus lalu, saya sudah berada di dermaga di Pantai Swering, 
Ternate, untuk melakukan perjalanan ke pulau terujung di Provinsi Maluku
 Utara itu. Dari Ternate, kira-kira lebih dari setengah jam speedboat 
membelah ombak menuju Sidangoli di Halmahera Barat, meninggalkan 
gunung-gunung di Pulau Ternate, Hiri, Maitara, Tidore. 
Dari 
Sidangoli, perjalanan darat sejauh 213 km dilanjutkan ke Tobelo, ibu 
kota Halmahera Utara. Perjalanan darat itu berkelok-kelok melewati kebun
 kelapa di sepanjang pesisir Teluk Kao. Di teluk yang pernah dijadikan 
basis pertahanan Jepang itu masih tersisa rongsokan kapal perang di 
laut. 
Saya sempat berdiskusi mengenai bangkai kapal itu dengan 
Mayor (Inf) M Susilo, Wakil Komandan Satgas Kompi C Batalyon Infanteri 
310/Kidang Kencana Sukabumi, teman seperjalanan bersama dua tentara 
lainnya, Serda Ircham dan Prada Wawan. Sementara di Malifut masih 
terlihat sisa beberapa rumah warga yang terbakar saat terjadi konflik 
tujuh tahun silam. "Perjalanan kita masih panjang," ujar Mayor Susilo 
yang saya tafsir juga sebagai kiasan sejarah perjalanan bangsa ini. 
Dari
 Tobelo, sekitar dua jam speedboat ukuran 2 x 9 meter membelah Selat 
Morotai. Saya memilih duduk di atas atap, menemani motoris Taher 
Marsaoli yang sore itu memberikan kemudi kepada asistennya. "Cuaca 
sedang bagus. Kalau lagi buruk, ombak minimal setinggi 2 meter," cerita 
Taher. Saya ukur tinggi atap speedboat dari permukaan laut hanya 
kira-kira 1,2 meter. 
Berdiri di atap speedboat membuat mata 
dengan leluasa menyapu perairan Selat Morotai. Beberapa kali kawanan 
lumba-lumba berpacu dengan speedboat. Burung-burung laut beterbangan dan
 menyelam ke laut, pertanda ada kumpulan ikan seperti cakalang atau 
tongkol. Beberapa kali ikan terbang melayang di permukaan laut, bak 
pesawat mencari landasan. 
Perburuan besi tua 

peninggalan penjajahan 
Setelah
 lebih satu jam perjalanan, satu per satu pulau-pulau di sekitar Morotai
 terlihat. Pulau Sumsum dulu dikenal sebagai tempat tinggal MacArthur. 
Di pulau itu ada goa yang disebut tempat berlindung jenderal bintang 
lima itu. 
Tak jauh dari pulau itu, tampak dua Pulau Dodola yang 
tersambung dengan hamparan pasir putih. Bila air surut, dari Dodola 
Besar menuju Dodola Kecil bisa berjalan kaki di hamparan pasir putih 
itu. Tetapi, bila air pasang hamparan pasir itu lenyap ditelan laut. 
Jadi, bila ingin menyeberang harus menggunakan perahu. Menurut kisah 
penduduk, di pasir putih itulah MacArthur kerap berjemur. 
Semasa
 PD II, posisi geopolitik Morotai sangat strategis. Setelah dipukul 
mundur oleh tentara Jepang dari Filipina hingga terus menyingkir ke 
Australia (1942), Panglima Divisi VII AS Jenderal Douglas MacArthur 
menjadikan Morotai bagian dari janjinya, "I shall return". Bagaikan 
katak melompat, dia merebut kembali wilayah yang pernah direnggut Jepang
 itu. Dari Morotai, MacArthur merebut Filipina dan kemudian menembus 
jantung pertahanan Jepang di Iwojima dan Okinawa. 
Ketika itu, 
tujuh lapangan terbang dibangun di Morotai, dua di antaranya berupa 
airstrip. Panjang landasan itu sekitar 3.000 meter dan lebar 40 meter. 
"Siang malam pasukan AS dan penduduk membangun lapangan itu," kenang H 
Imam Lastory (82), tokoh masyarakat yang juga saksi sejarah yang sering 
melihat MacArthur memimpin pasukannya di pulau itu. Kini cuma dua 
landasan yang difungsikan. 
Sekutu juga membangun pelabuhan 
militer di Tanjung Dahegila sehingga kapal-kapal perang bisa merapat. 
Terbayang Morotai yang jauh dari hiruk-pikuk, saat itu justru menjadi 
"kota" yang ramai. Menurut informasi, 63 batalyon tentara Sekutu 
bermarkas di pulau itu pada bulan September 1944 hingga awal 1945. 
Itu
 dulu. Morotai hari ini ibarat lukisan yang merana. Jalan-jalan terlihat
 lengang karena kendaraan mungkin bisa dihitung dengan jari. Sebagian 
jalan berupa tanah hanya sejauh 50 km yang beraspal. 
Di kota 
teramai, Daruba, listrik menyala hanya 18 jam sehari. Runyamnya, 
peninggalan sejarah nyaris tak bersisa. Kapal perang, mobil jip, panser,
 tank, senjata, dan tiang-tiang dermaga menjadi besi tua yang menjadi 
obyek penjarahan. Di Morotai, berburu besi tua menjadi pekerjaan banyak 
orang, termasuk orang luar. 
Menurut Camat Morotai Selatan Lukman
 SY Badjak, penjarahan besi-besi itu terjadi sejak tahun 1980-an ketika 
sebuah pabrik baja di Jawa membutuhkan bahan baku besi. Inilah 
runyamnya, benda-benda bernilai sejarah pun dipreteli dan diangkuti. 
Kalau
 pemerintah daerah sekarang giat menawarkan wisata sejarah itu, apa lagi
 yang bisa dilihat bila banyak benda bersejarah dijual kiloan? 
Paling-paling yang tersisa kapal perang atau pesawat yang tenggelam di 
dasar laut yang mungkin jadi obyek menyelam. 
Pertahanan perbatasan? 
Beda
 dengan Sekutu yang menyadari pentingnya geopolitik Motorai, kini pulau 
seluas 2.476 km persegi itu nyaris tak terurus. Lanud Morotai yang 
didukung 80-an personel saja, kata Komandan Lanud Morotai Mayor (PSK) M 
Silaban, berkategori tipe D. Artinya, tidak ada pesawat dan tidak ada 
radar. Hanya disiapkan untuk operasi. Jadi, sudah pasti pesawat asing 
tak terpantau. 
Sebagai kawasan perbatasan, pertahanan Morotai 
sangat rapuh. Dari lima kecamatan, hanya dua kecamatan yang ada markas 
koramil dan polsek, yaitu di Daruba (Morotai Selatan) dan Berebere 
(Morotai Utara). Jumlah anggota koramil di dua lokasi itu hanya 25 
personel, sementara polisi di dua polsek juga cuma belasan personel. 
Masih untung, karena menurut Kepala Staf Korem 152/Babullah Ternate 
Letkol (Inf) Yudi Zanibar, di Morotai ada tiga pos Satgas Kompi C Yonif 
310/KK, yakni di Daruba (22 personel), Satuan Permukiman 1 (21), dan 
Sabatai Baru (20). 
Dengan kekuatan seperti itu, sudah pasti 
mereka tak mampu memantau sampai wilayah utara pulau. Di Sopi, ibu kota 
Kecamatan Morotai Jaya, penduduk setempat lebih banyak bergaul dengan 
warga Filipina karena komunikasi dengan wilayah selatan boleh dikata 
terputus. 
Tak ada jalan darat. Hanya lewat laut dan paling cepat
 ditempuh enam jam. Kalau ombak ganas, tidak ada yang berani melayari 
bibir Samudra Pasifik itu. Dalam satu pulau saja sulit melakukan kontak,
 apalagi dengan pusat kekuasaan di Jakarta. Saat kembali, dari buritan 
speedboat tampak Morotai seakan tenggelam dalam kesunyian di tepi 
Pasifik
TANK AMPHIBI SEKUTU MASIH TERPARKIR
(10-10-2007)  Administrator
Penulis: Arwan Tuti Artha
Pulau
 Dodola adalah salah satu obyak wisata di Kabupaten Halmahera Utara yang
 menarik. Pulau ini terdiri dari dua daratan yang dihubungkan dan 
dikelilingi hamparan pasir putih. Ketika air laut pasang, Pulau Dodola 
terbagi menjadi dua, yaitu Dodola Kecil dan Dodola Besar.
Ketika 
air laut surut, pasir putih yang ada menjadi jembatan yang indah yang 
membelah dua perairan. Pasir putih di pulau ini memiliki keunikan yaitu 
pasir putih yang halus pada bibir pantai yang menghadap ke Pulau Morotai
 dan pasir putih yang kasar pada bibir pantai yang menghadap ke Pulau 
Halmahera.
"Itu terjadi karena adanya perbedaan arus," kata 
Kurnia Hardjanto, SSi, SPi Bersama rekannya, Wijaya Ladampa, SHut, serta
 Destha dari Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM, ia melakukan 
penelitian potensi pariwisata di sana.
Pulau Dodola juga 
menyimpan sejarah masa perang kemerdekaan. Sebab, seperti dituturkan 
pemandu setempat, di pulau ini Douglas McArthur pernah berekreasi. 
Douglas McArthur dikenal sebagia jenderal sekutu pada masa perang dunia 
kedua.
Dari Pulau Dodola ada baiknya terus ke Pulau Morotai. 
Dalam perjalanan menuju ke Morotai, banyak pulau dilewati. Misalnya 
Pulau Sumsum, yang tergolong pulau kecil tapi memiliki panorama alam 
pantai pasir putih berkerikil dan nilai historis yang tinggi. Pada masa 
perang kemerdekaan, Pulau Sumsum digunakan sebagai tempat tinggal 
Jenderal Douglas McArthur. Masih bisa disaksikan goa pusat komando dan 
tempat pendaratan amphibi, ketika itu. 
Pulau Morotai berada di 
ujung utara Kabupaten Halmahera Utara, berbatasan langsung dengan 
Samudera Pasifik. Luas wilayah Pulau Morotai adalah 2.474,94 kilometer 
persegi, terbagi menjadi 5 kecamatan. Pulau Morotai menyimpan banyak 
kenangan tentang keberadaan tentara sekutu di masa perang dunia, 
terutama sebelum pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. 
Pulau
 Morotai memang menyimpan peninggalan sejarah, seperti tujuh landasan 
udara peninggalan tentara sekutu yang dikenal dengan sebutan Pitu Strip 
dan tank-tank amphibi peninggalan tentara sekutu. 
Pulau Morotai 
juga identik dengan Jenderal Divisi VII Angkatan Perang AS, Douglas 
McArthur. "Banyak jejak sejarah yang dibuat oleh McArthur di Morotai, 
terutama tentang kepiawaiannya dalam memimpin angkatan perang AS dan 
Sekutu melawan Jepang," kata tim ekspedisi Puspar UGM itu.
Bekas-bekas
 mesin Perang Dunia yang terdapat di Morotai dapat menjadi daya tarik 
bagi wisatawan atau siapa saja yang berkunjung ke Pulau itu. Selain 
peninggalan sejarah, terdapat pula obyek wisata alam di Morotai yang 
tidak kalah menariknya dengan daerah lainnya. Tanjung Pinang yang 
terkenal dengan keindahan alam pantainya dan Pantai Wewemo merupakan 
beberapa obyek wisata alam yang terdapat di Pulau Morotai.
*) Merupakan artikel Surat Kabar Kedaulatan Rakyat edisi 23 September 2007
MENJUAL TAPAK KAKI MACARTHUR DI MOROTAI
(10-10-2006)  Administrator
Penulis: Freddy Roeroe
Menjual
 Kabupaten Halmahera Utara di Provinsi Maluku Utara untuk go 
international jauh lebih mudah daripada menjual daerah-daerah lain di 
Indonesia. Apalagi kalau memang benar Indonesia mau bersungguh-sungguh 
melepaskan diri dari keterikatan pada paradigma sentralisme Jakarta dan 
Jawa pada umumnya, sebetulnya Halmahera Utara dengan primadonanya, Pulau
 Morotai, dapat dijadikan pintu bagi masuknya penanaman modal ke Kawasan
 Timur Indonesia.
Bagi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, Pulau 
Morotai memiliki arti sangat penting, khususnya saat AS hendak 
melancarkan serangan balasan yang menentukan terhadap seluruh 
kepentingan Jepang di Filipina dan Korea di era perang Pasifik 
(1941-1945). Pulau Morotai dijadikan tempat konsolidasi ratusan ribu 
pasukannya: darat, laut, dan udara.
Dalam kesendirian dan 
kesunyian di bibir Samudra Pasifik, tak satu pun warga Morotai menduga 
sebelumnya bahwa negerinya telah masuk dalam skenario inti perang 
Pasifik. Mereka sedikit pun tidak tahu bahwa mereka telah menjadi bagian
 dari dendam dan tekad I shall return-nya Panglima Divisi VII AS 
Jenderal Douglas MacArthur.
Warga Morotai hanya mampu terkejut 
bercampur takut dan kagum ketika menyaksikan gelombang ratusan pesawat 
terbang Sekutu yang meraung-raung memecah kesunyian malam pada bulan 
September 1944. Raungan yang menggelegar angkasa malam Morotai saat itu 
dirasakan penduduk bagaikan hendak kiamat.
Pada saat bersamaan 
ratusan kapal perang ukuran besar, sedang, dan kecil memenuhi pantai 
Tanjung Dahegila, Morotai Selatan. Sejak itu pula, dalam tempo tiga 
bulan, Sekutu menyulap Morotai menjadi sebuah pulau militer. Penaklukan 
Morotai berlangsung tanpa perlawanan berarti dari Jepang, yang hanya 
menempatkan segelintir pasukan di daerah itu.
Konsentrasi pasukan
 Jepang yang diperkirakan 200.000 orang bukan di Morotai, tetapi di 
pantai timur Halmahera. Namun, karena sistem persenjataan Jepang ketika 
itu amat sederhana bagi Sekutu yang sistem persenjataannya lebih modern,
 kehadiran 200.000 tentara Jepang itu nyaris tak ada artinya.
Satu-satunya
 kontak senjata langsung Sekutu dengan Jepang terjadi di Wayabula, 
pantai barat Morotai. Dalam peristiwa itu, ratusan tentara Jepang tewas.
Sulitnya
 pasukan Jepang menerobos ke Morotai karena di sekeliling pantai pulau 
itu Sekutu menebar bom-bom ranjau laut. Itu memang telah dipersiapkan 
untuk menangkal terobosan pasukan berani mati Jepang yang bermarkas di 
sepanjang pantai Teluk Kao dan Malifut, pantai timur Halmahera, atau 
sekitar 40 mil arah barat dan selatan Morotai.
Dalam tempo tiga 
bulan, Tanjung Dahegila sepanjang 18 kilometer menjadi pusat permukiman 
tentara. Hutan-hutan kecil dan padang ilalang ditebas dan dipasangi 
tenda.
Tank-tank dan jip Wilis yang terkenal mampu menjelajah 
medan sesulit apa pun ketika itu memenuhi setiap sudut Morotai. Sebelum 
pesawat mendarat, terlebih dulu pasukan zeni dengan beragam peralatan 
besar meratakan padang ilalang lalu secara serempak meletakkan jutaan 
besi-strip baja untuk landasan darurat.
Sekutu ketika itu 
sekaligus membangun 12 landasan darurat, panjang 2.700 meter (m) dan 
lebar 40 m. Lalu, tujuh landasan di antaranya dikeraskan dengan 
batu-batu karang bercampur minyak hitam, dan sisanya dipasangi air strip
 (pelat besi berlubang ukuran 1,5 x 0,5 m) yang berfungsi sebagai 
landasan darurat.
Karena angka tujuh itu kemudian seluruh 
landasan angkatan perang Sekutu di Morotai hingga kini populer dengan 
sebutan Pitu strip. Sedikitnya, Sekutu menempatkan 3.000 pesawat tempur,
 pesawat angkut, dan pengebom; serta 63 batalyon tempur di Morotai.
Pulau
 Morotai, sebuah pulau kecil paling utara di kawasan Kepulauan Maluku 
Utara. Pulau seluas 2.476km>jmp-2008mkern 198mh5020m,0w 
5020mjmp0mkern 200mh8333m,0w 8333m< ini menyimpan banyak kenangan 
pahit-manisnya tentara Sekutu (AS, Inggris, Australia, Kanada, dan 
lain-lain).
Setelah menelan pil pahit, kalah total dari Jepang di
 Pearl Harbor, Agustus 1941, dan terpukul mundur dari Filipina tahun 
1942, AS berjanji akan menebusnya kembali. Jenderal MacArthur bahkan 
sebelum meninggalkan Filipina mengucapkan sumpahnya yang sangat 
terkenal, "I shall return" (saya akan kembali).
Dan memang, 
dengan strategi lompat katak, MacArthur berhasil menebus kekalahannya 
atas Jepang. Dari Filipina, MacArthur mundur ke pulau-pulau karang 
Australia. Dari sana ia bagaikan katak melompat ke Guadakanal, Kepulauan
 Salomon. Selanjutnya, pahlawan perang Pasifik AS itu memimpin 
pasukannya berjingkrak ke Kepulauan Marshall dan Kepulauan Mariana.
Sebelum
 memasuki Filipina, sang maestro perang Pasifik itu mengonsolidasikan 
pasukannya, Divisi VII Angkatan Perang AS, di Pulau Morotai. Setelah 
merebut kembali Filipina dari tangan Jepang, MacArthur menusuk langsung 
ke jantung pertahanan Jepang, Iwojima dan Okinawa.
Dalam ukuran 
waktu, kehadiran Divisi VII AS lengkap dengan para tentara sekutunya di 
Morotai terbilang tidak lama, hanya beberapa bulan. Namun, kehadiran 
MacArthur yang relatif singkat itu kini mampu membangunkan nostalgia 
masa lalu yang penuh dengan kenangan pahit manis.
Inilah yang 
membuat Morotai jauh lebih mudah dijual, apalagi jika menjualnya dengan 
memanfaatkan nama besar Jenderal MacArthur. Paling kurang, lewat jualan 
cerita-cerita lama yang penuh nostalgia, Indonesia bisa meraih dan 
menyedot wisatawan AS, termasuk Jepang sebagai bekas lawan perangnya. 
Dan, kalau saja sisa-sisa mesin Perang Dunia II itu masih tertinggal dan
 tertata rapi, bukan tidak mungkin bakal menjadi sajian pariwisata 
sangat menarik lewat kampanye menelusuri "Tapak-tapak kaki MacArthur di 
Morotai".
|  | 
| A map of Morotai island showing the movements of Allied and Japanese forces during the battle which was fought on the island in September 1944 | 
DALAM strategi perang setiap negara memiliki ciri khas sendiri, BELANDA dengan pasukan daratnya dengan sekejap menyerah oleh bala pasukan angkatan laut jepang ditahun 40an, US yang memiliki pasukan darat dan laut cukup hebat saat perang dunia ke dua sempat tahluk oleh pasukan udara jepang dengan di bomnya pearl harbor
Peran pulau morotai menjadi lapangan terbang bagi Jepang selama PD II. Pulau ini diambil alih oleh angkatan Amerika Serikat pada September 1944, dan digunakan sebagai landasan serangan Sekutu ke Filipina pada awal 1945, dan ke Borneo timur pada Mei dan Juni tahun itu. Merupakan basis untuk serangan ke Jawa pada Oktober 1945 yang ditunda setelah penyerahan diri Jepang pada bulan Agustus.
NAH SAAT INI seperti apakah INDONESIA? (KEKUATAN TNI) dalam mengamankan NKRI ternyata ya hanya kekuatan AD saja yang sangat besar di NKRI sama halnya BELANDA saat menjajah Indonesia, bagaimana dengan AL dan AUnya? tidak menjadi prioritas mungkin saja atau memang ya begitulah ! bebrapa informasi bahwasannya TNI AL pernah memiliki kapal penjelajah canggih yang bernama KRI IRIAN kapal ini dapat Kapal ini dapat memuat 1.270 awak kapal, termasuk 60 orang perwira, 75 perwira pengawas, 154 perwira pertama. dalam penugasan kehadiran kapal ini membuat AL Belanda secara drastis mengurangi kehadirannya di perairan Irian Barat.
|  | 
| KRI-Irian (Battleship Cruiser) (ALRI) | 
sayangnya kapal yang di produksi oleh rusia dan diluncurkan tahun 1950ini dibeli TNI AL pada tahun 1962. Setelah perbaikan selesai pada Agustus 1964 kapal menuju Surabaya dengan dikawal Destroyer AL Soviet. Setahun kemudian (1965) terjadi pergantian pemerintahan. Kekuasaan pemerintah praktis berada di tangan Soeharto. Perhatian Soeharto terhadap ALRI sangat berbeda dibandingkan Sukarno. Kapal ini dibiarkan terbengkelai di Surabaya, bahkan terkadang digunakan sebagai penjara bagi lawan politik Soeharto.
Mungkin saja saat ini strategi perang yang di bangun suharto adalah menjegal lawan politiknya dengan menguatkan TNI AD sama halnya dengan BELANDA menguatkan angkatan daratnya untuk melawan pejuang indonesia maka akhirnya kapal induk KRI irian ini dipensiunkan.
|  | 
| KRI Irian Firing Howitzer | 
Terdapat beberapa versi tentang riwayat KRI Irian setelah peristiwa G30S.
Versi pertama menyebutkan bahwa pada tahun 1970, KRI Irian sudah sedemikian parah terbengkalai hingga mulai terisi air. Tidak ada orang yang peduli untuk menyelamatkan Kapal Penjelajah ini. Sehingga pada masa Laksamana Sudomo menjabat sebagai KSAL maka KRI Irian dibesituakan (scrap) di Taiwan pada tahun 1972 dengan alasan kekurangan komponen suku cadang kronis.[4]
Versi kedua, menurut Hendro Subroto, kapal perang yang dibuat hanya empat buah ini di jual ke Jepang setelah persenjataannya dipreteli. "Padahal di Tanjung Priok masih terdapat dua gudang suku cadang. Tapi karena perawatan sebelumnya di tangani orang Rusia, selepas Gestapu, kita tidak punya teknisi lagi," menurut Hendro.
LALU PENTINGKAH TNI menguatkan AL di pulau-pulau terluar Indonesia seperti Morotai ? kayaknya Gak penting deh! cukup angkatan darat aja.....Namun saya teringat dengan kutipan kata-kata om Agus wirahadikusuma, LETDJEN yang di gosipkan meninggal karena di bunuh "
"Pemekaran kodam itu, kan, konsep Angkatan Darat dulu, sebelum krisis. Dulu pun sebenarnya sudah mulai diantisipasi. Saya termasuk yang menolaknya. Segala sesuatu itu harus disesuaikan dengan perkembangan. "
kodam harus segera diciutkan dan ini tergantung kondisi sosial masyarakat sendiri. Begitu mulai bisa dilepas, ya, tinggalkan. Dilakukan bertahap. Katakanlah pada level bintara pembina desa dulu. Tarik mereka ke koramil. Tolong, dipahami, ditarik, bukan dihapus atau dipecat. Kemudian dilihat lagi, masih perlu koramil atau tidak. Kalau masyarakat makin maju, polisinya bagus, ya, sudah, hapus koramil. Tarik orang-orangnya ke kodim. Begitu seterusnya,yang perlu sekarang diperbanyak POLISI di tingkat daerah serta dan perbanyak LANAL (pangkalan Angkatan Laut) AD cukup dipusatkan di daerah-daerah tertentu. nah gara-gara konsep om agus ini dan membongkar skandal korups kostrad gate eh dia dilengser jadinya.
Nah silahkan Membaca artikel ini.
HILANGNYA JEJAK MACARTHUR DI KESUNYIAN MOROTAI
(05-11-2006) Administrator
Penulis: Subhan SD (Kompas, 8 Oktober 2006)
Terletak jauh di bibir Pasifik, Pulau Morotai seperti terlupakan. Padahal, Jenderal Douglas MacArthur menyulap pulau itu sebagai pusat komando dalam Perang Dunia II. Sayang, jejak-jejak sejarah itu sebagian besar hilang akibat ulah manusia.
Terdorong latar sejarah pulau yang pernah diduduki pasukan Jepang dan AS (Sekutu) itu, pagi-pagi sekali, akhir Agustus lalu, saya sudah berada di dermaga di Pantai Swering, Ternate, untuk melakukan perjalanan ke pulau terujung di Provinsi Maluku Utara itu. Dari Ternate, kira-kira lebih dari setengah jam speedboat membelah ombak menuju Sidangoli di Halmahera Barat, meninggalkan gunung-gunung di Pulau Ternate, Hiri, Maitara, Tidore.
Dari Sidangoli, perjalanan darat sejauh 213 km dilanjutkan ke Tobelo, ibu kota Halmahera Utara. Perjalanan darat itu berkelok-kelok melewati kebun kelapa di sepanjang pesisir Teluk Kao. Di teluk yang pernah dijadikan basis pertahanan Jepang itu masih tersisa rongsokan kapal perang di laut.
Saya sempat berdiskusi mengenai bangkai kapal itu dengan Mayor (Inf) M Susilo, Wakil Komandan Satgas Kompi C Batalyon Infanteri 310/Kidang Kencana Sukabumi, teman seperjalanan bersama dua tentara lainnya, Serda Ircham dan Prada Wawan. Sementara di Malifut masih terlihat sisa beberapa rumah warga yang terbakar saat terjadi konflik tujuh tahun silam. "Perjalanan kita masih panjang," ujar Mayor Susilo yang saya tafsir juga sebagai kiasan sejarah perjalanan bangsa ini.
Dari Tobelo, sekitar dua jam speedboat ukuran 2 x 9 meter membelah Selat Morotai. Saya memilih duduk di atas atap, menemani motoris Taher Marsaoli yang sore itu memberikan kemudi kepada asistennya. "Cuaca sedang bagus. Kalau lagi buruk, ombak minimal setinggi 2 meter," cerita Taher. Saya ukur tinggi atap speedboat dari permukaan laut hanya kira-kira 1,2 meter.
Berdiri di atap speedboat membuat mata dengan leluasa menyapu perairan Selat Morotai. Beberapa kali kawanan lumba-lumba berpacu dengan speedboat. Burung-burung laut beterbangan dan menyelam ke laut, pertanda ada kumpulan ikan seperti cakalang atau tongkol. Beberapa kali ikan terbang melayang di permukaan laut, bak pesawat mencari landasan.
Perburuan besi tua
|  | 
| peninggalan penjajahan | 
Setelah lebih satu jam perjalanan, satu per satu pulau-pulau di sekitar Morotai terlihat. Pulau Sumsum dulu dikenal sebagai tempat tinggal MacArthur. Di pulau itu ada goa yang disebut tempat berlindung jenderal bintang lima itu.
Tak jauh dari pulau itu, tampak dua Pulau Dodola yang tersambung dengan hamparan pasir putih. Bila air surut, dari Dodola Besar menuju Dodola Kecil bisa berjalan kaki di hamparan pasir putih itu. Tetapi, bila air pasang hamparan pasir itu lenyap ditelan laut. Jadi, bila ingin menyeberang harus menggunakan perahu. Menurut kisah penduduk, di pasir putih itulah MacArthur kerap berjemur.
Semasa PD II, posisi geopolitik Morotai sangat strategis. Setelah dipukul mundur oleh tentara Jepang dari Filipina hingga terus menyingkir ke Australia (1942), Panglima Divisi VII AS Jenderal Douglas MacArthur menjadikan Morotai bagian dari janjinya, "I shall return". Bagaikan katak melompat, dia merebut kembali wilayah yang pernah direnggut Jepang itu. Dari Morotai, MacArthur merebut Filipina dan kemudian menembus jantung pertahanan Jepang di Iwojima dan Okinawa.
Ketika itu, tujuh lapangan terbang dibangun di Morotai, dua di antaranya berupa airstrip. Panjang landasan itu sekitar 3.000 meter dan lebar 40 meter. "Siang malam pasukan AS dan penduduk membangun lapangan itu," kenang H Imam Lastory (82), tokoh masyarakat yang juga saksi sejarah yang sering melihat MacArthur memimpin pasukannya di pulau itu. Kini cuma dua landasan yang difungsikan.
Sekutu juga membangun pelabuhan militer di Tanjung Dahegila sehingga kapal-kapal perang bisa merapat. Terbayang Morotai yang jauh dari hiruk-pikuk, saat itu justru menjadi "kota" yang ramai. Menurut informasi, 63 batalyon tentara Sekutu bermarkas di pulau itu pada bulan September 1944 hingga awal 1945.
Itu dulu. Morotai hari ini ibarat lukisan yang merana. Jalan-jalan terlihat lengang karena kendaraan mungkin bisa dihitung dengan jari. Sebagian jalan berupa tanah hanya sejauh 50 km yang beraspal.
Di kota teramai, Daruba, listrik menyala hanya 18 jam sehari. Runyamnya, peninggalan sejarah nyaris tak bersisa. Kapal perang, mobil jip, panser, tank, senjata, dan tiang-tiang dermaga menjadi besi tua yang menjadi obyek penjarahan. Di Morotai, berburu besi tua menjadi pekerjaan banyak orang, termasuk orang luar.
Menurut Camat Morotai Selatan Lukman SY Badjak, penjarahan besi-besi itu terjadi sejak tahun 1980-an ketika sebuah pabrik baja di Jawa membutuhkan bahan baku besi. Inilah runyamnya, benda-benda bernilai sejarah pun dipreteli dan diangkuti.
Kalau pemerintah daerah sekarang giat menawarkan wisata sejarah itu, apa lagi yang bisa dilihat bila banyak benda bersejarah dijual kiloan? Paling-paling yang tersisa kapal perang atau pesawat yang tenggelam di dasar laut yang mungkin jadi obyek menyelam.
Pertahanan perbatasan?
Beda dengan Sekutu yang menyadari pentingnya geopolitik Motorai, kini pulau seluas 2.476 km persegi itu nyaris tak terurus. Lanud Morotai yang didukung 80-an personel saja, kata Komandan Lanud Morotai Mayor (PSK) M Silaban, berkategori tipe D. Artinya, tidak ada pesawat dan tidak ada radar. Hanya disiapkan untuk operasi. Jadi, sudah pasti pesawat asing tak terpantau.
Sebagai kawasan perbatasan, pertahanan Morotai sangat rapuh. Dari lima kecamatan, hanya dua kecamatan yang ada markas koramil dan polsek, yaitu di Daruba (Morotai Selatan) dan Berebere (Morotai Utara). Jumlah anggota koramil di dua lokasi itu hanya 25 personel, sementara polisi di dua polsek juga cuma belasan personel. Masih untung, karena menurut Kepala Staf Korem 152/Babullah Ternate Letkol (Inf) Yudi Zanibar, di Morotai ada tiga pos Satgas Kompi C Yonif 310/KK, yakni di Daruba (22 personel), Satuan Permukiman 1 (21), dan Sabatai Baru (20).
Dengan kekuatan seperti itu, sudah pasti mereka tak mampu memantau sampai wilayah utara pulau. Di Sopi, ibu kota Kecamatan Morotai Jaya, penduduk setempat lebih banyak bergaul dengan warga Filipina karena komunikasi dengan wilayah selatan boleh dikata terputus.
Tak ada jalan darat. Hanya lewat laut dan paling cepat ditempuh enam jam. Kalau ombak ganas, tidak ada yang berani melayari bibir Samudra Pasifik itu. Dalam satu pulau saja sulit melakukan kontak, apalagi dengan pusat kekuasaan di Jakarta. Saat kembali, dari buritan speedboat tampak Morotai seakan tenggelam dalam kesunyian di tepi Pasifik
TANK AMPHIBI SEKUTU MASIH TERPARKIR
(10-10-2007) Administrator
Penulis: Arwan Tuti Artha
Pulau Dodola adalah salah satu obyak wisata di Kabupaten Halmahera Utara yang menarik. Pulau ini terdiri dari dua daratan yang dihubungkan dan dikelilingi hamparan pasir putih. Ketika air laut pasang, Pulau Dodola terbagi menjadi dua, yaitu Dodola Kecil dan Dodola Besar.
Ketika air laut surut, pasir putih yang ada menjadi jembatan yang indah yang membelah dua perairan. Pasir putih di pulau ini memiliki keunikan yaitu pasir putih yang halus pada bibir pantai yang menghadap ke Pulau Morotai dan pasir putih yang kasar pada bibir pantai yang menghadap ke Pulau Halmahera.
"Itu terjadi karena adanya perbedaan arus," kata Kurnia Hardjanto, SSi, SPi Bersama rekannya, Wijaya Ladampa, SHut, serta Destha dari Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM, ia melakukan penelitian potensi pariwisata di sana.
Pulau Dodola juga menyimpan sejarah masa perang kemerdekaan. Sebab, seperti dituturkan pemandu setempat, di pulau ini Douglas McArthur pernah berekreasi. Douglas McArthur dikenal sebagia jenderal sekutu pada masa perang dunia kedua.
Dari Pulau Dodola ada baiknya terus ke Pulau Morotai. Dalam perjalanan menuju ke Morotai, banyak pulau dilewati. Misalnya Pulau Sumsum, yang tergolong pulau kecil tapi memiliki panorama alam pantai pasir putih berkerikil dan nilai historis yang tinggi. Pada masa perang kemerdekaan, Pulau Sumsum digunakan sebagai tempat tinggal Jenderal Douglas McArthur. Masih bisa disaksikan goa pusat komando dan tempat pendaratan amphibi, ketika itu.
Pulau Morotai berada di ujung utara Kabupaten Halmahera Utara, berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik. Luas wilayah Pulau Morotai adalah 2.474,94 kilometer persegi, terbagi menjadi 5 kecamatan. Pulau Morotai menyimpan banyak kenangan tentang keberadaan tentara sekutu di masa perang dunia, terutama sebelum pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang.
Pulau Morotai memang menyimpan peninggalan sejarah, seperti tujuh landasan udara peninggalan tentara sekutu yang dikenal dengan sebutan Pitu Strip dan tank-tank amphibi peninggalan tentara sekutu.
Pulau Morotai juga identik dengan Jenderal Divisi VII Angkatan Perang AS, Douglas McArthur. "Banyak jejak sejarah yang dibuat oleh McArthur di Morotai, terutama tentang kepiawaiannya dalam memimpin angkatan perang AS dan Sekutu melawan Jepang," kata tim ekspedisi Puspar UGM itu.
Bekas-bekas mesin Perang Dunia yang terdapat di Morotai dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan atau siapa saja yang berkunjung ke Pulau itu. Selain peninggalan sejarah, terdapat pula obyek wisata alam di Morotai yang tidak kalah menariknya dengan daerah lainnya. Tanjung Pinang yang terkenal dengan keindahan alam pantainya dan Pantai Wewemo merupakan beberapa obyek wisata alam yang terdapat di Pulau Morotai.
*) Merupakan artikel Surat Kabar Kedaulatan Rakyat edisi 23 September 2007
MENJUAL TAPAK KAKI MACARTHUR DI MOROTAI
(10-10-2006) Administrator
Penulis: Freddy Roeroe
Menjual Kabupaten Halmahera Utara di Provinsi Maluku Utara untuk go international jauh lebih mudah daripada menjual daerah-daerah lain di Indonesia. Apalagi kalau memang benar Indonesia mau bersungguh-sungguh melepaskan diri dari keterikatan pada paradigma sentralisme Jakarta dan Jawa pada umumnya, sebetulnya Halmahera Utara dengan primadonanya, Pulau Morotai, dapat dijadikan pintu bagi masuknya penanaman modal ke Kawasan Timur Indonesia.
Bagi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, Pulau Morotai memiliki arti sangat penting, khususnya saat AS hendak melancarkan serangan balasan yang menentukan terhadap seluruh kepentingan Jepang di Filipina dan Korea di era perang Pasifik (1941-1945). Pulau Morotai dijadikan tempat konsolidasi ratusan ribu pasukannya: darat, laut, dan udara.
Dalam kesendirian dan kesunyian di bibir Samudra Pasifik, tak satu pun warga Morotai menduga sebelumnya bahwa negerinya telah masuk dalam skenario inti perang Pasifik. Mereka sedikit pun tidak tahu bahwa mereka telah menjadi bagian dari dendam dan tekad I shall return-nya Panglima Divisi VII AS Jenderal Douglas MacArthur.
Warga Morotai hanya mampu terkejut bercampur takut dan kagum ketika menyaksikan gelombang ratusan pesawat terbang Sekutu yang meraung-raung memecah kesunyian malam pada bulan September 1944. Raungan yang menggelegar angkasa malam Morotai saat itu dirasakan penduduk bagaikan hendak kiamat.
Pada saat bersamaan ratusan kapal perang ukuran besar, sedang, dan kecil memenuhi pantai Tanjung Dahegila, Morotai Selatan. Sejak itu pula, dalam tempo tiga bulan, Sekutu menyulap Morotai menjadi sebuah pulau militer. Penaklukan Morotai berlangsung tanpa perlawanan berarti dari Jepang, yang hanya menempatkan segelintir pasukan di daerah itu.
Konsentrasi pasukan Jepang yang diperkirakan 200.000 orang bukan di Morotai, tetapi di pantai timur Halmahera. Namun, karena sistem persenjataan Jepang ketika itu amat sederhana bagi Sekutu yang sistem persenjataannya lebih modern, kehadiran 200.000 tentara Jepang itu nyaris tak ada artinya.
Satu-satunya kontak senjata langsung Sekutu dengan Jepang terjadi di Wayabula, pantai barat Morotai. Dalam peristiwa itu, ratusan tentara Jepang tewas.
Sulitnya pasukan Jepang menerobos ke Morotai karena di sekeliling pantai pulau itu Sekutu menebar bom-bom ranjau laut. Itu memang telah dipersiapkan untuk menangkal terobosan pasukan berani mati Jepang yang bermarkas di sepanjang pantai Teluk Kao dan Malifut, pantai timur Halmahera, atau sekitar 40 mil arah barat dan selatan Morotai.
Dalam tempo tiga bulan, Tanjung Dahegila sepanjang 18 kilometer menjadi pusat permukiman tentara. Hutan-hutan kecil dan padang ilalang ditebas dan dipasangi tenda.
Tank-tank dan jip Wilis yang terkenal mampu menjelajah medan sesulit apa pun ketika itu memenuhi setiap sudut Morotai. Sebelum pesawat mendarat, terlebih dulu pasukan zeni dengan beragam peralatan besar meratakan padang ilalang lalu secara serempak meletakkan jutaan besi-strip baja untuk landasan darurat.
Sekutu ketika itu sekaligus membangun 12 landasan darurat, panjang 2.700 meter (m) dan lebar 40 m. Lalu, tujuh landasan di antaranya dikeraskan dengan batu-batu karang bercampur minyak hitam, dan sisanya dipasangi air strip (pelat besi berlubang ukuran 1,5 x 0,5 m) yang berfungsi sebagai landasan darurat.
Karena angka tujuh itu kemudian seluruh landasan angkatan perang Sekutu di Morotai hingga kini populer dengan sebutan Pitu strip. Sedikitnya, Sekutu menempatkan 3.000 pesawat tempur, pesawat angkut, dan pengebom; serta 63 batalyon tempur di Morotai.
Pulau Morotai, sebuah pulau kecil paling utara di kawasan Kepulauan Maluku Utara. Pulau seluas 2.476km>jmp-2008mkern 198mh5020m,0w 5020mjmp0mkern 200mh8333m,0w 8333m< ini menyimpan banyak kenangan pahit-manisnya tentara Sekutu (AS, Inggris, Australia, Kanada, dan lain-lain).
Setelah menelan pil pahit, kalah total dari Jepang di Pearl Harbor, Agustus 1941, dan terpukul mundur dari Filipina tahun 1942, AS berjanji akan menebusnya kembali. Jenderal MacArthur bahkan sebelum meninggalkan Filipina mengucapkan sumpahnya yang sangat terkenal, "I shall return" (saya akan kembali).
Dan memang, dengan strategi lompat katak, MacArthur berhasil menebus kekalahannya atas Jepang. Dari Filipina, MacArthur mundur ke pulau-pulau karang Australia. Dari sana ia bagaikan katak melompat ke Guadakanal, Kepulauan Salomon. Selanjutnya, pahlawan perang Pasifik AS itu memimpin pasukannya berjingkrak ke Kepulauan Marshall dan Kepulauan Mariana.
Sebelum memasuki Filipina, sang maestro perang Pasifik itu mengonsolidasikan pasukannya, Divisi VII Angkatan Perang AS, di Pulau Morotai. Setelah merebut kembali Filipina dari tangan Jepang, MacArthur menusuk langsung ke jantung pertahanan Jepang, Iwojima dan Okinawa.
Dalam ukuran waktu, kehadiran Divisi VII AS lengkap dengan para tentara sekutunya di Morotai terbilang tidak lama, hanya beberapa bulan. Namun, kehadiran MacArthur yang relatif singkat itu kini mampu membangunkan nostalgia masa lalu yang penuh dengan kenangan pahit manis.
Inilah yang membuat Morotai jauh lebih mudah dijual, apalagi jika menjualnya dengan memanfaatkan nama besar Jenderal MacArthur. Paling kurang, lewat jualan cerita-cerita lama yang penuh nostalgia, Indonesia bisa meraih dan menyedot wisatawan AS, termasuk Jepang sebagai bekas lawan perangnya. Dan, kalau saja sisa-sisa mesin Perang Dunia II itu masih tertinggal dan tertata rapi, bukan tidak mungkin bakal menjadi sajian pariwisata sangat menarik lewat kampanye menelusuri "Tapak-tapak kaki MacArthur di Morotai".
