Sunday, November 10, 2019

‘SURAT TERBUKA’ UNTUK BANGSA INDONESIA


Pada awalnya saya hendak meletakkan tulisan ini di saku jas yang saya kenakan lengkap dengan dasi merah dan peci sambil tergantung di kamar kos kecil di pinggiran Jakarta. Ya, rasanya hidup ini telah penuh dengan tekanan, di mana setiap malam konsep-konsep bernegara dan membangun peradaban melintas dalam pikiran, mungkin pikiran itu akan cepat diterima ketika telah menjadi perhatian media. Keadilan sosial merupakan misteri terbesar dalam pikiran muda. Apakah tentang keseimbangan semata? Atau tentang hak dan kewajiban berbangsa?
Rasanya tidak salah bila kita kembali pada pendekatan sederhana dengan mempertanyakan pada diri pribadi apa yang hendak kita capai sebagai insan merdeka?
Apakah menjadi penguasa? Apakah menjadi kaya raya? Apakah menjadi terkenal? Atau hanya sekedar terhindar dari neraka?
Mungkin kita telah merdeka, kita bebas untuk menetapkan pilihan apa yang hendak kita capai dalam hidup, paling tidak sebagian besar masih berpikir pilihan terbaik adalah abdi negara, sementara bila tak ada kriteria karena tidak melekat di dalamnya warna bendera maka jadi penguasa adalah alternatifnya, tentu kita bisa memulai dari jalan yang sederhana dan cukup mudah dengan menjadi petualang sosial media. Tapi itu semua tidak menjanjikan hidup pada kemurnian surga!
Pertanyaan kedua tentu tentang bersatu. Hitler mungkin berteriak bahwa “bersatulah agar maju.” Bersatu adalah kata paling ampuh untuk menghadapi pikiran kaku. Menyamakan diri pada hal yang nyata atau tak nyata adalah suatu yang baku. Warna dan bentuk mungkin bukan jadi alasan penuh untuk berpadu, namun jangan lupa ideologi dan angan-angan adalah candu. Ingat kawanku, bersatu itu bukan tentang mengisi saku. Walaupun bisa dilihat mereka menjual semua kebutuhanmu dengan label ‘jadilah pribadi yang baru!’
Berikutnya tentang daulat. Mungkin masih sangat hangat kita dengar kata-kata keramat, “merdeka atau mati” sebagai bentuk masyarakat yang terhormat! Ya menjadi terhormat adalah beban berat, tapi bukan berarti berhak untuk berteriak dengan cepat hingga sampai kata sesat bahkan b*ngsat! Tapi hendaknya kita bertobat, mungkin pemimpin jemaat sudah merupakan orang yang tepat, namun yang salah memang kita yang selalu hendak mengubah kodrat. Kita telah sampai pada titik merdeka terhormat didasari pada bentuk ideal sebagai konglomerat. Saya rasa kita telah menjadi rakyat yang suka pada maksiat, karena tidak memiliki uang adalah cacat, dengan alasan kebutuhan hidup semakin ketat! Ya kita berdaulat pada harta yang melekat!


Pekerjaan rumah kita ada pada upaya menghadirkan keadilan dan kemakmuran.
Pikiran ini bukanlah suatu angan-angan namun mempertegas definisi kata ini bukan hanya dalam bahasa koran memang harus segera digagas. Kita memiliki kewajiban membela negara tetapi baru-baru ini kita memahami mendefinisikan bela negara sebagai bentuk  ‘sukarela’  menjadi cadangan menghadapi ancaman tentu tetap mendapatkan intensif, seragam dan pangkat. Setidaknya tujuan mencapai keadilan dan kemakmuran juga demikian, harus dijelaskan sebagai suatu target pencapaian yang masuk akal, agar rakyat benar tahu apa yang menjadi hak khusus ketika menjadi warga negara yang baik. Prakteknya bisa saja harta atau takhta.
Jepang dengan tegas menyampaikan adanya masyarakat 5.0, karena memang masyarakatnya adalah masyarakat yang taat pada kekuasaan kaisar, meski legitimasi kaisar selanjutnya dikembangkan oleh perdana menteri yang dengan leluasa melakukan perubahan pada aspek-aspek sosial. Mereka juga sama dengan negara empat musim lainnya, pun sangat takut dengan kekurangan bahan pangan sehingga bekerja dengan keras juga adalah kewajiban.
Indonesia? Kita tidak lagi dipimpin pejabat yang memiliki atribut-atribut hingga masyarakat manut dan tunduk, meski masih ada yang yakin bahwa pemimpin berdarah raja kuno atau yang menikahi lelembut adalah pemimpin seutuhnya. Janganlah lupa bila terus konsep demikian digunakan maka gelombang kuat akan memecahkan simbolisasi rasial tersebut, awal-awal reformasi telah membuka dengan lantang hal tersebut. Rakyat butuh hal yang nyata, butuh bhineka yang seutuhnya!
Indonesia adalah bangsa 2 musim yang selalu dibuai dengan tanah surganya, Idealnya kehidupan akan berlangsung sepanjang tahun, dan jelas menjadi pemikat negara yang terus kekurangan. Sudah selayaknya bangsa Indonesia mengubah pikiran menjadi bangsa pekerja dengan tujuan pencapaian yang jelas dan nyata, bukan hanya dibuai kata ‘semangat’ dan ‘surga’!
Memperkenalkan rewards and punishments yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia harus menjadi pemikiran penguasa. Karena kedaulatan tetap di tangan rakyat sebagaimana konstitusi menyebutkan. Mengubah orientasi cita-cita rakyat dengan program yang nyata adalah keniscayaan. Ingat makna persatuan akan sangat dekat dengan perpecahan, selama rakyat merasa tak terwakili, maka pilihan untuk kembali merdeka adalah hal yang hakiki.
Semoga pikiran ini tak hanya bersemayam di atas gunung, atau terhunus dari jiwa-jiwa pemimpi!

Saturday, June 3, 2017

JOKOWI DIANTARA ‘MANUSIA BATU’

Jokowi yang hadir di tengah-tengah arus kekuasaan tertinggi di Indonesia sempat menjadi tranding topik dunia, bahkan program poros maritim dan revolusi mentalnya menjadi fenomena besar di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang hidup lama dalam pola pandang daratan. Apakah ini perkerjaan berat sang presiden, atau keberatan kita menerima sang presiden?


Kemunculan sosok pemimpin baru merupakan kemunculan akan suatu pembaharuan, bahkan pada level yang lebih ekstrim maka pengharapan akan perubahan dan revolusi tidak akan terelakkan lagi. Catatan sejarah Indonesia telah menerangkan bahwa perubahan pemimpin juga berarti perubahan orde, rezim dan totalitas arah kebijakan nasional. Munculnya ‘reformasi’ pada akhir kepemimpinan sang jendral ‘petrus’ mengantarkan pada pola kekuasaan per lima tahun hingga sampai pada lahirnya sosok seorang pemimpin ‘idaman’ bagi sebagian besar masyarakat. Bagaimana sepak terjang sang pemimpin pada era edan ini dengan suatu strategi ‘revolusi mental’ dan ‘poros maritim’-nya, berikut ulasannya.
Perubahan pola kepemimpinan yang secara cepat, memaksa setiap aktor dan manusia Indonesia untuk melakukan perombakan besar-besaran, baik dari cara berpikir berupa impian dan idaman ataupun tindakan berupa pola kerja dan interaksi antar masyarakat lainnya. Namun demikian dengan begitu luasnya wilayah Indonesia terutama laut, maka perombakan tersebut tidak dapat menyentuh secara luas setiap pundi-pundi kehidupan di Indonesia.
Jika dianalisa dengan teori perubahan sosial oleh Tan Malaka (1964)[1] yang menitik beratkan pada pola pandang berupa idaman dan impian masyarakat berpautan secara dua arah dengan empat faktor yang bergerak secara dialektika dari kelas berpolitik, keadaan ekonomi, perkembangan teknologi, dan keadaan geografis, maka setidaknya terdapat empat kelas masyarakat. Mulai dari masyarakat berpola pandang kolonial sebagai sisa-sisa masyarakat tua, masyarakat revolusi yang haus akan perubahan, masyarakat borjuis dengan pola pandang kapitalisme, serta masyarakat informasi yang dinamis. Setiap orang dengan pola pandang tersebut berinteraksi satu sama lain dan memiliki pengaruh dan otoritas tersendiri dalam tatanan masyarakat ‘kekinian’ Indonesia.

Masyarakat Internasional
Sementara itu di lingkungan setragis dunia telah mengalami berbagai perubahan mendasar yang juga menuntut setiap orang berlaku sama dalam suatu internasionalisasi. Analisa Fukuyama[2] menjelaskan bahwa perubahan masyarakat pasca perang dingin adalah terhentinya semua ideologi dan berkembangnya ideologi demokrasi-liberal ala Amerika, Sehingga setiap negara berupaya mencapai titik pemikiran politik ala demokrasi-liberal dengan berbagai penyesuaian budaya yang mengatur masyarakat untuk menjadi objek sekaligus subjek negara. Hal tersebut berlanjut kepada munculnya kekuatan individu dan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat untuk menjalani keinginan politisnya hingga menciptakan ketidak-jelasan akan suatu perkembangan politik di negara tersebut.

Strategi Jokowi
Melihat perubahan dunia yang menuju arah ketidakjelasan dan ketidakpastian (Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity World) sangatlah jelas bahwa dibutuhkan suatu pemimpin yang berpikir strategik untuk dapat membawa seluruh masyarakatnya ke arah pemikiran pasti.
Pola strategi Jokowi dengan program Trisakti dan Nawacita dalam visi “terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong,” memunculkan pertanyaan serius apa yang menjadi grand strategy berupa ‘victory’ Jokowi ke depan. Menyimak pemikiran diplomatis dunia saat ini dimana negara dengan kekuatan militer dapat memegang kendali akan kebijakan dan kepentingan nasionalnya kepada negara lain (sebagai contoh Amerika, Russia, dan Tiongkok), maka apakah akan sama targetan Jokowi untuk mencapai kedaulatan negara dengan kekuatan militer melalui tangga peningkatan ekonomi dan perbaikan politik?
Pemanfaatan domain maritim melalui program poros maritim memang merupakan prioritas pembangunan saat ini, namun strategi tersebut bukanlah hal baru di dunia. Negara-negara sekaliber Amerika, Inggris, Tiongkok, Jepang dll telah banyak melihat sektor ini sebagai kunci peningkatan ekonomi mereka. Melalui program-program seperti America ocean economy, blue economy, sea power, serta One belt one rote bisa menjadi acuan strategi poros maritim Jokowi.
Pemikir-pemikir bidang maritim seperti  Mahan[3] menjelaskan bahwa dibutuhkan karakter bangsa dan karakter pemerintah berorientasi pada domain maritim. Maka sangatlah wajar bila muncul istilah revolusi mental sebagai upaya membentuk karakter bangsa. Namun makna revolusi mental dalam poros maritim ini apakah benar dapat di tuangkan dalam strategy implementation-nya ditengah masyarakat?

Kritik Bangsa
Dalam hati terbuka, dan pikiran yang matang mari bersama-sama kita mengamati keadaan nyata saat ini, baik itu untuk tatanan pemerintah ataupun seluruh komponen masyarakat secara luas.
Pemerintah baik itu pemerintahan daerah merupakan perpanjangan tangan rakyat hendaknya sadar akan kehadirannya di negara tercintah ini, di tengah kisruh KKN yang tak kunjung usai jelas menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki mental kolonial (atasan harus dijilat bawahan harus diperas). Ditambah pemikiran borjuis dengan kekayaan sebagai kuncinya menjadikan pemerintahan sebagai lumbung uang. Dengan berkembangnya teknologi informasi maka sikut-sikutan untuk mencari kekuasaan akan semakin menjadi, jebak-menjebak atasan dan teman sejawat akan lazim digunakan. Jika memang Pemerintah bertindak untuk rakyat, ayo bergotong royong, berkerjasama dalam suatu integritas yang memang sangat dibutuhkan selama ini.
Lebih jauh program pemanfaatan domain maritim membutuhkan integrasi dan integritas dari semua lembaga pemerintahan. Domain maritim membutuhkan banyak informasi dari berbagai lembaga yang dapat disatukan dan dijadikan acuan bersama dalam menetapkan kebijakan. Bukan hendak memihak kepada lembaga Badan Geospasial Indonesia (BIG), namun lembaga ini haruslah menjadi juru kunci informasi dari berbagai lembaga lainnya. Analisa data dengan melibatkan berbagai lembaga harus dapat dikoordinasikan oleh lembaga intelijen Indonesia yang selanjutkan dieksekusi oleh berbagai lembaga terkait maritim dan perekonomian Indonesia. Namun walamualam pemerintahan saat ini belum memperlihatkan secara pasti kinerjanya bahkan lembaga legislatif sibuk memotong berbagai kebijakan penting, dan menetapkan secara sepihak kebijakan tanpa arah menunjukkan sikap ‘manusia batu’ dengan mental Kolonial, Borjuis kolot, Revolusiner bodong, dan Informatif bengal-nya sekaligus.
Seluruh masyarakat yang tergabung dalam persatuan baik LSM atau kelompok dengan kekuatan pengaruh lainnya hendaknya sadar apa yang telah dicapai oleh negara ini. Setidaknya HAM telah terjamin, dimana setiap orang berhak untuk melakukan apa saja selama tidak melanggar hukum baik itu untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya. Setiap orang bebas untuk bekerja sama dengan siapapun yang juga untuk memenuhi hasrat individualnya, bukan untuk negara, bukan untuk orang yang tidak dikenal di belahan Indonesia lainnya apa lagi untuk generasi yang akan datang. Selain itu pers dan media juga berhak melakukan apapun, informasi apapun dapat disebarkan asalkan menghasilkan uang, kenapa tidak dijalankan?
Namun ingatlah uang bukan segala-galanya, kekayaan tidak menjamin seutuhnya akan kebahagiaan. Tentang kebahagiaan saya rasa adalah dengan melihat generasi ke depan Indonesia hidup dalam kepastian dan kedamaian. Bila itu menjadi kuncinya maka jelas tugas kewajiban masyarakat adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Apakah kita telah menyelesaikan kewajiban kita?
Tentulah kritik ini di generalisir, dengan tidak adanya ancaman masyarakat internasional yang mengacaukan pola pandang nasional dan mengganggu Integritas bangsa, namun perbaikan mental bangsa jelas harus menjadi prioritas terlebih dahulu. Selain itu konsistensi dan pola pandang Jokowi dan think tank-nya juga harus mencapai kestabilan pada arah yang tepat jika tidak mau era ini kembali digulingkan oleh generasi muda!


[1] Tan Malaka (1964) Materialisme-dialektika-logika MADILOG. Narasi. Jogjakarta
[2] Dikembangkan berdasarkan sudut pandang Francis Fukuyama dalam buku the End of History.
[3] Dalam Marsetio (2014). Sea power Indonesia. Universitas Pertahanan. Sentul

Tuesday, November 29, 2016

BENARKAH PARIWISATA?!

Marine Ecological Researcher - Maritime Political Analyst
 

Perpres No. 21 Tahun 2016 Tentang Bebas Visa Kunjungan memberikan tanda tanya besar atas hubungan kerjasama international Indonesia, pasalnya Indonesia memberikan kebebasan untuk 169 negara, pemerintah wilayah administrasi khusus suatu negara, dan entitas tertentu untuk dapat mengunjungi Indonesia selama 30 hari. Ditimbang dari sisi untung dan rugi akan terdapat beberapa aspek yang menarik untuk dipertimbangkan ulang.

Di tengah hingar-bingar kondisi politik Indonesia yang sedang mencari bentuk demokrasi yang ideal untuk lebih dari 255 juta penduduk yang terdiri atas 1.128 suku, masalah perekonomian yang berujung pada kesejahteraan masyarakat terkadang bukan menjadi suatu topik bahasan yang nyaring di telinga umum. Selayaknya mata internasional masih terkungkung menilai kesejahteraan dengan ukuran GDP (Gross Domestic Product), maka generalisasi akan kesejahteraan dapat ditetapkan dengan mengabaikan jurang pemisah antara si kaya dan miskin, setangan dua tangan dengan pentingnya uang sebagai ukuran normalitas.

Wednesday, November 23, 2016

Massa, Kerusuhan dan Konflik Sosial: "Agitasi Upaya Adu Domba"

 saya bukan ahli dalam bidang riset sosial, maupun perubahan sosial, namun setidaknya saya pernah belajar mengenai Phsikologi sosial, dinamika sosial dan beberapa mata kuliah yang di ajarkan dalam jurusan sosial ekonomi pertanian, walaupun hanya dapat C, namun penelitian s1 saya kurang lebih membahas mengenai prilaku sosial masyarakat, secara teoritis setidaknya masih ada yang diluar kepala, beberapa pelatihan mengenai jurnalistik damai pernah saya pelajari, 
hal yang menjadi potensi kelebihan NKRI adalah soal keberagaman yang di ikat dalam "Bhineka tunggal ika" artinya bagaimana memanajemen keberagaman suku, agama, ras agar menjadi sebuah kekuatan, jika penyeragaman maka yang terjadi adalah potensi ketidak sukaan, potensi perpecahan, potensi yang mejadi ancaman NKRI.
Sedikit saja menyinggung bisa menyulut kemarahan, menyulut peperangan, menyulut baku hantam, yang pada akhirnya menimbulkan Konfik horizontal, antar sesama saudara, sesama rekan bahkan sesama agamapun bisa terjadi, apalagi beda agama, beda suku, beda daerah.

Padahal sebenarnya Ralph K White (dalam Ancok, 2004) menyatakan nobody wanted war, tidak seorangpun yang menyukai peperangan (konflik). Hal tersebut berarti manusia sebenarnya juga menginginkan keterdekatan dan kerjasama dengan orang lain, berinteraksi secara positif dan menjalin hubungan yang lebih dalam antara satu dengan yang lain. Namun demikian realitasnya banyak keinginan untuk berkonflik dengan orang lain. Selanjutnya Ralph K White menekankan bahwa ada 6 hal yang bisa menyebabkan terjadi konflik, antara lain diabolical enemy image (pandangan bahwa musuh jahat seperti setan), vipile self image (pandangan bahwa dirinya jantan), moral self image (pandangan dirinya lebih bermoral), selective inatention (tidak memperhatikan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan), absence of emphaty (tidak adanya empati), military over confidence (keyakinan yang berlebihan akan kekuatannya). Pandangan yang dikemukakan oleh White inilah yang dianggap menjadi titik tolak munculnya konflik. Oleh karena itu semua pihak perlu mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas.

Thursday, November 10, 2016

Selamat hari PAHLAWAN, Mampukah Kita Siap Menghadapi Perang Senyap "Perang Candu" Bukan Angkat Senjata Lagi !

Sebuah sejarah kelam bagi para pemenang perang dunia ke II dimana serdadu Inggris kalah telak oleh pemuda sipil dan militer arek surabaya.

Ada satu tokoh yang menurut saya banyak mengungkap tabir kelam sejarah khususnya aksi 10 November 1945, yaitu Jenderal Hario kecik yang memiliki nama asli Suhario Padmodiwirjo , beliau adalah pelaku dan saksi sejarah pertempuran surabaya  Oktober-Nopember ’45. Pendiri  Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR), cikal bakal polisi militer sekarang.

Saat pertempuran terjadi, calon dokter ini membentuk Saat Corps Mahasiswa Djawa Timur (CMDT). Dia dipercaya menjadi Komandan yang memimpin daerah operasi sekitar Kawi, Malang Selatan,

Dalam perjalanan karier militernya, Hario kecik dipercaya mengemban tugas sebagai unit inteljen oleh orang nomer dua di tubuh TKR yaitu jenderal Oerip, dengan di bawah pengawasan tokoh intelejen yang juga salah satu pendiri cikal bakal BIN yaitu letkol Lubis

Sejumlah pendidikan militer pun pernah diikutinya. Sejarah mencatat, dia sempat dikirim ke sekolah militer di Amerika dan menjadi lulusan terbaik sekaligus penembak termahir di Fort Benning, Georgia, AS, pada 1956.
Pemakaman Jenderal Hario Kecik di TMP Surabaya

Hario juga menjadi satu-satunya perwira militer dari Indonesia yang memiliki pengalaman pendidikan di College Suvorov, Moskow, pada 1965. Atas prestasi itu, Hario sempat menjadi prajurit kesayangan Presiden Soekarno.

Karir militer Hario pun melesat sampai dia berhasil meraih pangkat mayor jenderal dengan jabatan terakhir Pangdam IX/Mulawarman di Kalimantan pada 1959–1965. Sayang, kecemerlangan Hario tersebut lenyap begitu saja ketika pulang dari sekolah di soviet dan dia dituduh rezim Soeharto terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)saat itu.

Lentera Merah My web Lenteramerah https://pojoklenteramerah.blogspot.co.id/